Langkah Partai Demokrat keluar dari koalisi yang sudah berjalan hampir setahun ini mengubah peta kekuatan koalisi yang sudah ada. Ada tiga alternatif yang dapat dipilih partai ini selanjutnya. Apa saja alternatif itu?
Oleh
REZA FELIX CITRA
·4 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono saat menyampaikan pidatonya di Acara Syukuran Hari Ulang Tahun ke-22 Partai Demokrat di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, Sabtu (9/9/2023).
Duet pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar mengubah peta koalisi yang selama ini sudah terjalin. Partai Demokrat memutuskan keluar dari Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP), begitu juga Partai Kebangkitan Bangsa dari Koalisi Kebangsaan Indonesia Raya (KKIR), yang belakangan berubah nama menjadi Koalisi Indonesia Maju (KIM) setelah masuknya PAN dan Partai Golkar.
Dengan keluarnya Partai Demokrat dari KPP berarti ia tidak lagi mendukung Anies Baswedan sebagai calon presiden. Dalam konferensi pers di Kantor DPP Partai Demokrat, Senin (4/9/2023), Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjelaskan, keluarnya Partai Demokrat dari KPP bukan karena dirinya batal jadi calon wakil presiden bagi Anies Baswedan, melainkan karena tidak dilibatkan dalam proses penentuan cawapres.
Lalu, bagaimana langkah politik Partai Demokrat selanjutnya? Paling tidak ada tiga alternatif bagi Partai Demokrat. Alternatif pertama adalah menjadi oposisi atau menyatakan sikap netral, seperti yang pernah dilakukan Demokrat pada Pemilu 2014. Ini pilihan yang termudah dan tercepat.
Pilihan ini bisa diambil apabila tidak ada koalisi yang dianggap bisa mendukung kemajuan Demokrat atau yang memiliki kesamaan visi-misi dengan Demokrat.
Dalam jumpa pers pada 4 September lalu, AHY menyatakan akan tetap mengusung visi perubahan dan perbaikan meskipun sudah bukan bagian dari Koalisi Perubahan. Namun, jika berjuang sendiri, sepertinya akan sulit untuk menarik pemilih baru, yang tentu saja akan berimbas negatif bagi kelangsungan partai.
Bagaimanapun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2027 tentang Pemilihan Umum mensyaratkan partai politik harus masuk gabungan partai dalam mendukung pasangan calon presiden. Berdasarkan pengalaman pada Pemilu 2014, elektabilitas Partai Demokrat turun sekitar 50 persen dibandingkan Pemilu 2009. Jadi, pilihan ini sebaiknya tidak ditempuh oleh Demokrat.
Alternatif kedua adalah membangun koalisi baru dengan mengajak partai lain, baik yang sudah berkoalisi ataupun belum. Pilihan membangun koalisi baru bisa dilakukan bersama partai-partai yang belum berafiliasi dengan capres yang akan maju. Masalahnya adalah apakah koalisi baru nanti bisa memenuhi presidential threshold sebagai batas untuk dapat mencalonkan capres dan cawapres.
Partai-partai selain PDI-P, Gerindra, Nasdem, dan PKB bisa menjadi pilihan partai yang bisa diajak berkoalisi. Tentu ini tidak mudah karena semua partai besar sudah menentukan koalisi. Untuk membuat mereka pindah koalisi, Demokrat harus punya daya tawar yang lebih tinggi dibandingkan dengan koalisi yang sebelumnya.
Ini yang mungkin masih belum dimiliki Demokrat. Kalau sekadar menawarkan posisi capres atau cawapres, mungkin masih belum cukup karena tokoh yang akan maju nanti harus juga mampu bersaing dengan calon-calon yang ada saat ini. Elektabilitasnya harus tinggi.
Alternatif terakhir, Demokrat bergabung dengan koalisi yang sudah ada. Pilihannya tentu selain dengan Koalisi Perubahan. Jadi, pilihan bagi Demokrat adalah bergabung dengan koalisi Partai Gerindra mendukung Prabowo atau dengan PDI-P mendukung Ganjar.
Untuk memilih salah satu dari koalisi ini bisa mempertimbangkan pendukung dari masing-masing partai. Berdasarkan kuadran tingkat kepuasan dan keyakinan terhadap kinerja pemerintah yang dilakukan oleh Litbang Kompas terlihat pendukung Demokrat lebih mirip dengan Gerindra.
Posisi yang cukup dekat antara Demokrat dan Gerindra di kuadran mengindikasikan pendukung kedua partai ini mempunyai pandangan terhadap pemerintah yang hampir mirip. Kesamaan ini bisa berarti harapan atau pandangan perubahan yang diinginkan para pendukung mereka juga kurang lebih sama sehingga penyatuan pendukung akan lebih mudah dilakukan.
Dari kuadran ini sebenarnya bisa dilihat profil pendukung Gerindra mendominasi wilayah pemilih yang cukup puas dan cukup yakin terhadap pemerintah.
Kemungkinan hal ini karena mereka memandang Prabowo sebagai bagian dari pemerintahan (menteri pertahanan), tapi juga bisa menjadi alternatif bagi yang agak kurang puas dan agak kurang yakin terhadap pemerintah. Posisi ini sangat ideal untuk merangkul lebih banyak pihak.
Masih dari kuadran yang sama, posisi Partai Nasdem sebenarnya juga tidak terlalu jauh dengan Demokrat dan Gerindra. Jadi, bisa dikatakan pendukung Nasdem kurang lebih mirip dengan kedua partai ini.
Ketika Nasdem berkoalisi dengan PKS yang berada di kuadran kiri agak ke bawah, sementara PKB berada di kuadran kanan atas, akan terlihat ada potensi persoalan, setidaknya perbedaan, dalam penyampaian visi-misi capres, termasuk pula dalam pemenuhan janji-janji seandainya terpilih nanti.
Lalu, bagaimana dengan PDI-P? Walaupun posisinya agak jauh, Demokrat dengan pendukungnya saat ini tetap bisa membantu PDI-P memenangkan Ganjar Pranowo. Posisi tawar Demokrat dalam koalisi dengan PDI-P akan lebih baik karena memiliki pendukung yang cukup besar dengan anggota koalisi yang tidak terlalu banyak.
Hal ini berbeda apabila dibandingkan bergabung dengan koalisi Gerindra. Jika disandingkan dengan Golkar, PAN, dan PBB, sumbangsih pendukung Demokrat akan terlihat lebih kecil porsinya.
Jika melihat kesesuaian terhadap pilihan tokoh pada kuadran tingkat kepuasan dan keyakinan terhadap kinerja pemerintah berdasarkan pilihan calon presiden, posisi Prabowo Subianto juga berada di sekitar tengah kuadran, yang berarti pendukung cukup puas dan cukup yakin terhadap pemerintah saat ini.
Di posisi ini juga ada pemilih AHY dan juga Ridwan Kamil. Selain itu, ada juga pemilih mengambang yang saat ini masih belum menentukan pilihan.
Kalau dilihat karakternya yang agak puas dan agak yakin dengan pemerintah, ini mirip dengan pendukung Prabowo saat ini. Jika Prabowo bisa mendapatkan dukungan dari pemilih mengambang ini, peluang untuk bisa memenangkan pemilu akan sangat besar.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (ketiga dari kiri) didampingi istrinya, Annisa Pohan, beserta sejumlah pimpinan partai melakukan pemotongan tumpeng di Acara Syukuran Hari Ulang Tahun ke-22 Partai Demokrat di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, Sabtu (9/9/2023).
Namun, apabila bergabung mendukung Ganjar, Demokrat mempunyai daya tawar lebih besar. Posisi Demokrat yang berjarak dengan PDI-P maupun Ganjar memungkinkan koalisi ini mendapat tambahan dukungan yang lebih luas dan jangkauan segmen pemilih yang lebih lebar.
Bergabungnya Demokrat ke PDI-P akan saling memperkuat koalisi dan secara langsung akan memengaruhi peningkatan elektabilitas capres yang diusung.
Saat ini, Demokrat perlu segera menentukan langkah. Setelah memenangi pemilu pada 2009, elektabilitas Demokrat terus merosot pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. Jika di pemilu ini elektabilitas Demokrat kembali turun, akan makin sulit bagi Demokrat untuk bisa mengembalikan kepercayaan diri pendukungnya.
Di waktu yang semakin mendekati pemilu, kemampuan pemimpin Partai Demokrat kembali diuji untuk dapat segera menentukan langkah terbaik bagi kelangsungan partai dan yang terpenting adalah bagi kemajuan Indonesia di masa yang akan datang. (LITBANG KOMPAS)