Ketimpangan di Tengah Apresiasi Publik pada Kinerja Edukasi
Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan pemerintah dalam menghadirkan pendidikan berkualitas.
Tingginya konsistensi kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan patut mendapat apresiasi. Meski demikian, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan pemerintah dalam menghadirkan pendidikan yang benar-benar berkualitas.
Bidang pendidikan menjadi salah satu indikator survei periodik Kompas yang selalu mendapat apresiasi relatif lebih baik dibandingkan indikator lainnya. Pada survei periode Agustus 2023, tingkat kepuasan bidang edukasi ini mencapai 74,1 persen. Dalam kelompok bidang kesejahteraan sosial, posisinya di urutan tiga besar setelah aspek kesehatan dan gotong royong.
Tingkat kepuasan saat ini (Agustus 2023) masih berada di atas rata-rata survei sepanjang Oktober 2019-Agustus 2023, yakni di kisaran 70 persen. Komitmen pemerintah untuk menyalurkan bantuan pendidikan kemungkinan menjadi salah satu penyebab relatif tingginya apresiasi itu. Tahun ini, pemerintah menganggarkan Rp 38,17 triliun untuk pendanaan wajib pendidikan.
Alokasi pendanaan itu diperuntukkan bagi pelaksanaan Program Indonesia Pintar (PIP) untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah serta Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk jenjang kuliah. Tak hanya untuk pelajar atau mahasiswa, para pengajar pun mendapatkan insentif tambahan berupa dana tunjangan.
Konsistensi pemerintah selama ini mengalokasikan dana sebesar 20 persen dari APBN juga patut diapresiasi. Secara keseluruhan, anggaran pendidikan tahun ini dialokasikan Rp 612,2 triliun dan dianggarkan lebih tinggi lagi pada tahun depan menjadi Rp 660,8 triliun.
Baca juga: Sistem Pendidikan Indonesia Masih Perlu Banyak Perbaikan
Bukan hanya dari sisi anggaran, apresiasi aspek pendidikan juga selaras dengan semakin membaiknya beberapa indikator pendidikan. Salah satunya rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia yang terus meningkat sehingga pada tahun 2022 mencapai 8,69 tahun.
Untuk penduduk berusia 15 tahun, rata-rata lama sekolahnya lebih lama lagi menjadi 9,08 tahun. Meski besarannya tak menentu, angka rata-rata lama sekolah tersebut konsisten meningkat dari tahun ke tahun.
Ketertinggalan
Walaupun tren kepuasan bidang pendidikan terus bertambah, masih ada sebagian masyarakat yang tidak puas dengan kinerja pemerintah di bidang ini. Jika ditelusuri lebih dalam, ungkapan ketidakpuasan dari responden terutama dari kawasan Indonesia timur lebih lantang. Berdasarkan gugus pulau, misalnya, 28 persen responden di Maluku dan Papua menyatakan kekecewaan mereka terhadap hal itu.
Hal tersebut dapat dipahami mengingat pendidikan di Indonesia bagian timur masih tertinggal. Jika rata-rata lama sekolah secara nasional ada di kisaran sembilan tahun, rata-rata di Provinsi Papua masih tujuh tahun.
Secara angka, memang tidak terlihat jauh perbedaannya. Namun, capaian di Papua tahun lalu adalah kondisi Indonesia pada 13 tahun silam, bahkan masih lebih rendah. Rata-rata lama sekolah di Papua tahun lalu 7,02 tahun, sedangkan angka nasional di tahun 2010 mencapai 7,46 tahun.
Jika dirinci lebih lanjut berdasarkan tiap kabupaten/kota, terlihat timpangnya kualitas pendidikan di Tanah Air. Saat rata-rata lama sekolah kota-kota di wilayah lain mencapai belasan tahun, daerah di Papua masih di bawah lima tahun.
Data tahun lalu menunjukkan, masyarakat di Kota Banda Aceh setidaknya menghabiskan waktu 13 tahun untuk sekolah. Dengan kata lain, rata-rata sudah menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Bahkan, di Kota Ambon sudah mencapai 12,21 tahun. Setidaknya lulus sekolah menengah atas (SMA).
Kondisi itu tampak anomali ketika dibandingkan dengan sejumlah wilayah di Papua. Pada tahun yang sama, rata-rata lama sekolah di Kabupaten Puncak (kini di Papua Tengah) dan Kabupaten Nduga (Papua Pegunungan) masing-masing masih 2,17 tahun dan 1,58 tahun.
Baca juga: Transformasi Pendidikan Butuh Kolaborasi Lintas Sektor
Ibaratnya, secara nasional masyarakat Indonesia bersekolah hingga SMP dan masyarakat perkotaan sudah memasuki bangku perkuliahan, tetapi lama pendidikan penduduk Papua masih setara PAUD. Oleh sebab itu, tak heran jika kekecewaan masyarakat di Papua cukup besar. Setidaknya dua pertiga responden survei Kompas di Papua Pegunungan menyatakan ketidakpuasaannya atas kinerja pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Kekecewaan itu kemungkinan disebabkan oleh adanya harapan besar perbaikan pendidikan di daerah mereka tinggal. Hal ini terindikasi dari data BPS terkait harapan lama sekolah. Berdasarkan data tahun lalu, rata-rata harapan lama sekolah masyarakat di Kabupaten Nduga adalah 4,07 tahun dan di Kabupaten Puncak 5,58 tahun. Sayangnya, capaian saat ini belum mencapai setengah dari yang mereka harapkan. Bahkan baru sepertiganya.
Tak dapat dimungkiri, situasi dan kondisi di ujung timur Indonesia memang tidak mudah. Akses yang masih terbatas, konflik berkepanjangan, hingga ancaman kekerasan kelompok bersenjata terus mengintai wilayah Papua. Namun, di sinilah peran nyata pemerintah seharusnya ditunjukkan.
Target 2045
Masalah ketimpangan di negeri ini sebetulnya tidak selalu mengarah pada kawasan timur Indonesia. Di Pulau Jawa sekalipun, ketimpangan juga masih terjadi. Kabupaten Bangkalan dan Probolinggo di Jawa Timur, hingga Brebes di Jawa Tengah, misalnya, rata-rata lama sekolah masih di kisaran enam tahun. Padahal, kabupaten/kota lain di sekitarnya sudah mencapai kisaran 10 tahun. Secara nasional, masih ada 297 kabupaten/kota yang rata-rata lama sekolahnya masih berada di bawah capaian nasional.
Ketimpangan tersebut menjadi salah satu persoalan yang harus segera ditangani mengingat pemerintah memasang target cukup tinggi untuk tahun 2045. Dalam hal pendidikan, pemerintah menargetkan rata-rata lama sekolah di Indonesia mencapai 12 tahun, atau setidaknya lulus SMA. Artinya, 3,5 tahun lebih lama dari capaian tahun lalu.
Baca juga: Penerima Beasiswa LPDP Dituntut Pulang dan Berkarya untuk Negeri
Meski masih tersisa waktu 22 tahun untuk mencapai target itu, gerak cepat pemerintah dan semua instansi terkait menjadi keharusan agar rencana Indonesia Emas itu dapat terealisasi. Akselerasi ini sangat penting karena, menurut sejarah, ternyata dalam jangka waktu dua dekade sebelumnya rata-rata lama sekolah di Indonesia hanya mampu bertambah tidak lebih dari dua tahun. Pada tahun 1999, capaian lama sekolah Indonesia sekitar 6,7 tahun.
Jika ketimpangan tidak segera diatasi, rasanya tidak mudah untuk mencapai cita-cita Indonesia 2045. Setinggi apa pun capaian sejumlah wilayah di Indonesia, jika masih ada daerah yang tertinggal, hal itu akan sangat memengaruhi hasil akhir secara nasional. Apalagi, masih lebih dari separuh kabupaten/kota di Indonesia yang capaiannya jauh tertinggal di bawah rata-rata nasional.
Apabila persoalan pendidikan tersebut segera diatasi, tidak tertutup kemungkinan daya saing Indonesia di kancah global akan lebih tinggi lagi. Setidaknya hingga tahun 2018, peringkat Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia masih ada di urutan 10 besar terbawah. Indonesia kalah jauh dari negara tetangga, Singapura, dan juga tertinggal dari Malaysia, Brunei Darussalam, serta Thailand.
Persoalan yang berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) itu harus terus diperjuangkan dan segera diantisipasi dengan serangkaian kebijakan dan program yang mendukung. Politik anggaran yang dialokasikan dalam jumlah besar dan terus meningkat diharapkan dapat menjawab berbagai persoalan pendidikan secara nasional.
Pada akhirnya, apresiasi masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam bidang pendidikan harus diakui memang membaik. Namun, upaya pemerintah dalam menghadirkan pendidikan yang berkualitas dan memenuhi permintaan pasar kerja merupakan wujud konkret yang selalu dinantikan masyarakat. Ketersediaan SDM andal menjadi syarat mutlak menuju Indonesia Emas 2045. (LITBANG KOMPAS)