Gaya Hidup Vegan dan Upaya Mengatasi Pemanasan Global
Pola makan vegan dapat mengurangi emisi karbon, meminimalkan polusi air, dan menggunakan lahan 75 persen lebih sedikit daripada pola makan yang memakan lebih dari 100 gram daging setiap hari.
Oleh
Yohanes Mega Hendarto
·5 menit baca
Pola makan berbasis nabati atau vegan kembali ditegaskan dapat secara besar-besaran mengurangi kerusakan lingkungan. Bukan hanya dari bahan makanan yang dikonsumsi, pola makan vegan juga ramah lingkungan dari segi produksi. Diskursus terkait pola makan dan pemanasan global ini masih berjalan seiring perkembangan sains.
Vegan dapat diartikan sebagai upaya menghindari semua bentuk eksploitasi terhadap hewan, baik untuk keperluan konsumsi makanan, pakaian, kosmetik, maupun tujuan lain. Khusus terkait makanan, kelompok vegan sama sekali tidak mengonsumsi makanan atau produk olahan yang berasal dari hewan. Pola hidup seperti ini memiliki berbagai prinsip dan tujuan, di antaranya untuk kesehatan dan juga menjaga kelestarian lingkungan. Gaya hidup vegan ini secara sains mampu mereduksi emisi karbon cukup besar sehingga dapat berkontribusi dalam upaya mitigasi mencegah pemanasan global.
Hasil penelitian terbaru terkait hal tersebut dipublikasikan oleh Peter Scarborough dan komunitas studi di Universitas Oxford pada 20 Juli 2023. Hasil riset menunjukkan, pola makan vegan dapat mengurangi emisi karbon, meminimalkan polusi air, dan menggunakan lahan 75 persen lebih sedikit daripada pola makan yang memakan lebih dari 100 gram daging setiap hari. Pola makan vegan juga dapat mengurangi perusakan satwa liar sebesar 66 persen dan menghemat penggunaan air sebesar 54 persen.
Penelitian yang berbasis di Inggris itu menggunakan sampel 55.000 sukarelawan yang dipantau pola makan dan dietnya. Para sukarelawan tersebut kemudian dibagi dalam enam kelompok pola makan, yakni vegan, vegetarian, pemakan daging ikan saja, pemakan daging ternak jumlah sedikit, pemakan daging ternak jumlah sedang, dan pemakan daging ternak jumlah banyak.
Hasilnya, seorang vegan rata-rata menghasilkan 2,16 kilogram karbon dioksida (CO2), 4,49 gram gas metana (CH4); dan 0,71 gram dinitrogen oksida (N20). Kontras dengan hasil tersebut, seorang pemakan daging jumlah tinggi menghasilkan ketiga senyawa itu lebih besar, yakni 7,28 kilogram karbon dioksida (CO2), 65,4 gram gas metana (CH4), dan 2,62 gram dinitrogen oksida (N20).
Scarborough dan tim juga mengumpulkan data dari 38.000 peternakan di 119 negara untuk menghitung perbedaan dampak makanan tertentu yang diproduksi dengan cara dan tempat yang berbeda-beda. Hasil penting dari penelitian ini justru tak berpusat pada bahan makanan nabati, tetapi dari pembuatan makanan. Sebagai perbandingan, daging dengan dampak emisi paling rendah (daging babi organik) berdampak pada kerusakan iklim delapan kali lebih banyak daripada minyak nabati sebagai tanaman penghasil emisi paling tinggi.
Temuan pada studi itu kembali menguatkan penelitian sebelumnya terkait produksi makanan dan besaran emisi yang dihasilkan. Pada 2019, Joseph Poore dan T Nemecek dari Universitas Oxford merilis hasil penelitian mereka di jurnal Science. ”Pola makan vegan mungkin merupakan satu-satunya cara terbesar untuk mengurangi dampak Anda terhadap Bumi, tidak hanya gas rumah kaca, tetapi juga pengasaman global, eutrofikasi, penggunaan lahan, dan penggunaan air,” tulis Joseph Poore.
Dalam penelitiannya, Joseph Poore menyatakan bahwa model pengelolaan peternakan turut memengaruhi besaran hasil emisi. Sapi potong yang dipelihara di lahan gundul, misalnya, menghasilkan 12 kali lebih banyak gas rumah kaca dan menggunakan 50 kali lebih banyak lahan daripada penggembalaan padang rumput.
Kedua hasil penelitian itu sebenarnya memiliki agenda sampingan untuk mendorong Aliansi Kesehatan Inggris menetapkan regulasi promosi (iklan) dan pajak makanan berkarbon tinggi. Sejak 2020, di Inggris ada kelompok yang terdiri atas para tenaga kesehatan yang menyerukan agar pajak karbon juga dikenakan pada produsen makanan pada 2025 guna mengatasi krisis iklim. Dari sana lalu muncul berbagai kampanye untuk mengadopsi pola makan vegan dan vegetarian yang menyebar dari daratan Eropa hingga Amerika Serikat.
Pertentangan
Dapat dikatakan, untuk pola makan ini ada dua kubu besar yang saling adu pandangan, yakni kubu vegan dan nonvegan. Jika ditelusuri, kampanye kelompok vegan ini mendapat dukungan dari Universitas Oxford dengan sejumlah penelitian yang konsisten dari tahun ke tahun untuk menyatakan sumbangan besar emisi karbon dari produksi makanan berbasis hewani. Kaum vegan dan vegetarian ini juga mendapat pengikut di sejumlah negara Eropa yang memiliki target nol emisi pada 2040.
Meskipun tidak sepanas isu politik, ketegangan antara kampanye kaum vegan dan nonvegan sudah berlangsung cukup lama, baik di ruang publik maupun media sosial. Salam forum digital yang difasilitasi Uni Eropa, misalnya, kaum vegan (diwakilkan oleh politikus Belanda, Anja Hazekamp) membawa serta argumen atas hak dasar hewan yang sudah dideklarasikan sejak 1978 di Paris. Sebaliknya, di pihak nonvegan (diwakili Sekretaris Jenderal Perdagangan Ternak dan Daging Sapi Uni Eropa Karsten Maier) menyatakan bahwa pola makan vegan tidak memiliki aspek keberlanjutan karena juga memiliki dampak negatif pada aspek kehidupan lainnya, terutama ekonomi.
Senada dengan Maier, akademisi Amy Trauger dari Universitas Georgia, AS, mengeluarkan sejumlah kajian terkait gerakan veganisme. Salah satunya jurnal berjudul ”The Vegan Industrial Complex: The Political Ecology of Not Eating Animals” yang dipublikasikan di Journal of Political Ecology volume 29 tahun 2022.
Dengan pendekatan etis, Trauger berargumen bahwa kampanye kaum vegan tidak jauh berbeda dengan praktik greenwashing. Maksudnya, alih-alih mempromosikan praktik hidup yang bernilai baik bagi alam, kaum vegan justru mendukung perusahaan yang mencantumkan label ”ramah lingkungan” meski pada praktiknya tidak benar-benar ramah lingkungan atau pencitraan palsu semata.
Trauger mengambil contoh tahu dan tempe yang bukan komoditas asli Eropa. Dengan mendorong negara seperti Malaysia, Indonesia, dan Thailand memproduksi lebih banyak kedelai, artinya laju pengiriman komoditas yang juga menghasilkan polusi dan emisi karbon akan makin bertambah. Begitu juga dengan produksi minyak sawit yang terbukti telah mengorbankan lahan perkebunan lokal, menambah laju deforestasi, menghilangkan keanekaragaman hayati, serta mengorbankan masyarakat sekitar.
Dalam kajian lain, Trauger memberi peringatan terhadap bahaya greenwashing dalam panggung politik. Menurut dia, para politisi, terutama presiden, di sejumlah negara kerap membawa misi pengurangan emisi karbon yang ekstrem guna menarik simpati pemilih dari kaum vegan dan anak-anak muda yang peduli dengan isu-isu lingkungan hidup.
Bermuatan nilai
Merujuk data Climate Watch, sistem pangan global (pertanian, peternakan, perkebunan, dan sebagainya) menyumbang 18,4 persen dari seluruh emisi gas rumah kaca pada 2020. Porsi terbesar masih disumbang oleh konsumsi energi yang digunakan industri pengolahan, transportasi, dan bangunan dengan total 73,2 persen. Maka, dapat dikatakan mengadopsi pola makan vegan merupakan solusi parsial dalam kerangka mengurangi emisi global.
Berhadapan dengan adu argumen ilmiah antara pro-vegan dan kontra-vegan, perlu dilihat kembali gagasan ahli filsafat ilmu Helen Longino. Dalam bukunya, Science as Social Knowledge: Values and Objectivity in Scientific Inquiry (1990), Helen mengingatkan bahwa suatu kajian ilmiah tidak pernah terlepas dari nilai tertentu. Menurut dia, nilai-nilai kontekstual seperti kepentingan dan asumsi bermuatan nilai (value-laden) dapat memengaruhi hasil penyelidikan ilmiah dan dapat bekerja tanpa melanggar kaidah ilmu pengetahuan.
Pandangan epistemologis Longino inilah yang dapat dijadikan acuan ketika berhadapan dengan klaim ilmiah yang saling bertentangan. Dalam konteks perdebatan vegan dan nonvegan, ada baiknya ditempatkan sesuai porsi setiap individu. Lagi pula, menerapkan pola hidup vegan atau vegetarian sudah banyak terbukti baik untuk kesehatan dibandingkan mengonsumsi daging secara berlebihan. (LITBANG KOMPAS)