Dunia dikejutkan dengan hadirnya sejumlah sosok politisi muda di panggung politik global. Mereka mampu merebut simpati publik dengan ide segar nan progresif. Mobilisasi gagasan melalui media sosial menjadi senjata utama.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·5 menit baca
Di lingkup global, Indonesia masih memiliki tantangan besar dalam hal regenerasi politik. Hasil pengukuran indeks yang dilakukan Economist Intelligence Unit Democracy Index 2022 menempatkan Indonesia pada urutan ke-101 dari 147 negara dalam hal regenerasi politik dengan rata-rata usia anggota DPR mencapai 51,6 tahun.
Di sisi lain, sejak satu dekade terakhir, dunia dikejutkan dengan munculnya sosok-sosok muda di panggung politik seperti Alexandira Ocasio-Cortez di Amerika Serikat, Sanna Marin di Finlandia, Jacinda Ardern di Selandia Baru, hingga Gabriel Boric di Chile.
Upaya mereka menembus pentas politik negara tidaklah mudah. Alexandria Ocasio-Cortez, misalnya. Anggota DPR AS yang dikenal dengan inisial AOC ini bukan berasal dari elite politik ataupun pengusaha. Tak heran, banyak yang melihat kemenangannya dalam pemilu sela AS di 2018 sebagai sebuah keajaiban.
Lawan dari AOC saat itu adalah politisi kawakan Partai Demokrat, Joseph Crowley, yang telah menjabat sebagai anggota DPR AS selama dua dekade. Posisi politik Crowley terbilang sangat kuat, baik di Capitol Hill maupun di Partai Demokrat, karena dukungan jaringan politik dan kemempuannya menggalang dana dari kalangan pebisnis dan donatur.
Di lingkup global, Indonesia masih memiliki tantangan besar dalam hal regenerasi politik.
Sementara AOC lahir di kawasan Bronx, salah satu wilayah tertinggal di New York. Ayahnya merupakan warga asli Bronx dan ibunya adalah seorang imigran dari Puerto Riko. Di sela kesibukannya mempersiapkan pemilu, AOC masih harus bekerja sebagai pramusaji dan bartender.
Jauh ke selatan, kisah perjuangan politisi muda juga ditemukan di Chile. Pada pemilihan presiden 2021, seorang aktivis muda bernama Gabriel Boric terpilih setelah mengalahkan politisi Jose Antonio Kast yang jauh lebih senior. Kast adalah sosok yang sudah berada di panggung politik selama dua dekade lebih dan dekat dengan lingkaran elite Chile.
Terlahir dari keluarga peternak, kans Boric untuk terpilih sebagai presiden terbilang minim. Apalagi, Boric tak didukung para pemodal serta berasal dari koalisi partai-partai menengah dan kecil. Namun, kiprahnya menggerakkan demonstrasi besar-besaran di 2019 turut membuahkan referendum konstitusi Chile.
Dilihat dari fenomena kedua tokoh tersebut tersebut, ada benang merah keberhasilan berupa kemampuan membangun narasi politik yang kuat. Kuatnya modal narasi terlihat dari kesuksesan AOC menaklukkan New York.
Kampanyenya dibangun dengan berpusat pada isu kegelisahan kelas menengah bawah kota yang menghadapi tekanan ekonomi serta ketimpangan akses pendidikan dan kesehatan.
Selain itu, AOC juga menyoroti ekosistem politik AS yang sangat dipengaruhi oligarki dan jejaring pelobi. Baginya, tidak mungkin bagi politisi untuk berpihak ke rakyat ketika kekuasaannya didapatkan dari kuasa uang pemilik modal.
Posisi ini pun secara konsisten diambil AOC, dibuktikan dengan 60 persen lebih dana kampanye AOC yang berasal dari sumbangan masyarakat.
Bukti kekuatan narasi politisi muda juga terlihat dari kemenangan Gabriel Boric. Dalam pilpres Chile 2021, Boric bersama koalisinya membawa narasi progresif untuk membongkar kebobrokan Pemerintah Chile sejak era 1980-an.
Narasi besar yang diusung Boric meliputi berbagai isu, mulai pengakuan terhadap hak masyarakat adat, kesetaraan jender, hingga perubahan sistem pemerintahan.
Aspek lain di luar narasi yang keberhasilan kedua politisi muda tersebut ialah penggunaan teknologi dan media sosial untuk mobilisasi politik. Meski bukan hal yang baru, medium ini telah terbukti membawa pengaruh sosial besar seperti ketika digunakan dalam gerakan musim semi Arab pada awal 2010-an.
Penggunaan inovasi teknologi dalam kontestasi politik dilakukan oleh AOC melalui aplikasi REACH. Aplikasi ini dibuat mirip dengan media sosial yang dilengkapi dengan berbagai fitur untuk bertukar pesan, berjejaring dengan teman, bahkan hingga fitur untuk melakukan survei.
Dalam kampanyenya, REACH digunakan untuk mengorganisasi para relawan dan konstituen secara digital. Hasilnya pun tak mengecewakan, 12 persen pemilih AOC mengaku tertarik memilih setelah sebelumnya dihubungi melalui REACH. Padahal, aplikasi ini hanya digunakan sekitar tiga minggu sebelum pemilihan dilaksanakan.
Kekuatan media sosial dalam gerakan politik kalangan muda ini juga terlihat pada pemilu Thailand yang diselenggarakan pada Mei 2023. Dipimpin oleh Pita Limjaroenrat (42 tahun), Partai Bergerak Maju (Phak Kao Klai) mampu meraih lebih dari 36 persen suara.
Perolehan ini mengalahkan Partai Pheu Thai, besutan mantan PM Thailand Thaksin Shinawatra dan Partai Kekuatan Rakyat Negara/Palang Pracharat yang terafiliasi dengan militer.
Berdasarkan data dari alat ukur media sosial Zocial Eye pada hari pemilihan, Partai Bergerak Maju disebut mengunggah lebih dari 245.000 konten di media sosial. Jumlah tersebut nyaris setara dengan sepuluh kali lipat dari jumlah unggahan terkait Partai Pheu Thai yang berjumlah sekitar 25.000 konten.
Meski demikian, besarnya potensi narasi dan kecakapan teknologi kalangan muda tak akan bisa termanifestasi menjadi suara jika tidak ada ruang politik yang besar. Agar regenerasi politik bisa berjalan lancar, para elite politik harus mau membuka tempat bagi anak muda yang punya potensi walau masih hijau.
Salah satu contoh negara dengan kultur regenerasi politik yang cukup baik adalah Finlandia. Pada Pemilu Parlemen 2019, koalisi pemerintahan dibentuk oleh lima partai, yakni SDP, Partai VV, Partai Tengah, Partai Hijau, dan SFP. Dari kelima partai tersebut, empat di antaranya dipimpin oleh politisi berusia di bawah 35 tahun. Sanna Marin adalah Ketua SFP yang terpilih sebagai perdana menteri. Saat itu usia Marin masih 33 tahun.
Sebaliknya, ketiadaan komitmen elite untuk memberi ruang dapat menyurutkan langkah kaum muda. Hal ini terjadi di Thailand. Meski secara de facto Ketua Partai Bergerak Maju Pita Limjaroenrat sebagai peraih suara terbesar di pemilu memiliki legitimasi terkuat untuk dipilih sebagai perdana menteri, tetapi dimentahkan oleh ”tembok” politik yang didirikan oleh koalisi elite dan militer Thailand. Pada akhirnya modal kuat kaum muda memang harus progresif sebagai pintu mereka untuk merebut panggung politik.
Di Indonesia, gagasan besar ini menjadi tantangan yang tidak mudah diwujudkan oleh para politisi muda. Hingga saat ini, narasi-narasi besar ini masih belum mampu dihadirkan oleh kaum muda di panggung politik nasional.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, dalam diskusi bersama Litbang Kompas di Jakarta, Rabu (5/7/2023), menyebutkan, belum ada narasi kuat yang dibawa oleh kalangan muda di Indonesia di ranah politik.
Minimnya narasi ini juga diamini oleh Research Fellow di Institute for Advanced Research Unika Atma Jaya, Yoes Kenawas, saat wawancara daring, Jumat (30/6/2023). ”Anak muda di Indonesia masih terjebak di zona nyaman,” ujarnya. (LITBANG KOMPAS)