Beban Agung Mahkamah Agung
Suap dan gratifikasi menjadi kasus yang paling rentan menyeret aparat di Mahkamah Agung. Lembaga penegak hukum yang diharapkan menjadi garda terakhir keadilan ini tengah disorot publik.

Sorotan ini tidak lepas dari mulai menggejalanya kasus suap dan gratifikasi yang menjerat sosok-sosok yang selama ini diharapkan mampu menjaga marwah keadilan hukum. Kasus suap yang terjadi di Mahkamah Agung (MA) umumnya terkait upaya memengaruhi putusan kasasi.
Jika dirunut ke belakang, sorotan pertama publik ke MA berasal dari kasus kasasi yang diajukan pengusaha Probosutedjo terkait perkara korupsi dana reboisasi hutan di Kalimantan.
Dalam proses kasasi yang diajukan Probosutedjo ini, KPK menemukan dugaan terjadinya suap yang dilakukan pengacara Probo, Harini Wiyoso. Pengacara ini memberikan suap Rp 5 miliar untuk mengakali putusan kasasi yang diberikan melalui staf bagian perjalanan MA, Pono Waluyo.
Kasus ini pun menggegerkan publik karena baru pertama kasus suap di MA ini mencuat. Apalagi, Harini sendiri sebelum menjadi pengacara dikenal sebagai mantan hakim di Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Akibat kasus ini, Harini divonis empat tahun penjara, sedangkan Pono Waluyo divonis 3 tahun. Sementara Probo sendiri mendapatkan vonis empat tahun penjara di tingkat kasasi.
Setelah kasus suap tersebut, MA kembali disorot publik dengan kasus suap di internal lembaga tersebut. Kasus ini melibatkan Staf Badan Pendidikan, Pelatihan Hukum dan Peradilan MA Djodi Supratman yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka pada 2013. Djodi diduga menerima suap dari salah satu tim advokat yang sedang mengajukan kasasi di MA.

Dari dua kasus di atas yang terjerat adalah staf pegawai. Gaung sorotan publik semakin meningkat ketika kasus suap menjerat elite atau pejabat tinggi di lembaga ini.
Hal ini terjadi pada akhir 2019 ketika Sekretaris MA Nurhadi terjerat kasus suap dari pengusaha terkait pengurusan kasasi. Kasus ini makin membuat penasaran publik ketika Nurhadi menghilang lama dan menghindari KPK, sampai kemudian ia divonis 8 tahun penjara dari tuntutan 12 tahun yang diajukan jaksa.
Sorotan publik ke MA makin gempar ketika baru pertama kalinya hakim agung terjerat kasus suap dan dicokok oleh KPK. Hakim agung tersebut adalah Sudrajad Dimyati yang terlibat kasus suap 80.000 dollar Singapura (SGD) atau sekitar Rp 889 juta atas penanganan perkara kasasi pailit Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana.
Sudrajat ditetapkan tersangka suap oleh KPK pada September 2022. Kemudian dalam persidangan ia dituntut jaksa 13 tahun penjara, tetapi hakim memutuskan Sudrajat hanya divonis 8 tahun penjara pada Mei 2023. Terjeratnya hakim agung dalam kasus suap ini makin mengkhawatirkan karena sosok hakim agung pun dengan mudah tergoda oleh kasus suap.
Apalagi, jika kemudian kasusnya berulang dan menjalar ke hakim agung yang lain. Hal ini terbukti dengan terjeratnya hakim agung Gazalba Saleh yang terjerat kasus yang sama dengan Sudrajat, yakni suap pengurusan perkara pidana KSP Intidana.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F12%2Fc4ecb7d5-be33-440d-935f-07f7294caea2_jpg.jpg)
Sekretaris Mahkamah Agung Hasbi Hasan digiring petugas Komisi Pemberantasan Korupsi menuju mobil tahanan setelah ekspos terkait penahanannya di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (12/9/2023).
Gazalba ditetapkan tersangka oleh KPK pada Desember 2022 yang kemudian tuntutannya berlapis dengan ditetapkannya ia dalam kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada Maret 2023. Gazalba adalan hakim agung kedua yang terjerat suap.
Tidak berhenti di situ, kasus suap dalam perkara kasasi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana juga kembali menjerat sosok penting di MA, yakni Sekretaris MA Hasbi Hasan. Hasbi diduda menerima suap Rp 3 miliar untuk pengurusan perkara gugatan perdata kasus perkara internal KSP Intidana. Hasbi adalah Sekretaris MA kedua yang terjerat kasus suap setelah Nurhadi.
Baca juga : Hormati Penahanan Sekretaris MA, KY Nilai Pembenahan MA Tak Terelakkan
Citra MA
Rentetan kasus hukum yang menjerat petinggi di Mahkamah Agung ini makin menegaskan lembaga hukum di negeri ini semuanya sudah tercoreng oleh ulah oknum yang melanggar hukum. Tidak heran jika tren citra positif MA dari hasil survei Litbang Kompas menunjukkan kondisinya yang belum relatif stabil, bahkan cenderung menurun.
Kita lihat saja pada survei Januari 2015, lembaga peradilan paling tinggi ini citranya berada di angka 75,1 persen. Angka ini tercatat paling tinggi dalam tujuh tahun terakhir. Sebab, angkanya cenderung menurun dan fluktuatif, tetapi belum mampu menjaga angka citra di Januari 2015 tersebut.
Terakhir di survei Mei 2023 citra MA mencapai 64,3 persen. Meskipun meningkat dibandingkan survei Januari 2023, angkanya masih belum bisa mengembalikan citra terbaiknya pada Januari 2015.

Jika dihitung rata-rata dari 19 survei sepanjang tujuh tahun terakhir yang dilakukan Litbang Kompas, citra MA di hadapan publik relatif masih lebih baik dibandingkan Mahkamah Konstitusi dan Kejaksaan.
Rata-rata angka citra baik MA berada di 63,6 persen. Angka ini masih di bawah rata-rata citra Komisi Pemberantasan Korupsi yang mencapai 74 persen dan Kepolisian yang berada di angka 66 persen. Sementara itu, yang berada di bawah MA adalah Mahkamah Konstitusi (58,2 persen) dan Kejaksaan (54,2 persen).
Hal ini menegaskan MA masih berada di tengah-tengah sebagai lembaga hukum yang citranya relatif masih terjaga. Meskipun demikian, posisi ini bisa saja akan berubah karena rentetan kasus yang menjerat petinggi MA terkait kasus suap berpotensi memengaruhi citra lembaga ini.
Baca juga : Sekretaris Mahkamah Agung Kembali Terlibat Korupsi
Integritas
Rentetan kasus hukum yang menjerat petinggi MA ini memperlihatkan kondisi lembaga kekuasaan kehakiman semakin mengkhawatirkan. Proses rekrutmen hakim agung menjadi sorotan jika kemudian praktik suap masih bisa menjerat mereka. Bagaimanapun, menjaga integritas hakim agung mutlak dilakukan untuk memperkuat kembali kepercayaan publik pada lembaga peradilan ini.
Apalagi, jika kemudian kinerja MA belum sesuai ekspektasi publik dan mendapatkan sorotan masyarakat. Salah satunya pernah disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW). Beberapa di antaranya pengenaan hukuman ringan terhadap pelaku korupsi yang berulang.
Rentetan kasus hukum yang menjerat petinggi MA ini memperlihatkan kondisi lembaga kekuasaan kehakiman semakin mengkhawatirkan.
Berdasarkan data tren vonis yang dikeluarkan ICW, tercatat pada tahun 2021 rata-rata vonis pengadilan hanya mencapai 3 tahun 5 bulan.
Termasuk di antaranya diskon pemotongan masa hukuman melalui proses peninjauan kembali (PK). Data tren yang dirilis ICW menyebutkan, pada tahun 2021, misalnya, tercatat ada 15 terpidana korupsi yang dikurangi hukumannya melalui upaya hukum luar biasa tersebut.
Tak pelak MA saat ini tengah dihadapkan pada beban yang berat, beban agung yang menjadi pertaruhan bagi nama besarnya, Mahkamah Agung. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Efek Jera Minim, Korupsi Politik Marak