Akhir Suram Tentara Bayaran di Nusantara
Berkaca pada sejarah pasukan bayaran di bumi nusantara masa silam, sepertinya “mercenaries” Wagner Group akan berakhir “unhappy ending”.
Upaya pemberontakan Wagner Group terhadap Pemerintah Rusia kemungkinan besar akan menjadi akhir bagi usaha tentara bayaran tersebut. Selain menghentikan hubungan kerja sama bisnis, tidak menutup kemungkinan Pemerintah Rusia akan mengasingkan ataupun “membungkam” Wagner. Kisah serupa pernah terjadi dahulu kala di bumi nusantara ini.
Setelah insiden pemberontakan yang dilakukan kelompok tentara bayaran Wagner di Rusia, nasib grup militer bayaran pimpinan Yevgeny Prigozhin ini penuh teka-teki. Kantor berita Inggris, BBC melaporkan citra satelit yang menangkap lokasi yang diduga sebagai kamp Wagner di Belarusia (1/7/2023). Lokasi tersebut merupakan bekas pangkalan militer yang terletak sekitar 21 km dari kota Asipovichy, Belarusia.
Namun, belum diketahui berapa banyak tentara Wagner yang akan pergi ke Belarusia, berapa banyak yang tetap akan bergabung dengan tentara Rusia untuk bertempur di Ukraina, dan berapa banyak yang memilih meninggalkan Wagner. Ketidakjelasan ini mengiringi sejumlah spekulasi tentang masa depan Wagner, termasuk bakal berakhirnya bisnis Wagner.
Ada sejumlah faktor yang menjadi indikasi dugaan itu. Salah satunya, karena kedekatan Prigozhin dengan Presiden Rusia Vladimir Putin yang terjalin relatif lama. Bahkan, Wagner juga membantu Rusia menganeksasi Krimea, Ukraina pada tahun 2014. Kedekatan ini tentu saja membuat Prigozhin paham tentang manuver politik Putin baik terkait kebijakan domestik ataupun kebijakan internasional. Selain itu, Prigozhin juga sedikit-banyak mengetahui tentang rencana strategi dalam menginvasi Ukraina sekarang. Pengetahun yang dimiliki Prigozhin ini sangat membahayakan bagi Kremlin karena dapat dimanfaatkan pihak lain di luar Rusia guna menghadapi Putin.
Ada sejumlah dugaan yang kemungkinan bakal terjadi pada pimpinan Warger itu. Salah satunya, akan disingkirkan secara halus dengan diasingkan di suatu tempat sehingga tetap dapat diawasi dan dikontrol oleh Rusia. Selain itu, dapat juga membangun propaganda untuk menyakinkan masyarakat Rusia bahwa pimpinan Wagner berkhianat dan layak dijatuhi hukuman oleh Pemerintah Rusia. Namun, tidak menutup kemungkinan pula, justru Wagner tetap diberi kontrak kerja sama dan peran penting dalam konteks militer. Meski seperti menguntungkan Wagner, tetapi pada dasarnya langkah ini dilakukan untuk membuat Wagner kian tunduk dan patuh pada Pemerintah Rusia.
Baca juga: Isu Pemberontakan Wagner, dari Kontrak Baru hingga Perang Telegram
Berbagai dugaan tersebut sangat mungkin terjadi. Indikasinya terlihat dari upaya pemberontakan yang urung dilanjutkan pada 24 Juni 2023 lalu setelah Presiden Belarusia, Alexander Lukashenko, yang menjadi sekutu dekat Putin bernegosiasi dengan pimpinan Wargner. Prigozhin menerima tawaran mediasi dari pimpinan Belarusia itu dan di pihak Rusia juga memberikan maaf pada pasukan Wagner. Selanjutnya, pasukan Wagner yang sempat menguasai kota di selatan Rusia, Rostov-on-Don akhirnya mengumumkan menarik kembali pasukannya. Prigozhin kemudian dikabarkan untuk sementara waktu tinggal di Belarusia memenuhi tawaran Alexander Lukashenko.
Namun, dengan kesepakatan negosiasi itu apakah upaya pengkhianatan Wagner Group terhadap mitra bisnisnya tersebut lantas dianggap usai oleh Rusia?. Melihat sejarah Rusia yang sangat serius menghadapi berbagai ancaman bagi kedaulatan bangsanya, kesepakatan negosiasi tersebut belum tentu dianggap sebagai ujung penyelesaian bagi Rusia. Ukraina yang berencana bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) saja disikapi dengan invasi militer ke negara tetangganya itu. Apalagi, bagi pemberontak yang jelas-jelas menentang Putin dan berencana menyerang Kremlin di Moskwa kemungkinan besar tidak akan dimaafkan begitu saja. Lantas, apa yang bakal terjadi pada pasukan bayaran Wagner itu selanjutnya?.
Berakhir suram
Berbagai kemungkinan dapat saja terjadi pada Prigozhin beserta mercenaries Wagner-nya. Namun, berkaca pada kisah sejarah pasukan bayaran di bumi nusantara di masa silam, sepertinya Wagner Group akan berakhir unhappy ending. Ada sejumlah kisah tentara bayaran di era kolonialisme negeri ini hampir mirip serupa dengan pemberontakan Wagner saat ini.
Salah satunya ialah tentara bayaran penjajah Belanda yang dipimpin oleh Kapten Yongker. Menurut buku “Ensiklopedia Tentara Bayaran (2011)” karya Kuntjoro Hadi menyebutkan bahwa Kapten Yongker adalah seorang Muslim kelahiran Ambon yang memiliki pengikut (pasukan) yang terdiri dari orang-orang Ambon yang sangat ditakuti. Kelompok Yongker ini dikenal piawai menggunakan senjata tajam dan bertempur hingga akhir tanpa rasa takut. Pasukan ini hanya tunduk kepada perintah satu orang saja, yakni Kapten Yongker atau “Si Kapten Ambon”.
Kelompok itu dimanfaatkan oleh kongsi dagang Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) untuk menggelar operasi militer di sejumlah daerah yang mengganggu pemerintahan atau bisnis Belanda. Kapten Yongker beserta pasukannya pernah bertempur guna kepentingan Belanda di Padang, Makassar, Kediri, Ternate, Banda, Ambon, Palembang, Jambi, dan Banten. Bahkan, sempat juga dikirim berperang di luar negeri membantu VOC di India dan Sri Lanka.
Kelompok Yongker sangat terkenal di kalangan elite Belanda dan sang pimpinan Yongker tinggal di rumah mewah kala itu di Batavia di sekitar Marunda, Cilincing. Pasukan atau serdadu Yongker ditempatkan di kawasan Kampung Ambon, daerah Jatinegara, Jakarta Timur. Selain mendapat upah dari pertempurannya bersama Belanda, Kapten Yongker juga diangkat sebagai kepala masyarakat Ambon di Batavia dan ia memperoleh gaji yang besar dari kedudukannya itu.
Sayangnya, kedudukan yang dihormati bagi kaum pribumi itu membuat sejumlah elite Belanda tidak suka sehingga muncul fitnah bahwa Kapten Yongker akan menggulingkan kekuasaan Belanda di Batavia. Merasa dikhianati, Kapten Yongker mengamuk dan membuat keributan di Batavia pada tahun 1689. Perilaku anarkis itu dimanfaatkan Belanda untuk memperkeruh suasana dengan memfitnah tuduhan SARA, yakni pasukan Yongker akan membunuh semua orang-orang Belanda karena menganut Kristen.
Baca juga: Pasukan Bayaran dan Pertahanan Indonesia
Tuduhan itu menjadi dasar keputusan VOC untuk menyingkirkan Kapten Yongker berikut pengikutnya. Tragis, Kapten Yongker akhirnya tewas diterjang peluru para pasukan Kompeni yang mengepungnya. Pun demikian dengan para pengikut Kapten Yongker yang berjumlah 130 orang juga dikejar dan dibinasakan. Bahkan, pemerintah Belanda juga memberikan hadiah bagi siapa pun yang dapat membunuh bekas pengikut Kapten Yongker.
Mekipun tidak setragis Kapten Yongker, nasib mirip serupa juga dialami oleh pasukan bayaran lainnya, Sentot Alibasyah Prawirodirjo. Tokoh yang membelot dari Pangeran Diponegoro dan bergabung pada pemerintah Hindia Belanda ini juga difungsikan sebagai tentara bayaran. Selain itu, juga diberi kedudukan dan uang agar Sentot setia membantu kepentingan Belanda. Sayangnya, pada pertempurannya di Sumatera Barat melawan pasukan Padri, Sentot kalah dan bahkan diisukan berkhianat dari Belanda. Walaupun fitnah itu tak terbukti, tetapi Sentot beserta sejumlah pasukannya akhirnya diasingkan di Bengkulu sebagai tahanan buangan Belanda pada tahun 1833.
Selain ada yang berakhir miris, ada pula tentara bayaran Belanda yang nasibnya cukup baik. Dia adalah Arung Palakka (Aru Palaka) yang merupakan tentara bayaran seangkatan dengan Kapten Yongker. Bangsawan keturunan Bone yang membelot pada Belanda ini juga menjadi ujung tombak peperangan bersama Kapten Yongker. Ia beserta pasukan Bugisnya telah dikirim ke sejumlah medan laga membantu kepentingan Belanda seperti di Padang dan Makassar. Kemenangannya di Makassar mengalahkan kerajaan Gowa, membuat Aru Palaka dinobatkan sebagai Sultan Bone ke-15 pada tahun 1672. Posisi elitenya ini sekaligus penanda terbebasnya Kerajaan Bone dari kekuasaan Kerajaan Gowa yang pernah menaklukkan ayah Aru Palaka, yang merupakan Sultan Bone ke-13.
Walaupun sudah menjadi sultan, ternyata Belanda masih membutuhkan keahlian tempur Aru Palaka. Pada tahun 1678, Aru Palaka terlibat dalam pembumihangusan wilayah Kediri untuk meredam perlawanan Trunojoyo. Aru Palaka membantu pemimpin Kerajaan Mataram, Sri Susuhunan Amangkurat II atas bayaran dari VOC. Koalisi gabungan kekuatan Mataram, Bugis, dan VOC ini akhirnya mengalahkan sejumlah peperangan melawan pasukan Trunojoyo di Kertosono, Kediri, dan Madiun. Akhirnya, pemberontakan berhasil dipadamkan dengan ditangkapnya Trunojoyo pada Desember 1679.
Kedekatan Aru Palaka dengan Belanda itu membuat dirinya kurang disukai oleh rakyatnya. Perjuangannya membebaskan Bone menjadi kerajaan yang merdeka sangat dibanggakan oleh masyarakat Bugis, tetapi sepak terjangnya bersama Belanda membuat dirinya kurang dihormati. Terutama oleh masyarakat dari Kerajaan Gowa yang ditaklukannya bersama dengan Belanda. Raja Bone ini akhirnya harus hidup dalam dua sisi pandangan masyarakat, yakni dicintai dan sekaligus dibenci hingga akhir hayatnya.
“Mercenaries” Wagner
Sejarah masa lampau Indonesia dapat menjadi gambaran bahwa nasib akhir pasukan bayaran atau mercenaries bisa sangat beragam. Meskipun, mercenaries itu memiliki jasa yang besar dalam membantu pertempuran negara mitra usahanya, tetapi ketika ada isu pengkhiatan maka pasukan bayaran itu tiba-tiba menjadi pihak yang sangat dimusuhi. Ada yang berakhir dengan dibinasakan, diasingkan atau dibuang, atau tetap diberi ruang penghormatan tetapi dalam bayang-bayang kebencian. Rasa antipati ini bisa berlangsung sangat lama dan bahkan seumur hidup karena melibatkan rasa nasionalisme atau patriotisme masyarakat setempat.
Prigozhin dan pasukan Wagner-nya tidak menutup kemungkinan akan mengalami nasib serupa. Diburu Pemerintah Rusia, dibuang di pengasingan, atau dibenci oleh penduduk negaranya. Apalagi, jelas-jelas yang dilakukan pasukan Wagner itu merupakan bentuk pembelotan bagi Pemerintah Rusia dan mengancam kedaulatan negeri “Beruang Merah” itu. Lalu, dalam posisi Prigozhin saat ini yang mendapat perlindungan di Belarusia apakah menjamin keamanan tokoh Wagner ini?.
Baca juga: Wagner Group, Tentara Bayaran yang Melawan Tuannya
Tentu saja, hal tersebut tidak mudah untuk dijawab karena melibatkan politik tingkat tinggi suatu negara. Satu hal yang pasti, pemberontakan singkat yang dilakukan Wagner itu membuat posisinya menjadi “berjarak” dengan Pemerintah Rusia. Posisi ini dapat menjadi celah bagi negara-negara sekutu NATO untuk mengajak Prigozhin bergabung dalam aliansi ini.
Tidak menutup kemungkinan Prigozhin meminta suaka politik dari negara-negara NATO yang menjadi sekutu Ukraina dalam invasi Rusia saat ini. Dengan informasinya yang banyak terkait strategi penyerangan ke Ukraina dan juga kedekatannya dengan Putin, dapat sebagai daya tawar Prigozhin untuk mendapat suaka politik dari negara barat.
Hal tersebut pernah terjadi saat era perjuangan fisik Indonesia ketika Orde Lama. Allen Lawrence Pope, mantan penerbang Angkatan Udara Amerika Serikat (AS) yang berafiliasi pada Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) yang akhirnya diselamatkan oleh pemerintah AS ketika ditahan Pemerintah Indonesia. Pope ditangkap karena pesawatnya jatuh saat menyerang kapal perang milik Indonesia pada Mei 1958. Ia dinyatakan sebagai warga negara AS yang melakukan pekerjaan tentara bayaran bagi Permesta. Namun, karena Pope juga menyertakan sejumlah dokumen yang menujukkan keterlibatan badan intelijen pusat AS, CIA maka pemerintah AS pun turut campur tangan. Meskipun Pope dijatuhi hukuman mati, nyatanya kekuatan diplomasi AS berhasil menyelamatkannya dari hukuman maut di Indonesia.
Jadi, kembali pada kasus pemberontakan Wagner, masih ada sejumlah skenario untuk menutup akhir cerita tersebut. Ada kemungkinanan berakhir relatif “buruk” bagi Prigozhin, ketika ia masih berada dalam lingkup wilayah Rusia dan sekutunya. Namun, ada kemungkinan berakhir “baik” ketika ia berpindah ke aliansi kekuatan yang menjadi musuh Rusia. Pada titik ini, rasa patriotisme warga negara diuji. Berjuang hingga titik darah penghabisan demi mempertahanakan kedaulatan bangsanya, atau membela siapapun yang memberikan keuntungan terbanyak bagi diri dan kelompoknya. (LITBANG KOMPAS)