Pasukan Bayaran dan Pertahanan Indonesia
Fenomena tentara bayaran yang secara harfiah merupakan ”marketing perang” berpotensi besar menimbulkan jenis ancaman baru yang dapat menimbulkan kekacauan di sejumlah negara.
Pasukan tentara bayaran Wagner Group membuat kejutan di dunia dengan menyatakan akan melawan angkatan bersenjata Rusia yang merupakan klien penyewa jasanya. Meskipun ancaman tersebut berusia singkat, hanya kurang dari sehari, kenyataan ini menyadarkan bahwa mercenaries, tentara bayaran, dapat menjadi ancaman baru dalam konsep pertahanan negara.
Ancaman yang dilontarkan pemimpin Wagner Group, Yevgeny Prigozhin, pada 24 Juni lalu merupakan bentuk ”pembalasan” atas serangan yang diduga dilakukan militer Rusia terhadap sejumlah besar pasukan Wagner dalam pertempuran di Ukraina. Padahal, Wagner adalah salah satu aktor kunci di balik sejumlah kemenangan Rusia di medan perang melawan Ukraina. Selama bertahun-tahun, pasukan Wagner Group dilaporkan juga bertempur di sejumlah negara demi kepentingan Rusia.
Selain dugaan atas penyerangan itu, kekesalan pasukan Warner juga disebabkan oleh minimnya faktor dukungan lain yang diberikan oleh pihak militer Rusia. Misalnya, dari segi dukungan personel militer dan juga persenjataan. Dengan minimnya dukungan, maka risiko pertempuran kian besar karena nyawa menjadi pertaruhannya ketika menghadapi lawan yang masif di medan laga.
Untung saja, ”pembelotan” Wagner terhadap Rusia yang diwujudkan dengan merebut kota penting di selatan Rusia, Rostov-on-Don, dan akan berlanjut menuju ibu kota, Moskwa, tidak diteruskan. Setelah Presiden Belarusia Alexander Lukashenko bernegosiasi dengan Prigozhin, pasukan Wagner akhirnya mengumumkan menarik kembali seluruh pasukannya dan kembali ke kamp mereka di Ukraina. Negosiasi Belarusia yang merupakan sekutu dekat Rusia ini bertujuan mencegah pertumpahan darah yang lebih besar. Pasalnya, langkah yang dilakukan Wagner ini dapat memicu perang kota yang mengancam keselamatan warga sipil Rusia.
Baca juga: Wagner Group, Tentara Bayaran yang Melawan Tuannya
Upaya yang dilakukan Wagner tersebut menjadi sebuah ”ancaman” baru dalam konteks pertahanan negara. Tentara bayaran yang identik dengan motif profitabilitas dan kurang mengedepankan patriotisme justru berbalik arah dapat mengancam kedaulatan sebuah negara yang menjadi mitra bisnisnya. Apalagi, Prigozhin yang menjadi pemimpin Wagner itu termasuk orang dekat Presiden Rusia Vladimir Putin sehingga menimbulkan banyak pertanyaan terhadap aksinya.
Apakah pemberontakan itu memang karena berdasarkan motif dugaan balas dendam atas serangan militer Rusia kepada pasukan Wagner? Apakah karena ketidakpuasan Wagner terhadap suplai persenjataan, militer dan juga alutsista yang minim sehingga tidak sepadan dengan bayaran yang di terima? Ataukah karena ada motif lain yang berasal dari pihak di luar Rusia yang coba memengaruhi pasukan bayaran ini untuk menyerang balik ke Rusia? Masih banyak dugaan lain yang dapat disematkan pada upaya mercenaries Wagner itu dalam upaya penyerangan kedaulatan Kremlin tersebut.
Motif mercenaries
Buku Mercenaries and War: Understanding Private Armies Today karya Sean McFate yang diterbitkan oleh National Defense University Press tahun 2019 membedah sejumlah fakta tentang tentara bayaran di sejumlah negara. Istilah paling sederhana tentang tentara bayaran adalah warga sipil bersenjata yang dibayar untuk melakukan operasi militer di zona konflik negara asing. Jadi, mercenaries ini melakukan privatisasi tugas-tugas militer dan mendapat imbalan dari kegiatannya itu. Bisa berupa aksi militer bersenjata secara langsung ataupun melatih pasukan di zona-zona konflik di wilayah asing.
Ada lima karakteristik yang membedakan tentara bayaran dengan tentara (aktor) non-negara bersenjata seperti halnya teroris. Pertama, mercenaries lebih termotivasi oleh keuntungan finansial daripada motif politik. Bukan berarti tentara bayaran mengabaikan kepentingan politik tersebut, hanya saja mereka berupaya memaksimalkan keuntungan sehingga akan mengakomodasi sesuai keinginan para penawar tertingginya. Kedua, bisnis tentara bayaran ini sangat terstruktur sebagai entitas bisnis dan bahkan sebagian di antaranya telah diperdagangkan dalam lantai bursa saham.
Ciri ketiga, bisnis tentara bayaran ini bersifat ekspedisi. Artinya, mereka mencari pekerjaan di negeri asing daripada memberikan layanan keamanan dalam negeri. Ada pengecualian untuk hal ini, terutama jika menyangkut pertahanan dalam negeri, tetapi secara umum, tentara bayaran berfokus pada asing dan bukan penjaga keamanan dalam negeri.
Karakteristik keempat, tentara bayaran ini umumnya mengerahkan kekuatan secara militer, berlawanan dengan aktor negara yang lebih mengutamakan penegakan hukum. Tujuan dari kekuatan militer tentara bayaran ini untuk mengalahkan atau menghalangi tindak kekerasan yang dilakukan oleh lawan. Sementara negara lebih berusaha mengambil sisi penegakan hukum untuk mengurangi situasi kekerasan serta menjaga stabilitas ketertiban dan keamanan. Terakhir, tentara bayaran dapat bekerja dengan sangat mematikan dan mewakili komodifikasi konflik bersenjata.
Dari kelima ciri tersebut, tentara bayaran akan mengalkulasi kegiatan bersikonya dengan nilai transaksi yang menguntungkan dengan bernegosisasi dengan pihak penyewa jasanya. Penyewa jasanya bisa dari unsur pemerintah ataupun swasta. Berbeda dengan pasukan tentara atau aktor non-negara bersenjata (teroris) bermotivasi politik yang tidak berusaha memasarkan perang dan mengambil keuntungan moneter dari kegiatan militer itu.
Baca juga: Jejak Gurita Bisnis dan Pengaruh Politik Kelompok Wagner
Munculnya fenomena tentara bayaran tersebut tentu saja berpotensi besar menimbulkan jenis ancaman baru, terutama dari segi konflik ”pribadi” yang dapat menimbulkan kekacauan di sejumlah negara. Pasalnya, mercenaries ini secara harfiah merupakan ”marketing perang” di mana jasa kekuatan persenjataan militer dapat diperjual-belikan seperti komoditas barang dan jasa lainnya. Bahkan, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, jasa mercenaries tersebut juga kian lebar dengan memberikan berbagai pelayanan guna memenuhi permintaan klien. Misalnya saja spionase, investigasi licik, riset oposisi, dan bahkan intimidasi. Guna meningkatkan efek penetrasi kegiatannya, para pasukan atau tim bayaran ini juga menggunakan media digital dan medsos guna memengaruhi publik.
Jika tren ini terus berkembang, orang superkaya bisa menjadi negara ”adidaya” yang menyebabkan perang tanpa negara. Bahkan, fenomena itu dapat mendorong suatu negara dapat menjadi hadiah dari sebuah ”konflik” yang sengaja diciptakan oleh para pemilik uang atau investor kaya. Hal ini berpotensi merusak hubungan internasional dengan berbagai negara lain karena ”negara baru” hasil konflik itu memiliki paradigma yang berbeda dari sebelumnya. Tentu saja motif keuntungan pemodal lebih mendominasi daripada harmonisasi hubungan internasional suatu negara.
Patriotisme Indonesia
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tertera cita-cita luhur bangsa Indonesia. Tujuan mulia tersebut adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dari keempat cita-cita itu, melindungi segenap bangsa dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia berada di urutan terdepan. Hal ini dikarenakan terciptanya rasa aman terbebas dari berbagai macam gangguan adalah salah faktor terpenting dalam membangun sebuah bangsa. Dengan terlindunginya seluruh warga negara dan juga terciptanya keamanan yang kondusif di segenap wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka pemerintah beserta masyarakat dapat dengan tenang menjalankan fungsinya dalam meraih kesejahteraan kehidupan dan kemajuan bersama.
Baca juga: Batal ke Moskwa dalam Pemberontakan di Rusia, Pasukan Wagner Putar Haluan ke Belarus
Dalam rangka melindungi segenap bangsa dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia itu diperlukan suatu sistem sangat vital yang berkaitan dengan pertahanan negara. Untuk mewujudkan upaya pertahanan negara ini, pemerintah telah mengaturnya dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. UU ini menyatakan bahwa usaha pertahanan negara bersifat semesta yang dilaksanakan oleh seluruh warga negara Indonesia.
Sistem pertahanan yang bersifat semesta itu melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan segenap sumber daya nasional. Setiap warga negara berhak dan wajib terlibat aktif dalam menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan segenap bangsa. Seluruh warga negara sesuai peran dan fungsinya dipersiapkan atau mempersiapkan diri untuk menghadapi hakikat ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan terhadap eksistensi NKRI yang ditimbulkan oleh adanya perubahan lingkungan strategis.
Perkembangan lingkungan strategis baik internasional, regional, maupun nasional senantiasa membawa perubahan terhadap kompleksitas ancaman dan tantangan terhadap pertahanan negara. Kompleksitas ancaman dapat dilihat dari jenis, pelaku, dan sumber ancaman. Jenis ancaman dan tantangan tidak lagi didominasi oleh ancaman militer, tetapi juga oleh ancaman non-militer. Pelaku ancaman tidak terbatas hanya pada aktor negara (state actor), tetapi juga aktor non-negara (nonstate actor), bahkan keduanya dapat bersama-sama menjadi ancaman (hybrid threat).
Melalui kebijakan tersebut pemerintah mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam menjaga keutuhan wilayah dan juga kondusivitas keadaan nasional. Terutama dalam mengantisipasi berbagai peluang ancaman nonmiliter yang berpotensi terjadi di Indonesia. Misalnya saja, berhati-hati dalam menyikapi isu-isu yang beredar di media digital dan media sosial. Masyarakat diminta melakukan cross checking terlebih dahulu sebelum menggulirkan isu itu ke berbagai kanal-kanal medsos lainnya. Bukan tidak mungkin isu-isu itu diembuskan oleh pihak-pihak tertentu yang berupaya mengambil keuntungan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan isu itu juga melibatkan ahli teknologi atau pasukan bayaran asing yang memanfaatkan teknologi digital guna memengaruhi kondisi geopolitik Indonesia.
Oleh karena itu, jiwa patriotisme harus ditanamkan pada diri setiap insan masyarakat Indonesia guna menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI. Jiwa nasionalisme inilah yang membedakan masyarakat Indonesia dengan para kaum bayaran yang tidak memiliki nilai-nilai patriotisme. Rasa kebangsaaan dan jiwa kepahlawanan pada akhirnya berperan sebagai benteng penting dalam menjaga eksistensi Indonesia dari berbagai ancaman yang mengintai. Baik ancaman dari dalam negeri maupun dari asing. (LITBANG KOMPAS)