Luas ruang terbuka hijau (RTH) DKI Jakarta hanya 33,35 juta meter persegi atau 5,18 persen dari luas total Jakarta. Angka ini jauh dari ketentuan aturan yang mensyaratkan hingga 30 persen.
Oleh
Debora Laksmi Indraswari
·5 menit baca
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencanangkan program ”Penataan Kawasan Unggulan” untuk menambah opsi peningkatan jumlah dan luas ruang terbuka hijau atau RTH bagi publik. Program yang ditujukan di setiap kelurahan ini bisa menjadi batu loncatan untuk membenahi dan memperbaiki kualitas lingkungan pada kawasan permukiman padat.
Ingar-bingar kehidupan kota megapolitan Jakarta ternyata menyisakan ironi kehidupan bagi sebagian masyarakatnya. Di saat semua infrastruktur dan layanan penunjang tersedia dengan lengkap, ternyata keberadaan ruang terbuka publik menjadi barang berharga di Ibu Kota. Masifnya pembangunan gedung-gedung bertingkat dan kian padatnya hunian masyarakat membuat ruang-ruang sosial masyarakat kian menyempit. Anak-anak sulit menemukan ruang lebar untuk bermain, ruang interaksi warga kian minim, dan tempat-tempat umum untuk rekreasi publik secara gratis kian terbatas.
Ruang terbuka publik dan kawasan hijau, seperti taman kota, lapangan, atau sekadar jalur pedestrian, menjadi barang langka di Ibu Kota. Menurut data Jakarta Satu, luas total ruang terbuka hijau (RTH) DKI Jakarta hanya 33,35 juta meter persegi atau 5,18 persen dari luas total Jakarta. Padahal, menurut peraturan, luas total RTH di suatu daerah harus mencapai 30 persen dari total wilayah.
Dari seluruh daerah di Provinsi DKI Jakarta, luasan RTH terbesar berada di Kota Jakarta Selatan dengan luasan area hijau ini mencapai 24,87 persen dari total luas wilayahnya. Untuk daerah yang tingkat RTH-nya terendah berada di Kabupaten Kepulauan Seribu dengan besaran area hijau hanya 0,03 persen dari seluruh wilayahnya.
Ketimpangan luasan RTH itu mengindikasikan bahwa prioritas pengembangan kawasan hijau di Jakarta belum imbang antardaerah administrasinya. Di pusat-pusat aktivitas perekonomian, jasa, dan pemerintahan, seperti di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan, kualitas ruang terbuka publik dan aksesibilitasnya cenderung lebih baik dibandingkan dengan daerah lain. Hal ini kemungkinan besar karena kedua daerah itu merepresentasikan sebagai pusat Ibu Kota dan tujuan kegiatan jasa pariwisata. Pada kawasan ini banyak dijumpai kawasan permukiman kelas atas dengan taman-taman dan ruang terbuka publik yang indah dan terawat.
Kondisi tersebut kontras dengan kawasan pinggiran Jakarta lainnya yang hampir tidak memiliki fasilitas serupa. Umumnya, kawasan yang relatif minim ”sentuhan” pemerintah ini cenderung padat bangunan sehingga ruang gerak warga menjadi sangat terbatas. Gang-gang sempit yang ada di depan rumah menjadi satu-satunya ruang bagi masyarakat untuk bersosialisasi, anak-anak bermain, ataupun untuk berjualan mengais rezeki. Itu pun sering kali terlihat tidak tertata sehingga suasananya cenderung muram, pengap, dan kurang menarik untuk ditonton. Keterbatasan lahan publik ini turut serta mendorong turunnya kualitas kehidupan masyarakat yang bermukim di sana.
Pemprov DKI Jakarta terus berupaya mengatasi berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat tersebut. Salah satunya, pernah mengimplementasikan program ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) untuk menghadirkan ruang terbuka publik di tengah-tengah kepadatan Ibu Kota. Meskipun awalnya ditujukan untuk peningkatan kualitas dan perkembangan hidup anak, RPTRA menjelma menjadi ruang publik baru bagi seluruh kelompok usia masyarakat. Hampir di setiap RPTRA, orang dewasa dan warga lansia turut memanfaatkan fasilitas itu sekadar untuk bercengkerama hingga berolahraga.
Hingga saat ini, terdapat 324 RPTRA di 6 kota/kabupaten di DKI Jakarta. RPTRA tersebut sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas penunjang lainnya, seperti alat-alat olahraga, taman, dan pendauran ulang sampah. Ragam fasilitas ini semakin memperlengkapi RPTRA sebagai ruang publik warga. RPTRA menjadi angin segar bagi masyarakat di permukiman padat untuk mencari ruang-ruang publik guna berekreasi, bersantai, ataupun bersosialisasi.
Penataan kawasan unggulan
Pentingnya penyediaan ruang terbuka publik untuk warga Jakarta terus diprioritaskan hingga sekarang. Urgensi tersebut kentara dalam program yang tengah dijalankan oleh Pemprov DKI Jakarta, yakni kegiatan Penataan Kawasan Unggulan. Melalui program ini, lahan-lahan terbengkalai dan kosong yang tidak terurus diubah menjadi ruang terbuka publik. Setiap kelurahan di enam daerah di DKI Jakarta akan dibangun satu titik kawasan unggulan tersebut
Saat ini, setidaknya ada 267 kawasan unggulan yang sudah dibangun. Penataan kawasan unggulan ini disesuaikan dengan kebutuhan setiap daerah. Ada yang berupa taman atau ruang terbuka hijau, taman bermain, perpustakaan anak, serta area urban farming.
Konsep penataan kawasan tersebut sedikit berbeda dengan RPTRA. Kawasan unggulan ini tidak selalu berupa tanah lapang yang kemudian dirombak menjadi ruang yang bermanfaat bagi masyarakat. Penataannya lebih fleksibel karena hanya memanfaatkan lahan terbengkalai yang tidak selalu berbentuk area.
Kawasan unggulan ini bisa berupa lorong gang yang dihiasi oleh tanaman seperti yang terlihat di Gang H Soleh Pedo Tanjung Duren Selatan, Jakarta Barat. Tanaman yang tumbuh di sepanjang gang tersebut berupa tanaman obat, hias, dan vertikal garden. Tanaman yang tumbuh menarik ini selain dapat sebagai obyek swafoto, juga dapat diambil manfaatnya oleh warga setempat.
Kreasi lainnya dapat berupa Taman Interaktif yang dibangun di Kelurahan Duren Sawit, Jakarta Timur. Area berupa taman seluas 1.200 meter persegi diisi dengan berbagai jenis tanaman, gazebo, panggung kecil, dan tempat swafoto.
Dibukanya lahan-lahan terbengkalai tersebut bisa menjadi solusi dari permasalahan keterbatasan di Jakarta. Pasalnya, salah satu kendala dari penyediaan RTH adalah sulitnya pengadaan lahan. Menurut data Dinas Kehutanan DKI Jakarta, program pembelian lahan untuk penyediaan RTH DKI Jakarta hanya menghasilkan rata-rata 40 hektar per tahun. Artinya, pada 2030 nanti, luas lahan hanya akan bertambah 0,74 persen dibandingkan dengan kondisi 2018 (Kompas, 13 Juni 2019).
Penataan kawasan unggulan itu bisa menjadi solusi dalam menambah kekurangan RTH di Jakarta. Membangun lahan terbengkalai dengan pepohonan dan tanaman-tanaman setidaknya bisa menambah ruang hijau yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, terutama kelompok menengah bawah. Sama seperti RPTRA, area yang ditata dalam kawasan unggulan itu juga dapat bermanfaat memberikan ruang gerak lebih luas pada warga yang bermukim pada wilayah padat penduduk.
Permukiman padat
Di sisi lain, penataan kawasan unggulan serta pembangunan RPTRA diharapkan bisa menjadi katalis untuk pembenahan kawasan permukiman kumuh dan padat penduduk. Dengan adanya ruang terbuka publik tersebut mempersempit kesenjangan atas pemanfaatan ruang antarkelompok masyarakat. Masyarakat dari kalangan menengah bawah yang kebanyakan tinggal di permukiman padat penduduk setidaknya memiliki ruang gerak dan interaksi.
Di samping itu, dengan implementasi program-program tersebut juga turut mendorong penyediaan fasilitas dan infrastruktur publik lainnya. Misalnya, pembangunan fasilitas olahraga, urban farming, hingga perpustakaan mini. Di sejumlah titik, keberadaan ruang publik turut menghadirkan infrastruktur jalan ataupun prasarana transportasi yang selama ini masih kurang menjangkau kawasan permukiman padat.
Dengan demikian, program seperti RPTRA dan penataan kawasan unggulan sangat dibutuhkan di sejumlah kawasan di Jakarta. Pendekatan tingkat wilayah terkecil, seperti RT, RW, dan kelurahan diperlukan agar kebermanfaatannya diterima seluruh kalangan masyarakat. Namun, perlu menjadi catatan bahwa jangan sampai program-program tersebut hanya sebatas pembangunan tanpa pemeliharaan seperti di sejumlah RPTRA yang pada akhirnya tidak terawat dan akhirnya terbengkalai. (LITBANG KOMPAS)