Komitmen Capres Tuntaskan Pelanggaran HAM Masa Lalu
Publik berharap calon presiden pada Pemilu 2024 berkomitmen menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pengusutan kasus dan pemberian keadilan bagi korban dan keluarga korban perlu diakselerasi.
Jelang pergantian kepemimpinan, mayoritas publik berharap calon presiden dan wakil presiden mau berkomitmen memberikan keadilan kepada korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di era awal reformasi.
Dalam hitungan tak lebih dari tiga bulan, calon-calon pemimpin yang akan mengkampanyekan diri untuk Pemilu 2024 diharapkan mempertimbangkan isu hak asasi manusia (HAM) dalam menggodok visi, misi, dan program kerja.
Bagi publik, negara dianggap belum berupaya keras untuk menuntaskan persoalan pelanggaran HAM di masa lalu. Tren optimisme publik pun masih terekam rendah dari tahun ke tahun. Perlu komitmen nyata bagi pemerintahan di masa mendatang untuk memberikan model keadilan yang sesuai pada tiap kasus, baik secara yudisial maupun nonyudisial.
Jajak pendapat Kompas pada Mei 2023 merekam, sebanyak 57,2 persen responden menyebut pemerintah belum berupaya keras untuk mengusut dugaan pelanggaran HAM di awal reformasi.
Tidak hanya itu, perhatian untuk korban dan keluarga korban juga dirasa belum terpenuhi. Sebanyak 32,5 persen menyebut negara sama sekali belum memberikan keadilan bagi korban maupun keluarga korban. Adapun 46,2 persen menyebut baru sebagian saja yang sudah mendapatkan keadilan.
Kemirisan publik pada penuntasan pelanggaran HAM juga terpotret dari hasil jajak pendapat sebelumnya. Pada April 2021, sebanyak 42,7 persen responden menganggap pengusutan pelanggaran HAM pada peristiwa Kerusuhan Mei 1998 tidak tuntas sama sekali. Adapun 37,7 persen menyebut baru tuntas sebagian.
Pemerintah diharapkan mengarusutamakan upaya keadilan melalui jalur yudisial atau pengadilan. Hal ini disampaikan oleh 59,7 persen responden yang menyebut hal inilah yang paling belum diupayakan pemerintah bagi korban maupun keluarga korban.
Merujuk jajak pendapat pada Mei 2019, sebanyak 61,8 persen responden menyebut pelanggaran HAM pada Kerusuhan Mei 1998 belum terpenuhi dan 19,6 persen menyatakan baru terpenuhi sebagian.
Jajak pendapat yang digelar di awal masa kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf ini turut merekam, enam dari 10 responden berharap pemerintah baru menempatkan pengusutan pelanggaran HAM berat di masa lalu sebagai prioritas kerja.
Dari tiga periode jajak pendapat tersebut, setidaknya dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian besar publik belum melihat upaya nyata pemerintah untuk mengusut dalang di balik setiap peristiwa dan menyelenggarakan pengadilan bagi para pelaku. Akhirnya, korban dan keluarga pun masih dalam terkungkung dalam ketidakadilan.
Baca juga : Melawan Lupa Duka Korban Reformasi
Pemimpin masa depan
Meski masih dalam selimut pesimisme, tren baik nampak dari opini sebagian publik. Proporsi publik yang merasakan upaya negara untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu semakin naik.
Demikian halnya dengan keyakinan publik yang menunjukkan tren naik. Merujuk hasil jajak pendapat, keyakinan pada pemerintah dalam penuntasan pelanggaran HAM tercatat di angka 35,1 persen pada Mei 2019.
Tingkat keyakinan naik menjadi 40,6 persen pada April 2021 dan terakhir tercatat di angka 52,1 persen pada Mei 2023. Artinya, pemerintah secara perlahan mampu menguatkan kepercayaan masyarakat yang akhirnya dapat dikonversikan menjadi penopang stabilitas negara.
Temuan ini dapat menjadi modalitas bagi pemerintahan mendatang untuk semakin fokus menjamin hak setiap warga negara dan menjamin bahwa kejadian serupa tidak akan terulang di masa depan.
Merujuk tahapan Pemilu 2024, calon-calon yang akan berkontestasi bakal mendaftarkan diri pada 19 Oktober – 25 November 2023.
Artinya, dalam tiga bulan ke depan, setiap kontestan perlu untuk mempersiakan visi, misi, dan program kerja yang ditawarkan kepada calon pemilih. Visi ini akan diadu kuat pada masa kampanye pada 28 November 2023-10 Februari 2024.
Hampir seluruh responden (94,9 persen) menilai calon presiden dan wakil presiden yang akan maju pada Pemilu 2024 perlu berkomitmen untuk melanjutkan pengusutan pelanggaran HAM di masa lalu.
Lebih lagi, dengan capaian yang sudah ada saat ini, calon pemimpin masa depan perlu lebih fokus untuk menghadirkan keadilan yang seturut dengan kondisi beragam beragam yang dihadapi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM.
Tidak hanya di atas kertas, pemerintah baru perlu betul-betul menjalankan visi dan misinya mengingat tingkat keyakinan publik baru di kisaran 50 persen. Keyakinan publik tentu saja menjadi modal penting dalam kepemimpinan sebagai cermin kuatnya demokrasi.
Bertolak dari visi, misi, dan program kerja Jokowi-Kalla 2014 disebutkan pelanggaran HAM sebagai ancaman terhadap wibawa bangsa dan dianggap sebagai persoalan yang cukup sentral.
Saat itu, Jokowi-Kalla berjanji akan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu dengan berkeadilan. Pasangan ini juga berkomitmen menghapus semua bentuk impunitas dalam sistem hukum nasional.
Misi yang dijanjikan pada Pemilu Presiden 2014 itu kembali diangkat dalam Pemilu 2019. Dalam salah satu bagian misi tentang HAM, pasangan Jokowi-Amin berkomitmen melanjutkan penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Kata HAM disebut tujuh kali oleh pasangan Jokowi-Amin. Adapun pada pasangan Prabowo-Sandi, kata HAM sama sekali tidak muncul. Kata HAM justru muncul saat Prabowo maju bersama Hatta Rajasa pada Pemilu 2014 dalam konteks menjunjung tinggi HAM.
Baca juga : Jejak Langkah 25 Tahun Reformasi
Daftar pengusutan
Merujuk catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), ada 17 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang penyelidikannya sudah dirampungkan.
Tiga kasus di seputar reformasi, yakni Peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998; Peristiwa Kerusuhan Mei 1998; dan Peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II 1998-1999, merupakan bagian dari kasus dengan dugaan pelanggaran HAM berat tersebut. Kesamaan dari ketiganya adalah berkas masih bolak-balik dari Komnas HAM dan Jaksa Agung.
Dari 17 kasus pelanggaran HAM berat, 12 di antaranya telah diakui oleh Presiden Joko Widodo. Pada 11 Januari 2023, Presiden Jokowi menyampaikan penyesalan atas terjadinya kasus pelanggaran HAM di masa lalu tersebut.
Pengakuan ini merupakan simbol dari pelaksanaan rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (TPPHAM).
Adapun lima kasus lainnya tidak masuk dalam pengakuan tersebut. Empat kasus sudah pernah diadili oleh Pengadilan HAM Ad Hoc, yaitu Peristiwa Timor-Timur, Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Abepura, dan Peristiwa Paniai.
Adapun satu kasus lainnya, yakni Peristiwa Timang Gajah Bener Meriah di Aceh, baru selesai diselidiki pada 2021 sehingga tidak masuk dalam mandat kerja TPPHAM.
Menurut Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro, kasus tersebut tetap perlu mendapatkan perhatian dalam hal pemulihan bagi korban. Hasil keputusan dari pengadilan HAM Ad Hoc semuanya membebaskan tersangka.
Tidak ada tersangka yang terbukti bertanggung jawab dalam empat peristiwa tersebut. Akibatnya, para korban tidak mendapatkan rekomendasi pengadilan terkait hak mereka atas kompensasi ataupun restitusi.
Kasus pelanggaran HAM di masa lalu harapannya tidak hanya menjadi deretan peristiwa kosong yang semakin kehilangan makna. Pemimpin Indonesia di masa depan memiliki kewajiban untuk menjahit kembali apa yang telah terkoyak. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Jalan Panjang Merawat Ingatan Masyarakat