Membaca Arah Pilihan Politik Warga NU di Pemilu 2024
Basis dukungan dari pemilih nahdliyin memiliki jumlah yang besar dan akan menjadi rebutan setiap kontestan di pemilu. Bagaimana arah dukungan dari pemilih NU ini?

Warga nahdliyin memadati arena Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Daarussaadah, Kabupaten Lampung Tengah, Lampung, Rabu (22/12/2021).
Warga Nahdlatul Ulama akan menjadi elemen penting dalam pemilihan umum tahun depan. Selain karena jumlahnya besar, distribusi pilihan dari warga nahdliyin yang menyebar menjadi potensi bagi siapa pun untuk berebut dukungan dari pemilih kalangan Islam tradisional ini.
Hasil survei Litbang Kompas Mei 2023 menyebutkan, 61,7 persen responden mengaku sebagai warga nahdliyin. Dari sisi jumlah yang besar ini sedikit banyak juga menjadi gambaran bagaimana arah pemilih di pemilihan umum nanti.
Setidaknya dari lima survei terakhir yang digelar, ada pola yang sama antara pilihan responden secara umum dan kelompok responden dari latar belakang NU ini.
Di kelompok responden secara umum, pilihan terhadap partai politik menghasilkan empat partai politik selalu berada di papan atas, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrat. Hal yang sama juga ditemui pada kelompok responden NU.
Di survei Litbang Kompas periode Mei 2023, pemilih dari kalangan NU lebih banyak menjatuhkan pilihan ke PDI-P dengan 22,6 persen. Angka ini sedikit naik dibandingkan survei Januari 2023. Kenaikan dukungan dari responden warga NU juga diraih oleh Partai Gerindra di mana ada kenaikan sekitar 8 persen dibandingkan survei sebelumnya.

Pada survei Mei 2023, Gerindra mendapatkan sumbangan elektoral dari pemilih NU mencapai 19,6 persen dari sebelumnya di survei Januari 2023 berada di angka 11,5 persen. Angka elektoral Gerindra di mata warga nahdliyin ini tercatat paling tinggi dari lima survei terakhir yang digelar Litbang Kompas.
Sementara itu, Partai Golkar cenderung berada di rentang 7-9 persen dukungannya dari kelompok responden warga NU ini. Angka yang sama juga dialami oleh Partai Demokrat.
Setali tiga uang dengan Golkar dan Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang selama ini dikenal secara emosional dekat dengan warga NU juga masuk dalam kategori rentang elektoral 7-9 persen.
Terkait potensi elektoral PKB di mata warga NU ini memberikan sinyal yang makin menguatkan bahwa pilihan dari warga NU tidak serta merta tunggal kepada partai politik tertentu.
PKB sendiri di awal pendiriannya memang dibentuk dan dideklarasikan oleh tokoh-tokoh NU, terutama dengan ketokohan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Ketua KPU Hasyim Asy'ari (kanan) dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Yahya Cholil Staquf (kiri) menyampaikan keterangan pers di kantor PBNU, Jakarta, Rabu (4/1/2023). Dalam pertemuan yang berlangsung tertutup tersebut, KPU dan PBNU membahas persiapan Pemilu 2024. Yahya Cholil Staquf menegaskan, satu-satunya kepentingan NU dalam politik Indonesia adalah keselamatan bangsa dan negara.
Namun, setelah Gus Dur wafat, tren suara partai ini cenderung menurun meskipun di era kepemimpinan Muhaimin Iskandar PKB relatif bertahan di papan menengah partai politik secara nasional.
Pada Pemilu 1999, PKB meraih 12,6 persen suara dengan berhasil merebut 51 kursi DPR (12,6 persen). Di Pemilu 2004, suaranya sedikit menurun menjadi 10,6 persen dengan jumlah kursinya meningkat menjadi 52 kursi (9,5 persen). Kemudian di Pemilu 2009 suaranya anjlok di angka 4,9 persen dengan perolehan 28 kursi (5 persen).
Elektoral PKB kembali meningkat di Pemilu 2014 yang mampu meraih 9,0 persen suara nasional dan berhasil merebut 47 kursi (8,4 persen).
Terakhir, di Pemilu 2019 suaranya kembali bertahan di angka 9,6 persen dengan 58 kursi (10,1 persen). Ke depan, tantangan PKB tidaklah mudah setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di bawah kepemimpinan KH Yahya Cholil Staquf berupaya menguatkan kembali komitmen NU pada khitahnya untuk tidak berpolitik praktis.
Baca juga: Ke Mana Pilihan Warga NU Berlabuh pada Pemilu 2024?
Netralitas NU
Dalam sejumlah kesempatan, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menyatakan bahwa NU terus menguatkan upayanya untuk kembali ke Khitah 1926.
Gus Yahya, demikian sapaannya, menegaskan beberapa kali bahwa NU menjaga jarak yang sama dengan semua kekuatan politik. Bahkan, di satu kesempatan Gus Yahya menyampaikan bahwa wadah aspirasi politik warga NU tidak didominasi oleh PKB.
Bagaimanapun sejarah memang tidak bisa dihapuskan soal adanya hubungan antara warga NU dan PKB yang berlangsung alamiah karena ikatan historis.
Namun, memang tidak semua warga NU memilih PKB. Hasil survei Litbang Kompas menegaskan sinyalemen tersebut. Seperti yang dikutip di atas, pilihan warga NU menyebar ke banyak partai, tentu termasuk PKB.

Namun, survei Litbang Kompas juga merekam sebagian besar pemilih PKB memang didominasi oleh warga NU. Sebanyak 84,6 persen dari kelompok pemilih PKB memang berasal dari nahdliyin.
Hal ini jauh lebih besar dibandingkan partai-partai politik lainnya. PDI-P, misalnya, yang secara umum meraih elektoral paling tinggi, sumbangan dari responden pemilih warga nahdliyin hanya 60 persen. Hal yang sama juga terbaca pada kelompok pemilih Gerindra dan Golkar.
Artinya, meskipun sikap PBNU menjaga jarak yang sama pada semua partai politik, konstituen PKB adalah Nahdliyin adalah sesuatu yang tidak bisa dibantah. Langkah PBNU tidak lepas dari upaya memperkuat netralitas NU sebagai organisasi kemasyarakatan.
Baca juga: Prabowo, Ganjar, Anies, dan Pemilih ”Nahdliyin”
Capres
Menyebarnya pilihan warga NU ke banyak partai politik juga ditemukan di orientasi pilihan nahdliyin pada sosok calon presiden yang diinginkan di Pemilu 2024.
Survei Litbang Kompas merekam, sama dengan orientasi secara umum di mana ada tiga nama sosok yang masuk dalam papan atas pilihan responden, hal yang sama juga ditemui di kelompok responden warga NU.
Nama Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan menjadi tiga nama yang muncul paling banyak disebutkan sebagai pilihan calon presiden. Dari tiga nama tersebut, Prabowo dan Ganjar menjadi dua nama yang saling berkejar-kejaran secara elektoral.
Di survei Mei 2023 nama Prabowo meraih elektabilitas paling tinggi di kelompok pemilih nahdliyin. Menteri Pertahanan ini meraih 25,8 persen, naik sekitar 7 persen dibandingkan survei Januari 2023.
Sebaliknya, Ganjar yang sebelumnya di survei Januari 2023 berada di posisi paling atas, menurun di survei Mei 2023 ini dengan 24,7 persen, turun 3 persen dari survei Januari 2023.

Pasangan calon Presiden-Wakil Presiden, Joko Widodo-Ma'ruf Amin, seusai pertemuan di Menteng saat masa kampanye pemilihan presiden, Jakarta, Kamis (27/6/2019).
Sementara nama Anies Baswedan, meskipun berada di tiga besar, tingkat keterpilihannya relatif agak berjarak dibandingkan Prabowo dan Ganjar. Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut rata-rata hanya meraih elektabilitas kurang dari 15 persen. Angka ini relatif terjaga di lima kali survei terakhir yang digelar Litbang Kompas.
Meskipun posisinya tergeser oleh Prabowo dalam raihan elektabilitas di kelompok pemilih NU, dominasi pemilih Ganjar di kelompok pemilihnya masih lebih banyak warga NU.
Sebanyak 66,9 persen dari responden pemilih Ganjar berasal dari warga nahdliyin. Sementara di kelompok pemilih Prabowo, angkanya sedikit di bawahnya, yakni 65,3 persen. Pada kelompok pemilih Anies Baswedan, sebanyak 56,4 persen berasal dari dukungan warga NU.
Dari data ini bisa ditarik benang merah bahwa aspirasi politik warga NU relatif menyebar ke banyak partai politik dan calon presiden. Artinya, secara umum postur pemilih di Indonesia akan lebih banyak dicerminkan oleh bagaimana aspirasi politik dari warga nahdliyin ini.
Untuk itu, tidak berlebihan kiranya jika siapapun yang berkontestasi di pemilu, terutama di pemilihan presiden, suara pemilih NU akan jadi penentu. Setidaknya ini tergambar dari konfigurasi pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri, didampingi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi, tertawa gembira ketika menjawab pertanyaan wartawan pada konferensi pers tentang pengumuman keduanya sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden 2004-2009 dari PDI-P.
Lihat saja pada pemilihan presiden 2004, muncul pasangan Megawati-KH Hasyim Muzadi. Hasyim saat itu adalah Ketua Umum PBNU yang berhadapan dengan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla di putaran kedua. Kalla, selain dikenal sebagai pengusaha, ia juga menjadi representasi dari warga nahdliyin.
Hal yang sama juga terekam dari memori publik dengan munculnya KH Ma’ruf Amin yang menjadi wakil presiden Jokowi di periode keduanya. Sebelum terpilih menjadi wakil presiden, Ma’ruf adalah Rais Aam PBNU.
Kini, di tengah bursa bakal calon wakil presiden menjadi perbincangan, muncul nama Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar yang disebut-sebut akan dijodohkan mendampingi Ganjar Pranowo.
Hal yang sama juga digagas oleh Prabowo dan Anies yang berupaya mendekati tokoh-tokoh NU, seperti pertemuannya dengn Gubernur Jawa Timur Khofifah di dalam satu kesempatan. Tak pelak, NU akan menjadi variabel yang tidak bisa dinafikan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: NU dan Komitmen Politik Kebangsaan