Tantangan Indonesia Menghadapi Penuaan Penduduk
Setiap negara di dunia kini menghadapi penambahan yang cepat pada kelompok penduduk lanjut usia, baik dari sisi jumlah maupun proporsi. Indonesia juga sudah memasuki fase penuaan penduduk sejak tahun 2021.

Seperti banyak negara lain, Indonesia mulai mengalami penuaan penduduk. Jika tidak dipersiapkan, kelompok penduduk lanjut usia yang cenderung rentan ini akan menjadi beban ekonomi dan sosial.
Penduduk dunia kini mulai berumur panjang. Setiap negara di dunia menghadapi penambahan yang cepat pada kelompok penduduk lanjut usia, baik dari sisi jumlah maupun proporsi. Berubahnya komposisi penduduk dunia dengan membesarnya penduduk lansia ini disebut juga dengan penuaan penduduk (ageing population).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pada tahun 2030, satu dari enam penduduk dunia akan berusia 60 tahun ke atas. Pada saat itu jumlah penduduk yang berusia 60 tahun ke atas meningkat dari 1 miliar jiwa pada tahun 2020 menjadi 1,4 miliar jiwa.
Pada tahun 2050 jumlahnya akan meningkat hampir dua kali lipat menjadi 2,1 miliar jiwa. Sementara, jumlah penduduk yang berusia 80 tahun ke atas pada periode 2020-2050 akan meningkat tiga kali lipat menjadi 426 juta jiwa.

Banyak faktor yang menyebabkan penuaan penduduk ini, mulai dari menurunnya angka kelahiran dan kematian, perubahan pola pernikahan dan perencanaan anak, perceraian, urbanisasi, hingga migrasi internasional.
Membaiknya tingkat pendidikan generasi muda juga berkontribusi mengubah pola hidup yang bisa memperpanjang umur. Begitu juga dengan membaiknya layanan kesehatan dan tingkat perekonomian yang berkorelasi dengan peningkatan kualitas hidup.
Penuaan penduduk ini mulanya terjadi di negara-negara maju yang merupakan negara dengan pendapatan tinggi (high-income countries). Jepang, misalnya, proporsi penduduk lansianya kini sekitar 30 persen.
Namun, sekarang penuaan penduduk juga terjadi pada negara berkembang atau negara yang termasuk dalam kelompok berpendapatan rendah dan menengah.
Pada tahun 2050, sebanyak dua pertiga penduduk dunia yang berusia 60 tahun ke atas diperkirakan berada di negara berpendapatan rendah dan menengah.

Usia lanjut tidak menghalangi semangat Mbah Lindu (96) untuk tetap bekerja. Nenek 15 cucu ini sudah berjualan gudeg sebelum zaman penjajahan Jepang dan tetap menekuninya hingga kini. Setiap hari Mbah Lindu berjualan gudeg buatan sendiri di tepi Jalan Sosrowijayan, Yogyakarta, sejak pukul 05.00 hingga sekitar pukul 10.00, dengan harga Rp 15.000-Rp 30.000 per porsi.
Indonesia juga sudah memasuki fase penuaan penduduk sejak tahun 2021. Pada tahun 2021, persentase penduduk lansia Indonesia sudah mencapai 10,82 persen, naik cukup signifikan dibandingkan satu dekade yang lalu yang porsinya masih 7,58 persen. Di tahun 2045, diperkirakan satu dari lima penduduk Indonesia adalah lansia.
Penduduk lansia Indonesia ini lebih banyak tinggal di perkotaan (56,05 persen). Delapan provinsi di Indonesia pun sudah mengalami penuaan penduduk dengan persentase lansia di atas 10 persen.
Persentase lansia tertinggi terdapat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 16,69 persen, disusul Jawa Timur dengan 13,89 persen, Bali 13,53 persen, dan Jawa Tengah 13,07 persen.
Selebihnya adalah di Sulawesi Utara (12,98 persen), Sumatera Barat (10,79 persen), Sulawesi Selatan (10,65 persen), dan Lampung (10,24 persen).
Beberapa provinsi itu termasuk yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi, di atas 10 persen, yakni Lampung, DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Baca juga: Kesejahteraan Mental Warga Lansia Sekarang Lebih Baik Ketimbang Masa 1990-an
Kelompok rentan
Penduduk lansia merupakan kelompok rentan. Hal itu selain disebabkan menurunnya kapasitas fisik, mental, dan kognitif yang berpengaruh pada kesehatan, juga karena tidak lagi produktif dan mandiri secara ekonomi.
Banyak lansia yang tidak memiliki jaminan sosial, dana pensiun, atau sumber pendanaan lainnya untuk menopang kehidupan di masa tuanya.
Hal ini menjadi tantangan yang besar sehingga lansia sering dianggap sebagai beban. Meningkatnya jumlah penduduk lansia akan meningkatkan pula angka ketergantungan penduduk kelompok usia tidak produktif terhadap kelompok usia produktif.
Rasio ketergantungan lansia yang menunjukkan perbandingan jumlah penduduk lansia terhadap jumlah penduduk usia produktif meningkat dalam satu dekade terakhir, yaitu dari 12,01 (2012) menjadi 16,09 (2022).
Nilai ini berarti, dari 100 penduduk usia produktif menanggung 16 orang lansia. Bertambah 4 orang lansia dibandingkan satu dekade lalu. Dengan kata lain, satu orang lansia kini didukung oleh 6 penduduk usia produktif, dari sebelumnya oleh 8 penduduk usia produktif.

Salah satu tantangan lansia adalah menjaga kesehatan. Pada umumnya, penyakit yang dialami lansia adalah penyakit yang bersifat generatif atau yang disebabkan oleh faktor usia dan penyakit tidak menular, seperti penyakit jantung, diabetes mellitus, stroke, dan rematik.
Pada 2022, tercatat 42,09 persen lansia yang mengalami keluhan kesehatan. Namun, angka ini sudah menurun dibandingkan empat tahun sebelumnya di mana tercatat ada 51,28 persen yang mengeluhkan kesehatannya.
Mayoritas lansia dengan keluhan kesehatan ini mengupayakan pengobatan untuk dirinya baik dengan mengobati sendiri (47,73 persen) maupun melakukan rawat jalan (15,69 persen).
Salah satu tantangan lansia adalah menjaga kesehatan.
Fasilitas layanan kesehatan yang banyak digunakan adalah puskesmas, termasuk juga tempat praktik dokter atau bidan. Namun, masih ada sebagian kecil yang enggan untuk berobat (2,3 persen), salah satunya karena alasan tidak ada biaya.
Kondisi kesehatan di masa lansia sedikit banyak dipengaruhi oleh berkurangnya aktivitas fisik. Terdapat penelitian yang menyebutkan bahwa lansia yang tetap bekerja memiliki status kesehatan yang baik.
Lansia yang bekerja cenderung memiliki risiko yang lebih rendah mengalami gangguan fisik dan mental-emosional daripada lansia yang tidak bekerja.
Baca juga: Memastikan Warga Lansia Berdaya
Lansia aktif
Lansia masa kini lebih aktif dan mandiri dibandingkan kondisi satu dekade yang lalu. Persentase lansia yang masih bekerja cenderung meningkat dari 46,33 persen pada tahun 2013 menjadi 52,55 persen pada tahun 2022 (Sakernas Agustus 2022).
Bekerja di saat lansia bisa dilihat dari dua kategori, yaitu bekerja karena aktualisasi diri dan bekerja karena terpaksa. Pada kategori pertama, bekerja lebih sebagai sebuah pilihan.
Pilihan untuk tetap aktif dan produktif. Sedangkan pada kategori kedua, bekerja dilakukan untuk bisa bertahan hidup. Pekerja lansia pada kategori ini lekat dengan kemiskinan.
Idealnya, lansia yang bekerja melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kondisi fisiknya. Beberapa alasan yang melatarbelakangi lansia tetap bekerja pada kategori kedua antara lain karena desakan ekonomi dan ketiadaan jaminan pensiun sehingga mengharuskan mereka untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidup.

Sejumlah lansia warga binaan Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia I, Cipayung, Jakarta Timur, membuat beragam kerajinan tangan, seperti keset dan tempat tisu, Selasa (13/12/2022).
Penduduk lansia yang bekerja didominasi oleh laki-laki. Persentase lansia laki-laki yang bekerja lebih besar ketimbang lansia perempuan, yaitu 67,46 persen berbanding 38,99 persen. Umumnya, lansia yang bekerja ini lebih banyak di perdesaan (62,02 persen) ketimbang di perkotaan (44,76 persen).
Lansia yang tetap bekerja umumnya adalah pekerja yang sebelumnya bekerja pada jenis pekerjaan yang membutuhkan kekuatan fisik, sedikit konsentrasi, dan tidak mensyaratkan tingkat pendidikan tertentu.
Mereka ini lebih banyak berada di sektor pertanian di perdesaan. Sementara lansia di perkotaan lebih banyak bekerja di sektor manufaktur dan jasa.
Pekerja lansia lebih banyak yang berada di sektor informal. Pada 2022, persentasenya 86,19 persen. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan lansia, akan semakin kecil persentase yang bekerja di sektor informal.
Karena faktor pendidikan pula, akan semakin tinggi tingkat partisipasi mereka di sektor jasa. Selain itu, semakin tinggi tingkat pendidikan lansia, semakin tinggi pula persentase lansia yang bekerja dengan dibantu oleh buruh yang dibayar atau karyawan.

Sayangnya, lansia Indonesia yang bekerja tingkat pendidikannya masih rendah, didominasi oleh lansia yang tidak tamat SD/sederajat (43,56 persen) dan tamat SD/sederajat (37,76 persen). Lansia yang tamat SMA/sederajat ke atas baru 10-11 persen.
Mempersiapkan penduduk yang tetap aktif dan bekerja di saat lansia harus dengan perencanaan yang terintegrasi berbagai kementerian dan lembaga. Hal itu tidak terjadi dengan sendirinya atau instan, harus dimulai di saat penduduk masih di usia produktif.
Pendidikan menjadi kunci untuk pemberdayaan lansia agar tetap aktif dan mandiri, baik secara ekonomi maupun sosial. Hal itu sekaligus akan menjadi jalan untuk mewujudkan penduduk yang sehat dan sejahtera di segala usia, yang merupakan tujuan dari target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Lansia Bukanlah Manusia Sia-sia