Subsidi Mobil Listrik sebagai Bentuk Promosi dan Apresiasi
Ada beragam cara pandang tentang tujuan pemberian subsidi. Salah satunya untuk mengubah pola perilaku masyarakat, seperti yang diberikan pada moda transportasi umum dan kendaraan listrik.
Oleh
Yohanes Advent Krisdamarjati
·5 menit baca
KOMPAS/HERLAMBANG JALUARDI
Mobil listrik Seres E1 diperkenalkan di Periklindo Electric Vehicle Show (PEVS) 2023 di JIExpo, Kemayoran, Jakarta, Rabu (17/5/2023). Mobil dua pintu berkapasitas empat penumpang ini rencananya akan diproduksi PT Sokonindo Automotive, yang juga membawahkan merek DFSK, di pabrik mereka di Cikande, Serang, Banten.
Langkah pemberian insentif demi meningkatkan jumlah pengguna kendaraan listrik tidak hanya diambil oleh Pemerintah Indonesia. Saat ini sejummah negara pun menerapkan kebijakan serupa, salah satunya Thailand. Meski kebijakan tersebut terbilang populer dan mendapat sambutan baik oleh publik, skema subsidi tersebut tidak luput dari kritik.
Skema insentif bagi pembeli mobil listrik yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia sejak 1 April 2023 bukanlah hal baru. Setidaknya kebijakan ini sudah diterapkan di beberapa negara, termasuk di kawasan Asia Tenggara. Pemerintah Thailand sudah menerapkan kebijakan serupa lebih awal. Terdapat poin pembeda antara kebijakan di kedua negara tersebut walaupun tidak terlalu kontras.
Proporsi subsidi mobil listrik di Thailand mengacu pada besaran kapasitas baterai kendaraan. Nilai insentif yang diberikan berkisar Rp 30 juta hingga Rp 65 juta bagi pembeli mobil listrik. Artinya, ketika masyarakat yang membeli mobil listrik dengan kapasitas baterai lebih besar, maka akan menerima subsidi lebih banyak. Hal ini berlaku juga pada skema insentif dari Pemerintah Indonesia.
Perbedaannya terletak pada acuan yang dijadikan penentu nilai subsidi. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 38 Tahun 2023 tertanggal 1 April 2023 diatur tentang pengurangan nilai beban Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dikenai pada pembeli mobil listrik dan bus listrik. Skema yang diberlakukan adalah memberikan keringanan PPN yang semula 11 persen menjadi hanya 1 persen saja. Merujuk pada aturan ini, pihak pembeli mobil dan bus listrik hanya menanggung 1 persen PPN.
Skema dan nilai subsidi mobil listrik, baik di Indonesia maupun di Thailand, dapat dikatakan lebih dominan bersifat promotif. Memberikan daya tarik lebih pada kalangan yang mampu membeli mobil listrik untuk segera mengambil keputusan pembelian. Mengingat harga mobil listrik yang tidak murah, maka kalangan yang mampu membelinya pun juga terbatas.
Pada pasar mobil listrik Indonesia, jenama Wuling saat ini mendominasi pasar mobil listrik ekonomis. Sementara Hyundai memantapkan posisinya mengisi pasar yang lebih tinggi kelasnya. Selain sebagai tambahan daya tarik, insentif mobil listrik juga menjadi simbol apresiasi dari pemerintah kepada masyarakat. Apresiasi yang patut diberikan kepada individu yang mau mengeluarkan sejumlah uang untuk membantu tujuan pemerintah dalam agenda kelestarian lingkungan dan ekonomi makro.
Agenda dalam isu lingkungan dalam rangka memangkas emisi karbon nasional sebesar 29 persen dengan upaya sendiri atau 41 persen dengan bantuan pihak asing dengan batas waktu tahun 2030. Sementara dari sisi agenda ekonomi untuk mencapai target mengurangi ketergantungan energi bahan bakar minyak, terutama di sektor transportasi.
Maka menjadi logis apabila semakin mahal mobil yang dibeli, maka insentif yang diperoleh bernilai lebih banyak. Artinya, pembeli mobil dengan kemampuan partisipasi yang lebih besar berhak memperoleh apresiasi yang lebih besar pula.
Perkembangan pasar
Meninjau perkembangan pasar kendaraan listrik di Indonesia pada periode 2021 hingga April 2023 menunjukkan tren yang menggembirakan. Perkembangan ini dapat dicermati melalui serangkaian data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo). Sepanjang 2021, mobil listrik yang terjual di pasar domestik Indonesia sebanyak 272 unit. Mobil tersebut sepenuhnya didatangkan melalui pintu impor dalam kondisi sudah terakit utuh.
Kala itu terdapat tiga jenama mobil listrik yang masuk ke Indonesia. Pertama dari pabrikan Korea Selatan, yaitu Hyundai dengan varian Ioniq EV Signature dan Ioniq EV Prime. Jenama kedua yang hadir adalah Nissan dengan mobil listrik Leaf dengan angka penjualan 42 unit pada 2021. Mobil listrik yang ketiga adalah DFSK yang didatangkan dari China dengan tipe Gelora EC35 dan EC36 berbentuk minibus. Pasar mobil listrik domestik saat itu didominasi oleh Hyundai dengan pangsa pasar 84 persen.
Akselerasi industri dan ekspansi pasar baru mulai tampak hasilnya setahun kemudian. Sepanjang 2022, Gaikindo membukukan catatan penjualan mobil bermotor listrik bertenaga baterai hingga 10.180 unit. Angka tersebut menyiratkan antusias masyarakat terlihat begitu tinggi merespons tawaran mobil listrik yang meramaikan bursa mobil di Indonesia. Padahal, saat itu belum ada insentif dari pemerintah seperti yang baru saja digulirkan pada awal 2023.
Catatan penting dalam mendorong pengguna kendaraan listrik ada pada kemandirian industri dalam negeri. Tujuan yang ingin diraih pemerintah, yaitu supaya tidak bergantung pada produk impor. Sementara itu, Hyundai dan Wuling sudah memiliki fasilitas produksi di Indonesia. Hal ini berdampak pada lini produk Ioniq5 dari Hyundai dan Air EV dari Wuling sudah memenuhi syarat tingkat komponen dalam negeri (TKDN) minimal 40 persen. Pemenuhan syarat TKDN menjadi salah satu syarat sehingga produk kendaraan listrik dinyatakan dapat memperoleh insentif pemotongan PPN 10 persen dari pemerintah.
Nilai insentif
Sebagai gambaran, Ioniq5 Signature Long Range yang menjadi mobil terlaris dari Hyundai bisa dijadikan contoh. Mobil listrik dengan kemampuan daya jangkau mencapai 400 kilometer dengan kapasitas baterai terisi penuh ini dibanderol Rp 859 juta dalam kondisi siap melaju di jalanan. Ketika harganya dikurangi dengan keringanan PPN 10 persen, maka menjadi Rp 783 juta. Dapat dikatakan bahwa pembeli mobil tersebut memperoleh subsidi sekitar Rp 76 juta.
Lain lagi dengan nilai subsidi yang diperoleh pembeli mobil listrik Air EV Long Range besutan dari Wuling. Harga normal mobil tersebut di angka Rp 300 juta. Apabila dikurangi oleh biaya subsidi, calon pemilik mobil memperoleh keringanan senilai Rp 26 juta. Maka harga akhir yang harus dibayar Rp 274 juta. Dari sini dapat dilihat bahwa potensi nilai subsidi yang diterima oleh calon pembeli mobil listrik sangat beragam.
Apabila disimulasikan berdasarkan data penjualan tahun 2022 sebagai cerminan geliat pasar mobil listrik bersubsidi 2023, maka secara populasi dari konsumen Wuling yang paling banyak memperoleh insentif. Sebab, pangsa pasar Wuling Air EV Long Range mencapai 69,4 persen dalam lingkup mobil listrik dengan TKDN minimal 40 persen.
Artinya, tujuh dari sepuluh pembeli mobil listrik akan menerima subsidi sekitar Rp 26 juta. Sementara itu, pangsa pasar mobil listrik bersubsidi terbanyak kedua ditempati oleh Hyundai Ioniq5 Signature Long Range dengan cakupan pasar 15,4 persen pada 2022. Angka tersebut mencerminkan potensi proporsi calon pembeli yang berhak menerima insentif sekitar Rp 70 jutaan.
Pemerintah telah menganggarkan dana insentif senilai Rp 1,6 triliun dengan sasaran capaian 35.862 unit mobil listrik terjual sepanjang 2023. Merujuk data penjualan mobil listrik 2022 yang mencapai 10.000 unit, artinya pemerintah memiliki target mengakselerasi hingga tiga kali lipat.
Dalam konteks mobil listrik, pemberian subsidi digunakan sebagai daya tarik dan simbol apresiasi dengan tujuan utama, yaitu mempromosikan mobil listrik secara masif. Memang, ada perspektif subsidi yang mengacu pada cara pandang subsidi sebagai bantuan untuk mengentaskan sekelompok masyarakat dari persoalan bersama. Namun, sejatinya fungsi subsidi tidak hanya itu saja. Subsidi bisa dimanfaatkan dengan tujuan mengubah pola perilaku masyarakat secara masif.
Penerapan subsidi untuk mengubah perilaku masyarakat sudah banyak berhasil diterapkan pada moda transportasi massal. Salah satunya ialah pada pembiayaan KRL di Jabodetabek. Sebagaimana mobil listrik, pemberian subsidi bagi pembiayaan KRL dimaksudkan untuk mengubah perilaku masyarakat yang bermobilitas dengan kendaraan pribadi beralih ke kendaraan umum.
Begitu pula dengan subsidi yang diberikan pada pembiayaan Transjakarta. Harapannya, dengan pemberian subsidi, semakin banyak masyarakat yang menggunakan transportasi umum dan menggunakan bahan bakar ramah lingkungan untuk peradaban bangsa yang lebih baik dan sehat. (LITBANG KOMPAS)