Survei Litbang ”Kompas”: Parpol Baru, Baju Baru dengan Beban Lama
Lolos menjadi peserta pemilu adalah ujian awal bagi partai politik baru. Ujian berikutnya adalah bagaimana mendapatkan elektoral dari pemilih yang sudah lebih dulu dikuasai oleh partai politik yang sudah mapan.

Hadirnya partai-partai politik pendatang baru di pemilihan umum menjadi cerminan terbukanya partisipasi publik untuk mengembangkan ekspresi politiknya. Namun, kehadiran partai baru akan dihadapkan pada beban yang tidak ringan. Selain proses terbentuknya yang tidak mudah, partai baru juga akan dihadapkan pada perebutan elektoral yang ceruknya makin menipis bagi mereka.
Gejala makin beratnya partai-partai politik baru mendulang elektoral di pemilu tergambar dari hasil survei Litbang Kompas. Survei periode Mei 2023 menyebutkan, porsi elektoral pemilihan partai politik cenderung sudah ”diborong” oleh partai-partai politik papan menengah dan atas, terutama partai yang saat ini berada di parlemen nasional.
Kita lihat saja pada elektabilitas partai politik di survei Kompas Mei ini. Dari sembilan partai politik yang meraih kursi di DPR saat ini, total elektoralnya sudah menguasai 78,9 persen. Sementara untuk partai nonparlemen dan partai baru tercatat hanya 5 persen total elektoralnya.
Jika kita lihat tren elektabilitasnya, bebannya makin berat bagi partai politik baru untuk berperan lebih luas secara elektoral. Dari sepuluh survei Litbang Kompas, rata-rata penguasaan elektoral partai politik parlemen mencapai 69,9 persen, sedangkan partai baru dan partai nonparlemen mencapai 4,4 persen.
Artinya, polanya sudah terbaca bahwa kue elektoral dari partai politik baru, termasuk di antaranya partai lama nonparlemen, sangat terbatas dan cenderung mengecil.

Tentu, data ini makin membuat beban bagi partai politik baru makin berat. Tentu ini menegaskan merupakan beban lama bagi partai baru. Sebab, kondisi ini sebenarnya bukan hal baru karena di awal pembentukan sebuah partai politik baru pun sudah dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan.
Mulai dari semakin beratnya persyaratan pembentukan partai baru, sampai pada proses verifikasi administrasi dan faktual yang harus dilalui partai baru untuk menjadi peserta pemilu.
Mengecilnya kue elektoral partai baru yang terbaca di survei Litbang Kompas ini memberikan sinyal bahwa orientasi pemilih lebih banyak didominasi oleh partai-partai papan atas dan menengah yang selama ini mendominasi panggung politik nasional.
Potensi elektoral terbesar bagi partai baru dan partai nonparlemen sempat terbaca di angka 7,8 persen di survei Litbang Kompas Oktober 2022, tetapi trennya kembali menurun di tiga survei terakhir.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F02%2Ff4165dc6-0d84-4b25-9612-9f5571d292ea_jpeg.jpg)
Sebanyak 18 bendera partai politik peserta Pemilu 2024 terpasang di Kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (2/5/2023). Hingga hari kedua pendaftaran bakal caleg DPR, belum ada satu pun partai politik yang mendaftarkan ke KPU.
Jika melihat tren makin mengecilnya daya elektoral partai baru, bisa diproyeksikan peluang mereka untuk kemudian meraih elektoral secara optimal belum menunjukkan arah yang menggembirakan.
Kondisi ini tentu makin membuat peluang mereka untuk lolos pada tantangan elektoral, yakni memenuhi ambang batas parlemen secara nasional, menjadi tidak mudah. Meskipun demikian, peluang partai-partai baru dan nonparlemen tetap terbuka lebar untuk melakukan kerja-kerja elektoralnya.
Baca juga : Survei Litbang "Kompas" : “Partisanship” Pengaruhi Penilaian Kinerja Pemerintah
Popularitas
Salah satu kerja elektoral yang terus harus dilakukan partai-partai baru, termasuk partai politik nonparlemen adalah meningkatkan daya popularitas mereka di hadapan pemilih. Bagaimanapun, proses elektoral selalu dimulai dari hulunya, yakni popularitas.
Makin meningkatnya awareness di publik, secara tidak langsung membuka peluang pemilih mengetahui rekam jejak partai yang pada akhirnya juga membuka potensi partai tersebut untuk dipilih.
Hasil survei Litbang Kompas merekam, partai nonparlemen cenderung lebih memiliki popularitas lebih tinggi dibandingkan partai baru. Hal ini wajar karena mereka sudah pernah menjadi peserta pemilu dan secara durasi lebih dahulu berkampanye di hadapan publik.
Sementara partai baru belum berpengalaman menjadi peserta pemilu dan di Pemilu 2024 ini menjadi pengalaman pertama mereka melakukan sosialisasi ke publik.

Menariknya, meskipun bebannya tidak mudah secara elektoral, upaya partai-partai nonparlemen dan partai baru relatif menunjukkan tren positif dalam meningkatkan popularitasnya. Tren positif ini tampak dari hasil dua survei terakhir Litbang Kompas.
Partai Persatuan Indonesia (Perindo) tercatat sebagai partai nonparlemen yang tertinggi mengalami peningkatan popularitas. Jika di survei Januari 2023 popularitasnya berada di angka 69,5 persen, di survei Mei ini berada di angka 73,7 persen. Artinya, ada peningkatan popularitas 4,2 persen untuk Perindo.
Di bawah Perindo kemudian menyusul partai-partai nonparlemen lainnya, seperti Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda), dan Partai Buruh. Partai-partai ini sebelumnya pernah menjadi peserta pemilu, tetapi gagal lolos ambang batas parlemen di DPR.
Di bawah partai-partai nonparlemen tersebut, menyusul kemudian partai-partai baru yang baru pertama kali menjadi peserta di Pemilu 2024 nanti. Mereka adalah Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), dan Partai Ummat.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F14%2F65e2d178-1292-41b0-ad61-19c133d22783_jpg.jpg)
Suasana para petugas verifikasi sibuk memasukkan data berkas pengajuan bakal calon anggota DPR dari seluruh partai politik di Aula Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, setelah menutup hari terakhir penyerahan, Minggu (14/5/2023).
Ketiga partai baru ini popularitasnya juga sudah mulai bergerak ke arah positif. Popularitas PKN naik 4,3 persen dari survei Januari ke Mei tahun ini. Hal yang sama juga dialami Partai Gelora yang meningkat 5,7 persen dan Partai Ummat naik 3,5 persen.
Tren kenaikan popularitas juga dialami oleh sosok-sosok ketua umum dari partai nonparlemen dan partai politik baru. Lagi-lagi Perindo tercatat paling tinggi. Popularitas Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibyo tercatat paling tinggi, yakni mencapai 49,1 persen di survei Mei 2023 atau naik 2,5 persen dibandingkan Januari lalu.
Tidak seperti popularitas partai yang didominasi partai nonparlemen, popularitas ketua umum lebih berpijak pada sosok-sosok yang sebenarnya bukan wajah baru.
Mulai dari Ketua Umum PSI Giring Ganesha yang sebelumnya dikenal sebagai artis, Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra yang merupakan wajah lama dalam panggung politik sekaligus sebagai pakar hukum tata negara, Ketua Umum Partai Gelora Muhammad Anis Matta yang juga sebelumnya adalah politisi senior di PKS, dan Ketua Umum PKN I Gede Pasek Suardika yang sebelumnya sudah malang melintang sebagai politisi dan anggota DPR.
Baca juga : Survei Litbang ”Kompas”: Kepuasan Meningkat, Faktor ”Jokowi” Menguat?
Akseptabilitas
Popularitas yang naik tidak cukup. Tahap selanjutnya adalah bagaimana partai politik diterima dengan baik dan disukai oleh pemilih. Tahap akseptabilitas inilah yang masih belum terlihat tren positifnya dari partai nonparlemen dan partai baru. Tidak semua partai mengalami insentif positif di tahapan ini.
Jika dilihat dari tren dua survei Litbang Kompas yang paling akhir, yakni Januari dan Mei 2023 ini, sebagian besar tren dari partai nonparlemen dan partai baru masih negatif dalam urusan meningkatkan daya penerimaan pemilih (akseptabilitas). Perindo saja yang relatif paling tinggi popularitasnya, baik partai maupun ketua umumnya, akseptabilitas di dua survei tersebut relatif stagnan.
Selain Perindo, partai-partai yang lain juga mengalami tren penurunan akseptabilitas. Survei Litbang Kompas merekam hanya Partai Buruh yang relatif menunjukkan tren peningkatan daya penerimaan pemilih. Boleh jadi ketika survei terkahir dilakukan saat itu berbarengan dengan pemberitaan Hari Buruh yang kemudian turut memengaruhi persepsi responden terhadap Partai Buruh.
Tren akseptabilitas yang sama juga dialami dari sisi sosok ketua umum partai nonparlemen dan partai baru. Secara umum sosok-sosok ketua umum ini juga relatif stagnan, hanya terjadi perubahan tipis yang tidak terlalu signifikan.
Kondisi ini makin menguatkan bahwa meskipun popularitas cenderung mengalami tren peningkatan, namun jika tidak ditopang oleh tren kenaikan dari sisi akseptabilitas, potensi elektoral bagi partai juga belum menunjukkan hasil yang optimal.

Hal ini menjawab mengapa partai-partai nonparlemen dan partai baru tidak mudah untuk menggaet perhatian pemilih. Perpaduan modal popularitas partai dengan sosok ketua umumnya yang mampu diterima pasar pemilih menjadi kunci untuk membuka potensi keterpilihan.
Pengalaman munculnya partai-partai baru seperti Partai Demokrat di Pemilu 2004, Gerindra di Pemilu 2009, dan Partai Nasdem di Pemilu 2014 menjadi bukti nyata, popularitas partai yang ditopang kekuatan sosok ketua umum yang kemudian juga mendapatkan perhatian publik berpotensi mendulang elektoral.
Praktis, hadirnya partai politik baru dengan baju baru yang sebenarnya diisi oleh orang-orang lama yang sudah malang melintang di dunia politik, tetap akan dihadapkan pada beban lamanya, yakni bagaimana meningkatkan daya terima pemilih yang diharapkan bisa dikonversi menjadi daya pilih.
Partai politik baru akan tetap dihadapkan pada beban lamanya, yakni bagaimana meningkatkan elektoral di hadapan pemilih.
Pada akhirnya masih ada waktu dan kesempatan bagi partai politik nonparlemen dan partai politik baru untuk merebut kue pemilih di Pemilu 2024 nanti. Kesempatan ini salah satunya bisa diraih dari penerapan sistem pemilu serentak nasional.
Dengan turut mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden, bisa membuka peluang partai-partai pengusung mendapatkan efek elektoral.
Apalagi, potensi suara mengambang (swing voters) dari hasil survei juga cukup potensial untuk direbut bagi semua partai politik, termasuk partai nonparlemen dan parpol baru. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Survei Litbang "Kompas": Koalisi Parpol Menjadi Bandul Politik