Johnny G Plate Tersangka Korupsi, Saatnya Presiden Serius Atasi Problem Integritas
Penahanan Johnny G Plate, Menteri Komunikasi dan Informatika atas dugaan korupsi penyediaan menara BTS, menjadi pintu masuk pembenahan serius integritas para birokrat kementerian di negeri ini.
Oleh
BESTIAN NAINGGOLAN
·6 menit baca
Pada momen penangkapan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Rabu (17/5/2023), Kejaksaan Agung mengungkapkan alasan penetapan tersangka karena terkait dengan wewenang sebagai pengguna anggaran dan posisinya sebagai menteri. Pada kesempatan sebelumnya, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengungkapkan, kerugian negara terkait kasus ini diperkirakan mencapai Rp 8,32 triliun.
Selain Menkominfo, ditetapkan pula lima tersangka lainnya, yang terbilang sebagai direktur utama proyek Bakti Kementerian Kominfo, konsultan, dan pihak swasta sebagai kontraktor pelaksana proyek pembangunan BTS 4G. Semua tersangka ditangkap karena secara bersama-sama melakukan tindakan melawan hukum atau penyelewengan yang dilakukan untuk menguntungkan pihak tertentu.
Sebagai akibat perbuatan tersangka, mereka dijerat Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Tertangkapnya Johnny G Plate menambah panjang deretan pimpinan birokrat kementerian di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Diawali dengan Idrus Marham, mantan Menteri Sosial yang terjerat proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1, awal Juli 2018. Ia terbukti menerima suap Rp 2,250 miliar dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo.
Berikutnya, mantan Menpora Imam Nahwari yang divonis 7 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 3 bulan kurungan. Imam terbukti melakukan korupsi dalam kasus suap pengurusan proposal dana hibah KONI dan gratifikasi dari sejumlah pihak sejak Januari 2018 sampai dengan Juni 2018. Ia menerima suap sebesar Rp 11,5 miliar dari mantan Sekretaris Jenderal KONI Ending Fuad Hamidy dan mantan Bendahara KONI Johnny E Awuy.
Selain Menpora, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo juga terjerat kasus suap pada November 2020. Ia terjerat operasi tangkap tangan KPK, dianggap telah menerima suap terkait pengurusan izin budi daya lobster dan ekspor benih benur lobster (BBL) sebesar Rp 25,7 miliar dari para eksportir lobster. Setelah perkaranya disidangkan, ia divonis 9 tahun penjara. Namun, setelah banding ke Pengadilan Tinggi hingga kasasi ke MA, berkurang menjadi 5 tahun penjara.
Pada 6 Desember 2020, giliran Menteri Sosial Juliari Batubara yang terjerat kasus korupsi, menerima suap dalam pengadaan paket bansos Covid-19 wilayah Jabodetabek 2020, sebesar Rp 32,48 miliar. Ia diganjar pidana 12 tahun penjara dan pidana denda Rp 500 juta subsider 6 bulan.
Seluruh kasus penangkapan menteri terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan. Uniknya, setiap kasus melibatkan menteri yang terbilang menjadi sosok kader partai politik yang menjadi bagian dari koalisi pemerintahan. Dalam praktik, penyalahgunaan kekuasaan terjadi tidak lepas pula dari keikutsertaan para birokrat kementerian yang menjadi pelaksana dari pengelolaan anggaran serta pengelolaan pembelian barang dan jasa.
Becermin pada kajian-kajian terkait integritas dan potensi korupsi di dalam tubuh kementerian, apa yang terjadi pada kasus penangkapan menteri terkait korupsi, menjadi puncak dari pembenaran betapa bobroknya kualitas integritas birokrat. Selain menteri yang menjadi sosok nomor satu dalam kementerian, potensi kegiatan dan praktik-praktik korupsi para birokrat negara sudah menjadi pemandangan yang tidak lagi langka.
Hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi yang tertuang dalam laporan Survei Penilaian Integritas tahun 2021 dan 2022, sudah sedemikian terbuka mengungkapkan problem integritas dalam tubuh kementerian, termasuk dalam Kementerian Komunikasi dan Informasi. Menariknya, gambaran problem bobroknya integritas aparat tersebut, tidak hanya berdasarkan persepsi terhadap korupsi, tetapi dari sisi praktik maupun pengalaman keseharian pun diakui terjadi oleh para aparat negara itu sendiri.
Problem integritas yang terkuak dalam SPI-KPK meliputi tujuh aspek integritas yang dikaji dari responden berlatar belakang aparatur negara. Aspek itu di antaranya berkait dengan sisi-sisi bernuansa koruptif dalam transparansi layanan, pengelolaan anggaran, pengelolaan pembelian barang dan jasa, pengelolaan sumber daya manusia, perdagangan pengaruh, sosialisasi korupsi, hingga integritas dalam pelaksanaan tugas para aparatur negara.
Salah satu persoalan yang mengkhawatirkan terkait dengan terjadinya perdagangan pengaruh (trading in influence) dalam tubuh kementerian. Problem demikian terkait dengan adanya intervensi dari pihak tertentu yang berhubungan dengan penentuan program atau kegiatan, aspek pemberian izin, penegosasian sanksi ataupun denda, penentuan kebijakan bantuan pemerintah, hingga kebijakan dalam pengelolaan sumber daya manusia kementerian.
Survei terhadap 23.891 pegawai negara di 33 kementerian menunjukkan tidak ada satu pun institusi kementerian yang terbebaskan dari persoalan ini. Dari enam indikator persoalan perdagangan pengaruh yang dikaji, pada kisaran 16,7-26,1 persen problem demikian diakui terjadi pada kementerian. Pada level Kementerian Komunikasi dan Informasi yang dipimpin Johnny G Plate berkisar 12,9-23,8 persen.
Persoalan yang tampak mengkhawatirkan dalam tubuh birokrat kementerian berhubungan dengan potensi korupsi pada pengadaan barang dan jasa (PBJ). Pada persoalan ini, penyalahgunaan anggaran dalam proses PBJ terpersepsikan pada sebagian aparat negara.
Dalam survei ini, hampir sepertiga bagian dari aparat menyatakan jika pemenang paket pengadaan barang atau jasa merupakan peserta yang memberikan sesuatu (uang, barang, fasilitas, dan sejenisnya) kepada pihak terkait. Selain itu, mereka pun menyatakan jika penyedia barang atau jasa pemenang pengadaan memiliki hubungan kedekatan dengan pejabat (kekeluargaan, organisasi, pendukung politik atau tim sukses).
Terbilang cukup mengejutkan jika lebih dari sepertiga bagian aparat yang disurvei tampak meragukan kualitas barang dan jasa yang diperoleh. Menurut mereka, kualitas yang didapatkan pada kenyataannya tidak sesuai dengan harga dan dianggap kemahalan. Bahkan, tidak jarang pula para aparat, termasuk aparat di Kementerian Kominfo, yang menganggap hasil pengadaan barang dan jasa tidak bermanfaat.
Apabila diperluas, persoalan-persoalan dalam tubuh internal kementerian dalam proses rekrutmen, promosi, dan mutasi pegawai pun tidak kurang dipersoalkan. Pengaruh kedekatan (nepotisme), baik yang terjalin atas dasar unsur kekerabatan, kedekatan pertemanan, kesamaan almamater, golongan, maupun organisasi, tersirat dalam proses kepegawaian. Persepsi hingga pengalaman yang terbentuk pada lingkungan Kementerian Kominfo memang terbilang relatif lebih rendah daripada keseluruhan kementerian yang dikaji.
Sekalipun demikian, pada berbagai aspek penilaian lainnya, problem-problem integritas cukup besar terjadi pada setiap kementerian. Berdasarkan tugas layanan yang dilakukan aparat misalnya, penerimaan imbal dalam bentuk uang, barang dan fasilitas masih kerap terjadi.
Tidak jarang pula dijumpai adanya pengakuan jika para pegawai menerima honor/uang transport lokal/perjalanan dinas yang tidak sesuai dengan pertanggungjawaban yang ditandatangani. Atau sebaliknya, adanya pegawai yang membuat kuitansi, biaya transportasi, dan biaya lain dalam perjalanan dinas tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Bahkan, yang juga mengejutkan, 62,4 persen responden pegawai Kementerian Kominfo yang mengaku konflik kepentingan lantaran pernah menggunakan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi. Proporsi demikian relatif lebih tinggi dari rata-rata keseluruhan aparat kementerian.
Segenap pengakuan dari kalangan aparat negara yang terjaring survei ini menunjukkan jika wajah birokrat yang tidak lekang dari noda problem integritas. Bagi pemerintahan dalam kepemimpinan Presiden Joko Widodo masih terungkapnya praktik korupsi, terlebih dilakukan oleh para menteri kabinetnya, mengindikasikan belum tuntasnya pencegahan dan penegakan hukum di negeri ini.
Terlebih dari itu, fakta masih banyaknya problem integritas dalam tubuh kementerian, yang terjadi hingga pada level aparat negara, merupakan indikasi adanya kerusakan mental yang tidak sejalan dengan karakter bangsa. Jauh-jauh hari, Presiden Jokowi, dalam masa kampanye kepresidenannya di tahun 2014, meyakini jika karakter mental yang rusak tersebut merupakan akar dari munculnya korupsi, kolusi, nepotisme, etos kerja tidak baik, bobroknya birokrasi, hingga ketidaksiplinan.
Itulah mengapa pada paruh ujung masa jabatan kepresidenannya ini, upaya konkret mengatasi problem integritas dalam tubuh kementerian menjadi tuntutan yang harus segera diwujudkan. (LITBANG KOMPAS)