Medali SEA Games Indonesia Redup sejak Era Reformasi
SEA Games Kamboja 2023 kali ini seharusnya menjadi momen pembuktian kebangkitan prestasi olahraga Indonesia di tengah keterpurukan penguasaan medali yang terjadi sejak era reformasi 1998.
Oleh
Bestian Nainggolan
·4 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Presiden Joko Widodo berbincang dengan para atlet saat upacara pelepasan kontingan Indonesia untuk SEA Games Kamboja 2023 di halaman Istana Merdeka, Jakarta (2/5/2023). Presiden meminta para atlet berjuang maksimal sehingga bisa meraih hasil lebih baik dibandingkan SEA Games sebelumnya.
Saat melepas kontingen Indonesia untuk SEA GamesKamboja 2023, Presiden Joko Widodo memberikan pesan khusus agar Indonesia dapat meraih prestasi lebih baik lagi daripada SEA Games Vietnam 2021. ”Saya hanya pesan, di SEA Games Vietnam kita memperoleh 69 medali emas dan kita di peringkat ketiga. Nah, sekarang mestinya lebih dari itu. Saya minta emasnya di atas 69, peringkatnya juga di atas tiga. Pilihannya cuma dua, peringkat pertama atau peringkat kedua,” ujar Presiden yang kemudian disambut tepuk tangan para atlet.
Pesan sekaligus target yang dibebankan Presiden kepada 599 atlet kontingen SEA Games 2023 itu tidak mudah. Dari 31 cabang olahraga yang diikuti, kontingen Indonesia akan bersaing dengan negara-negara dengan tradisi perolehan medali yang besar, seperti Thailand dan Vietnam.
Beratnya target yang dibebankan menjadi masuk akal jika berkaca pada prestasi olahraga Indonesia dalam ajang kompetisi olahraga se-Asia Tenggara selama ini lebih banyak kurang memuaskan. Terlebih jika dibandingkan dengan prestasi di era lampau.
KOMPAS
Defile kontingen Indonesia pada pembukan pesta olahraga Asia Tengara, SEA Games IX, di Kuala Lumpur, Malaysia, 19 November 1977. Indonesia tampil sebagai juara umum dengan menyabet 62 medali emas.
Berdasarkan catatan penguasaan medali emas, perak, perunggu, dan posisi urutan kemenangan, sejak keikutsertaan Indonesia pertama kali dalam ajang SEA Games 1977 di Malaysia, beberapa kali posisi juara umum sempat menyertai.
Pada SEA Games 1977, sebanyak 62 dari 190 medali emas yang diperebutkan, diraih kontingen Indonesia. Artinya, sekitar sepertiga medali emas yang terkuasai yang sekaligus mengantar Indonesia sebagai juara umum.
SEA Games berikutnya (1979) di Indonesia lebih berjaya lagi. Menjadi tuan rumah, kontingen Indonesia merebut hingga 92 emas atau sekitar 40,5 persen dari jumlah medali emas yang diperebutkan.
Beberapa SEA Games berikutnya, meski tidak menjadi tuan rumah penyelenggaraan, Indonesia masih berjaya. Sekurangnya, seperempat bagian dari total medali emas yang diperebutkan berhasil diraih. Beberapa kesempatan pernah gagal menjadi juara umum, yaitu pada SEA Games 1985 dan SEA Games 1995, kalah bersaing dengan Thailand yang menjadi tuan rumah penyelenggaraan.
KOMPAS/DUDY SUDIBYO
Gerald HP Item (tengah) dan adiknya, John Item, masing-masing merebut medali emas dan perak renang pada hari pertama SEA Games X di Jakarta, 24 September 1979. Tuan rumah Indonesia menjadi juara umum dengan merebut 92 medali emas.
Dari segi penguasaan medali, prestasi Indonesia tidak kurang cemerlang. Bahkan, Indonesia pernah menjadi rekor SEA Games tatkala sebagai tuan rumah SEA Games 1987 yang kala itu mampu menguasai hampir separuh (49,6 persen) medali emas. Saat itu 185 medali emas diraih dari total 373 medali emas yang diperebutkan.
Namun, setelah SEA Games 1997 di Indonesia, Indonesia tidak pernah menunjukkan prestasi yang benar-benar gemilang. Tidak hanya pada penguasaan medali emas, penguasaan medali perak, bahkan perunggu juga, relatif rendah.
Menjadi pertanyaan, mengapa sejak SEA Games 1997 prestasi Indonesia meredup? Menjadi lebih problematik lagi, melorotnya prestasi olahraga dalam lingkup Asia Tenggara itu faktanya bersamaan dengan adanya dinamika perubahan ekonomi dan politik negeri ditandai dengan dimulainya era reformasi.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Defile kontingen Indonesia pada prosesi upacara pembukaan pesta olahraga SEA Games Kuala Lumpur 2017 di Stadion Nasional Bukit Jalil, Kuala Lumpur, Malaysia, 19 Agustus 2017.
Redup
Era reformasi bergulir sejalan dengan tumbangnya era kepemimpinan rezim Orde Baru yang otoriter di bawah kendali Presiden Soeharto selama 32 tahun berkuasa. Reformasi yang lebih demokratis memberikan ruang keterbukaan dan kebebasan individu yang lebih besar itu sejatinya justru menjadi momen kebangkitan bangsa ini dalam penataan berbagai persoalan, seperti perekonomian, perpolitikan, termasuk persoalan peningkatan prestasi olah raga di kancah yang lebih mendunia.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Peningkatan prestasi olahraga seolah terlupakan. Pada SEA Games 1999 di Brunei Darussalam, misalnya, Indonesia tidak hanya terkalahkan oleh Thailand, tetapi saat itu juga oleh Malaysia. Penguasaan medali emas Indonesia melorot, hanya mampu menguasai 44 medali dari 145 medali emas yang diperebutkan.
Pada masa awal reformasi, instabilitas ekonomi dan politik dalam pemerintahan masih dominan terjadi. Pergantian pemimpin negara, mulai dari Presiden BJ Habibie ke KH Abdurahman Wahid dan selanjutnya kepada Presiden Megawati Soekarnoputri berlangsung cepat, sejak 1998-2003. Perhatian terhadap dunia olahraga relatif terkesampingkan. Kurun waktu tersebut, tiga kali kesempatan mengikuti SEA Games, selama itu pula kegagalan diraih.
Munculnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden sebenarnya membuka ruang baru bagi capaian prestasi olahraga. Stabilitas pemerintahan relatif terjaga. Ekonomi membaik.
Apalagi, melalui pemilu yang demokratis, Presiden Yudhoyono berhasil melanggengkan masa kekuasaannya untuk kedua kali. Namun, kurun waktu sepuluh tahun pemerintahan (2004-2014) tidak juga mampu mengangkat prestasi olahraga Indonesia.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pelari Indonesia, Dedeh Erawati, beraksi dalam final nomor lari gawang 100 meter putri SEA Games XXVI di Stadion Atletik, Kompleks Olahraga Jakabaring, Palembang, Sumsel, 13 November 2011. Dedeh meraih medali perak.
Sepanjang lima kali pesta olahraga Asia Tenggara berlangsung dalam masa pemerintahannya, penguasaan medali emas justru cenderung menurun. Ironisnya, tidak hanya terkalahkan oleh Thailand, saat itu juga oleh Vietnam dan beberapa kali oleh Malaysia.
Pada ajang SEA Games 2011, Indonesia memang masih mampu menjadi juara umum, tetapi kemenangan itu diraih dalam posisi sebagai tuan rumah atau sebatas ”jago kandang” saja. Selepas itu, Indonesia kembali terpuruk.
Pergantian kepemimpinan negeri dari Presiden Yudhoyono kepada Presiden Joko Widodo di tahun 2014 juga menjanjikan angin segar peningkatan capaian prestasi olahraga. Namun, pada periode pertama pemerintahan, justru semakin anjlok penguasaan medali emas Indonesia dalam SEA Games.
SEA Games 2017 di Malaysia menjadi puncak keterpurukkan lantaran hanya mampu meraih 38 dari 191 medali emas yang diperebutkan atau 9,4 persen saja. Pada momen itu, Indonesia terkalahkan tidak hanya oleh tuan rumah Malaysia, tetapi juga oleh Thailand, Vietnam, dan bahkan Singapura. Inilah momen terburuk dalam sejarah keikutsertaan Indonesia pada SEA Games.
Harapanperbaikan
Pada masa penyelenggaraan berikutnya, perbaikan mulai terjadi. Proporsi penguasaan medali emas meningkat menjadi 13,6 persen pada SEA Games 2019 Filipina dan begitu pula dapat dipertahankan pada SEA Games 2021 (penyelenggaraan 2022) di Vietnam. Hanya saja, peningkatan tersebut masih relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan penguasaan Indonesia sebelum ataupun saat awal era reformasi.
Terlebih dengan menarik garis tren perolehan medali emas, tampak sejak pertama keikutsertaan Indonesia hingga SEA Games 2021 masih cenderung negatif. Hal yang relatif sama terjadi pada penguasaan medali perak dan perunggu.
Indikasi demikian menunjukkan, sekalipun terjadi beberapa perbaikan, hal itu belum banyak menggeser kondisi penurunan capaian prestasi yang tengah berlangsung. Itulah mengapa dalam SEA Games 2023 di Kamboja ini menjadi tantangan yang lebih serius, apakah pemerintahan reformasi dalam kendali Presiden Jokowi kali ini mampu membalikkan keterpurukan menjadi lebih berprestasi. (LITBANG KOMPAS)