Keuntungan yang didapat daerah tujuan migrasi sering kali tak sebanding dengan beban yang harus ditanggungnya. Kepadatan penduduk makin tinggi, timbul pemukiman kumuh, hingga sulitnya mendapatkan pekerjaan.
Kehadiran para migran di suatu daerah memiliki daya dorong kuat untuk mengakselerasi pembangunan daerah bersangkutan. Namun, di sisi lain, keberadaan para pendatang juga berpotensi menambah beban daerah tujuan.
Fenomena mudik atau pulang kampung saat Lebaran menandai ada banyak masyarakat Indonesia yang merantau atau menjadi migran di daerah lain. Ada yang sebatas berpindah tak jauh dari daerah asalnya. Ada pula yang pergi dan menetap di luar pulau, bahkan luar negeri. Semua dilakukan demi mendapatkan hidup yang lebih sejahtera, meskipun ada pula yang melakukannya karena sosial-budaya.
Secara teori, hampir sebagian besar motif orang bermigrasi adalah karena tujuan ekonomi. Hal demikian juga berlaku secara umum di masyarakat Indonesia. Indikasinya terlihat dari hasil jajak pendapat Kompas terkait topik migrasi pada April lalu. Hampir separuh responden menilai lebih besarnya sumber pendapatan di daerah tujuan migran menjadi daya tarik seseorang melakukan migrasi. Sepertiga responden lainnya menyatakan kesempatan kerja di tempat tinggal sebelumnya makin sulit sehingga seseorang memutuskan berpindah.
Seiring berjalannya waktu, kehadiran para pendatang itu akan membuat wajah daerah tujuan berubah. Bukan hanya secara fisik, tetapi juga hal-hal nonfisik seperti budaya dan cara hidup yang kian beragam. Fenomena tersebut secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan daerah tujuan migran serta kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Menguntungkan
Fenomena migrasi itu menimbulkan berbagai persepsi dari sudut pandang yang beragam. Jajak pendapat Kompas merekam terbelahnya penilaian publik akan dampak fenomena migrasi yang terjadi selama ini. Empat dari 10 responden menyatakan, kehadiran pendatang akan menguntungkan daerah yang dituju.
Menurut publik, keuntungan utama bagi daerah tujuan migrasi adalah tumbuhnya ekonomi lokal. Hal tersebut dapat dipahami lantaran banyaknya pendatang akan diikuti peningkatan permintaan barang dan jasa. Berikutnya, akan tumbuh industri dan layanan jasa pendukung untuk memenuhinya. Dengan demikian, roda ekonomi terus berputar.
Muhammad Cholifihani Direktur Kependudukan dan Jaminan Sosial Kementerian PPN/Bappenas menilai, datangnya para migran juga turut meningkatkan pendapatan pajak hingga investasi daerah tujuan. “Migran memberikan kontribusi untuk perekonomian daerah seperti pengisian kekosongan tenaga kerja, pembayaran pajak, dan pengeluaran konsumsi. Selain itu, bisa mendorong pertumbuhan investasi di berbagai sektor”, ungkapnya saat ditemui di Jakarta, Jumat (28/4/2023).
Pertumbuhan ekonomi tersebut akan kian masif karena didukung masuknya migran yang produktif. Cholifihani menambahkan, berdasarkan hasil Long Form Sensus Penduduk 2020, sekitar 62 persen penduduk yang bermigrasi adalah penduduk usia kerja.
Hal tersebut senada dengan hasil jajak pendapat , di mana sekitar 37,3 persen responden mengatakan salah satu keuntungan bagi daerah tujuan migrasi adalah bertambahnya sumber daya manusia berkualitas. Sukamdi Dosen Fakultas Geografi UGM dan Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM mengungkapkan bahwa tidak sedikit pelaku migrasi adalah orang-orang yang kompeten.
“Ada orang yang bermigrasi karena merasa tidak bisa maximize utilities di tempat asal. Misalnya ada orang berpendidikan S2, tapi dia merasa tidak bisa menggunakan kapasitasnya untuk meningkatkan taraf hidupnya di daerahnya, maka dia akan pergi”, tambah pakar migrasi UGM itu. Artinya, kehadiran SDM unggul akan kian mengakselerasi pertumbuhan daerah tujuan.
Pernyataan Sukamdi itu selaras dengan pengakuan sekitar 20 persen responden yang menilai hadirnya pendatang akan turut meningkatkan taraf hidup masyarakat dan pembangunan daerah tujuan migrasi.
Membebani
Kendati demikian, keuntungan yang didapat oleh daerah tujuan migrasi sering kali tak sebanding dengan beban yang harus ditanggungnya. Tiga dari 10 responden jajak pendapat mengatakan bahwa kehadiran pendatang justru membebani daerah tujuan. Salah satunya karena kepadatan penduduk makin tinggi.
Hal ini terkonfirmasi dari data BPS yang menunjukkan bahwa daerah-daerah tujuan migrasi selalu lebih padat dari daerah lainnya. Fenomena ini tergambar jelas di 10 daerah utama tujuan migran yang dianalisis oleh Kompas. Misalnya di Bandung, Bekasi, dan Kota Depok. Daerah penyangga yang kini jadi primadona para migran itu tingkat kepadatannya mencapai lebih dari 10.000 jiwa per kilometer. Jauh melampaui rata-rata provinsi yang hanya mencapai 1.379 jiwa per kilometer.
Tak hanya kian padatnya penduduk, sepertiga responden lain mengatakan bahwa bertambahnya pengangguran menjadi soal tersendiri di balik fenomena migrasi. Ketua Departemen Perencanaan Wilayah Kota Universitas Diponegoro Prof Wiwandari Handayani, mengatakan, serbuan pendatang di suatu daerah menjadi ancaman ketika mereka tidak dapat mengakses lapangan kerja.
Hal itu terjadi lantaran tak semua pendatang berbekal pendidikan dan keahlian yang mumpuni. Tidak sedikit yang sekadar nekat mencari peruntungan di tanah rantau. Akibatnya, tidak terserap oleh lapangan pekerjaan dan berujung menjadi pengangguran. Sama seperti kepadatan penduduk, tingkat pengangguran di daerah utama tujuan migrasi juga relatif lebih tinggi dari daerah sekitarnya atau rata-rata di provinsi bersangkutan . Hal ini akan berbuntut ketimpangan di daerah tujuan migran yang kian meningkat, seperti yang dinyatakan oleh 9,7 persen responden.
Sebagian orang mencapai puncak kesuksesannya di tanah rantau, tetapi sebagian lainnya harus menderita karena tak terserap lapangan kerja. Perantau yang tidak terserap dunia kerja ini akhirnya harus berjuang sebagai pekerja informal dengan tingkat pendapatan yang relatif rendah.
Fenomena tersebut rawan memicu munculnya kerawanan sosial. “Jadi copet, maling, begal, akhirnya terpaksa dilakukan. Karena jauh-jauh dari kampung butuh makan, butuh kerjaan, tapi nggak ada yang ngasih. Ya sudah, otaknya kriminal.” Demikian ungkap Acep (41), warga asli Bandung yang merasa kini di daerahnya banyak kejadian kriminal sebagai dampak dari fenomena migrasi.
Fenomena tersebut menegaskan bahwa migrasi tak selalu membawa dampak positif bagi daerah tujuan. Terutama jika daerah tidak dipersiapkan dengan baik. Dosen Sosiologi dan Ilmu Sosial Politik Universitas Sumatera Utara Prof. Badarrudin menambahkan, daerah tujuan migrasi yang tidak benar-benar dipersiapkan hanya akan mengeksploitasi sumber daya daerah bersangkutan.
Sosiolog USU itu kemudian mencontohkan daerah Deli Serdang yang masih relatif minim fasilitas pendukung perkotaannya. “Masih banyak warga Deli Serdang yang lebih banyak melakukan aktivitas ekonomi, seperti belanja dan mencari hiburan, di Kota Medan. Karena pusat perbelanjaan dan hiburan di Deli Serdang belum banyak” ungkapnya. Sementara itu, tambahnya, dalam sehari-hari mereka menggunakan air, tanah, hingga membuang sampah di Deli Serdang.
Budi Situmorang, Staf Ahli Menteri Bidang Pengembangan Kawasan Kementerian ATR/BPN menilai, fenomena migrasi harus dipikirkan bersama-sama. Tanggung jawab terbesarnya ada di pemerintah daerah setempat yang bersinggungan langsung dengan para pendatang. Berbagai kemungkinan harus diantisipasi agar dampak negatif yang mengikuti dapat diminimalisir dan memberi manfaat yang lebih optimal untuk daerah tujuan. (LITBANG KOMPAS)