Peci, Istana Batu Tulis, dan Simbol Politik
Penggunaan simbol dalam politik berperan untuk membangun citra. Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri memberi peci hitam kepada Ganjar Pranowo sebagai simbol pengangkatan Ganjar sebagai calon presiden dari PDI-P.
Bertepatan dengan Hari Kartini 21 April 2023, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menggelar rapat di Istana Batu Tulis yang dilaksanakan untuk mengumumkan bahwa tugas kepartaian Ganjar Pranowo naik level, menjadi calon presiden. Pada kesempatan tersebut, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri memberi peci hitam kepada Ganjar. ”Budaya orang Indonesia itu sebenarnya berkopiah. Dan Bung Karno mengatakan itu adalah identitas dari nasionalisme kita,” ujar Megawati.
Memberi peci untuk Ganjar, tentu bukan sekadar pemanis. Ada sesuatu yang tersirat. Peci, kopiah beludru hitam, menjadi penanda spirit nasionalisme Bung Karno. Spirit yang juga menjadi fondasi ideologis Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Sekretaris Jendral PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, ”Peci Bung Karno merupakan simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan kaum cerdik pandai yang selalu menjauhkan diri dari rakyat biasa” (Kompas, 26/4/2023). Kalau mau jujur, kenyataannya penampilan Bung Karno bergelimang tanda kebesaran yang jauh dari sederhana: seragam militer lengkap dengan deretan tanda kehormatan, serta tongkat komando. Hanya saja, peci hitam menjadikan Bung Karno tampak merakyat tanpa menghilangkan wibawa dan karismanya. Peci bisa dipakai siapa saja, lintas politik bahkan agama.
Graeme Gill dan Luis F Angosto-Ferrandez (2018) dalam Introduction: Symbolism and Politics menulis bahwa simbol adalah aspek penting yang mengorganisasi hajat manusia, yang membentuk persepsi serta bagaimana manusia melihat dan memahami dunianya. Dalam politik, simbol berperan penting pada medan perebutan kekuasaan, karena simbol memfasilitasi seseorang atau kelompok untuk melakukan proses-proses interpretasi. Sebagai pendiri bangsa dan pemikir politik yang karismatik, simbol-simbol terkait Bung Karno menjadi alat jitu membentuk persepsi seseorang atau kelompok. Mungkin, PDI-P juga ingin dipersepsikan sebagai partai yang nasionalis, religius, dan merakyat melalui simbolisasi peci untuk Ganjar.
Peci dan Soekarno
Hubungan peci dan Bung Karno tertulis dalam Penyambung Lidah Rakyat, biografi Presiden Soekarno yang ditulis oleh Cindy Adams. Bung Karno mengatakan bahwa meluasnya makna peci sebagai tanda pengenal dan lambang kebangsaan, tak luput dari campur tangannya.
Kala itu Bung Karno merasa kawan-kawan seperjuangannya berlagak modern dan terpelajar dengan meniru penampilan tuan-tuan kolonial Eropa; menggunakan jas rapi dan menolak menggunakan penutup kepala. Penampilan ini, menurut Bung Karno, justru menjauhkan mereka dengan rakyat yang sedang mereka perjuangkan.
Menurut Bung Karno, kumpulan orang terpelajar masa itu merasa tidak pantas memakai atribut yang identik dengan rakyat kebanyakan. Misalnya, menggunakan blangkon dan sarung yang dipakai oleh orang Jawa. Apalagi, memakai peci, yang kata Bung Karno ”biasa dipakai oleh tukang becak dan rakyat jelata lainnya”.
Cara berpikir Bung Karno progresif. Menurut dia, pemimpin harus dekat dengan rakyat. Salah satu caranya dengan berpenampilan seperti rakyat kebanyakan, yakni menggunakan peci. Bung Karno memutuskan menggunakan peci untuk menunjukkan kepada kawan sejawat bahwa menjadi pemimpin harus menyatu dengan rakyat, bukan malah menjauh dengan bergaya ala Barat.
Peci, yang kata Soekarno berasal dari bahasa Belanda, ”pet” berarti kopiah dan ”je” berarti kecil, pada akhirnya menjadi lambang nasionalisme. Pemaknaan peci berubah, dari identitas rakyat jelata menjadi simbol perjuangan, nasionalisme, dan merakyat. Identitas peci yang konsepsi simbolisnya diperkenalkan oleh Soekarno ini, kemudian digunakan hingga kini terutama oleh aktor-aktor politik.
PDI dan Soekarno
Presiden Soekarno sebagai tokoh penting pergerakan awal kemerdekaan, presiden pertama Indonesia, pemikir politik yang memiliki segudang karisma, mewarisi citra politik yang kuat. Citra Soekarno kemudian banyak dipakai oleh partai dan tokoh-tokoh politik. Baik menggunakan atribut penampilan yang berciri Bung Karno atau dengan mengutip penggalan-penggalan ide nasionalisme Bung Karno.
Namun, PDI-P lah yang paling berhasil menggunakan simbol-simbol Soekarno dalam gelanggang politik Indonesia. Hal ini terutama karena PDI-P mewarisi ”Soekarno” baik secara biologis maupun ideologis.
Tokoh-tokoh penting PDI-P memiliki pertalian biologis dengan Soekarno. Megawati, ketua umum PDI-P, adalah anak ke-2 Presiden Soekarno. Cucu Bung Karno, Puti Guntur Soekarno, Puan Maharani, dan Prananda Prabowo merupakan orang-orang penting di PDI-P. Karena pertalian biologis langsung dengan presiden pertama RI, PDI-P seolah terlihat sebagai pewaris sah atas citra Soekarno.
Garis ideologi PDI-P juga berasal dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Pada tahun 1973, kebijakan politik orde baru mengharuskan dilakukannya perampingan jumlah partai-partai politik. PNI, Partai Murba, Partai IPKI, Parkindo, dan Partai Katolik bergabung membentuk PDI. Setelah jatuhnya rezim Soeharto, PDI pecah dan menjadi PDI-P. Jika dirunut, artinya PDI mewarisi ideologi yang diusung oleh PNI.
PNI adalah partainya Bung Karno, partai pemenang pada pemilu 1955. PNI mengusung nilai-nilai Marhein, pandangan yang mementingkan rakyat kecil, di mana ide-ide pokoknya berasal dari buah pikiran Bung Karno. Dalam situs resmi PDI-P, partai ini memampang tulisan-tulisan Bung Karno sebagai ”Materi Pokok Pembelajaran”.
Menonjolnya Bung Karno di PDI-P, secara mudah dapat diamati ketika deklarasi Ganjar sebagai calon presiden. Megawati berujar, pemilihan Hari Kartini memang disengaja agar mengingat dan meneruskan perjuangan Kartini sebagai perempuan pelopor. Kendati demikian, dalam deklarasi itu sosok Bung Karno lebih menonjol dibanding Kartini. Suara perjuangan perempuan Kartini tampak tertutup oleh pandangan nasionalis kerakyatan Bung Karno. Nama Soekarno disebut sebanyak 12 kali, sedangkan Kartini hanya 5 kali dalam keseluruhan rapat pengumuman tersebut. Memang tidak ada yang salah. Namun, pada akhirnya pilihan Hari Kartini dapat dipersepsi hanya untuk ngepasi momentum.
Istana Batu Tulis
Pemilihan lokasi di Istana Batu Tulis juga sarat dengan makna. Bagi Megawati, tempat ini merupakan bagian penting dalam perjalanan politiknya. Megawati sering menggunakan istana ini sebagai tempat pertemuan maupun hal-hal penting lainnya.
Istana ini berdiri di atas lahan seluas 3,8 hektar, nama sebenarnya kompleks bangunan ini adalah Hing Puri Bima Cakti. Dibangun sekitar tahun 1702, sebagai tempat peristirahatan seorang ahli gunung berapi bernama Abraham Van Riebeeck. Saat itu, Van Riebeeck ditugaskan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda di Batavia (kini Jakarta) untuk memeriksa kondisi Buitenzorg (Bogor) dan memantau aktivitas Gunung Salak setelah meletus pada tahun 1699.
Lalu pada tahun 1960-an, Presiden Soekarno membeli tanah di sekitar tempat tersebut dan membangun sebuah rumah tinggal dan tempat peristirahatan.
Setelah Bung Karno meninggal, Istana Batu Tulis diambil alih oleh pemerintah Orde Baru. Namun, pada era Presiden Abdurrahman Wahid, pengelolaan Istana Batu Tulis dikembalikan kembali pada ahli waris Bung Karno.
Beberapa Peristiwa simbolik yang pernah dilakukan tokoh atau partai
Sumber: Pemberitaan Kompas dirangkum oleh Litbang Kompas/TAG
Simbol-simbol politik
Bukan lagi rahasia, PDI-P adalah partai yang sering bermain-main simbol Bung Karno. Banyak pengamat politik menelaah gerak politik PDI-P dengan menganalisis pola munculnya simbol yang dipakai. Misalnya, pertemuan elite di Batu Tulis sebagai kediaman Bung Karno; suguhan sayur lodeh yang menjadi makanan kegemaran Bung Karno; dan ziarah ke makam Bung Karno seringkali dimaknai sebagai akan adanya keputusan penting di tubuh PDI-P.
Bukan berarti simbol-simbol politik Bung Karno hanya milik PDI-P. Melihat balik pada pemilu tahun 2014, Prabowo Subianto mencitrakan dirinya sebagai the next Soekarno. Citra ini diperlihatkan dengan cara bicaranya yang tegas di podium, mengenakan peci hitam, dan penggunaan mik tahun 1960-an ketika pidato. Ditambah dengan pengambilan sudut foto dari bawah, memperkuat citra dirinya yang gagah dan karismatik mirip Soekarno. Meskipun gagal dalam pemilihan presiden, penggunaan simbol-simbol Soekarno sempat melekat pada diri Prabowo Subianto.
Berbicara soal peci sebagai simbol politik, Jokowi juga pernah memakainya. Namun tidak berhubungan dengan Presiden Soekarno, tetapi Presiden Gus Dur. Jokowi menerima peci Gus Dur yang diserahkan oleh Sinta Nuriyah, istri Gus Dur, saat peringatan Hari Lahir Ke-9 The Wahid Institute pada 2013. Pemberian peci tersebut, menurut Yenny Wahid, merupakan simbolisasi bahwa gaya kepemimpinan Jokowi mirip seperti Gus Dur (Kompas, 27/11/2013).
Penggunaan simbol dalam politik berperan untuk membangun citra. Simbol-simbol biasanya berasal dari atribut yang pernah digunakan tokoh penting, atau dari ide-ide pokok yang pernah digagas namun belum tuntas. Seperti halnya penggunaan kapal pinisi oleh Jokowi-Jusuf Kala saat pidato kemenangan Pilpres 2014, yang dimaknai akan mengembalikan kejayaan maritim Indonesia. Begitu pula dengan pidato Jokowi di Kampung Deret setelah kemenangan Pilpres 2019, yang dimaknai sebagai pro-rakyat.
David Scheneider (1968), salah satu antropolog penting abad ke-20, menjelaskan bahwa ”sebuah simbol adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, atau beberapa hal lain, di mana tidak ada hubungan yang diperlukan antara simbol dan apa yang disimbolkan”. Simbol dan pemaknaannya kadang memiliki pertalian, tetapi keduanya bukan hal yang sama. Peci memang berkaitan dengan nasionalisme atau religiusitas, tetapi tentu saja keduanya tidak sama. Peci merupakan simbol, tetapi bukan alat ukur untuk menilai tingkat nasionalisme atau religius seseorang. Lantas muncul pertanyaan, seberapa jauh simbol-simbol politik ini lantas diterapkan secara nyata dalam kebijakan nasional dan untuk kepentingan sehari-hari rakyat Indonesia? Rakyat yang akan menilai. (LITBANG KOMPAS)