Waspadai Lonjakan Kasus Covid-19 Pascamudik Lebaran
Antusiasme mudik Lebaran perlu dibarengi dengan kewaspadaan akan potensi melonjaknya kasus Covid-19. Pasalnya, masa mudik Lebaran kali ini berbarengan dengan munculnya varian baru Arcturus yang berbahaya.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·5 menit baca
Antusiasme warga untuk melakukan mudik Lebaran membuncah setelah beberapa tahun terakhir dibatasi dengan kebijakan pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) oleh pemerintah. Tingginya antusiasme mudik ini tecermin dari jumlah pemudik yang naik cukup signifikan.
Diperkirakan lebih dari 123 juta warga Indonesia melakukan mudik Lebaran tahun ini. Angka tersebut merupakan peningkatan sebesar sekitar 45 persen dibandingkan tahun lalu. Artinya, pada tahun ini, lebih dari 40 persen warga Indonesia melakukan perjalanan.
Tingginya antusiasme warga untuk bepergian selama masa Lebaran ini perlu diwaspadai. Pasalnya, momen ini berbarengan dengan meningkatnya persebaran virus Covid-19 varian Arcturus. Varian ini disinyalir lebih berbahaya dibandingkan dengan varian-varian sebelumnya.
Terlebih porsi dari masyarakat yang mudik menggunakan kendaraan umum cukup dominan. Jumlah pengguna kendaraan pribadi, baik roda empat maupun roda dua, sekitar 39 persen dari total pemudik tahun ini.
Artinya, sebagian besar (60 persen) pemudik memilih untuk menggunakan transportasi umum. Tingginya penggunaan kendaraan umum ini tentu meningkatkan resiko penularan Covid-19, terutama setelah dicabutnya kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) oleh pemerintah.
Varian Arcturus menjadi temuan yang cukup mengagetkan pada awal tahun 2023. Varian Arcturus dengan nama galur XBB.1.16 ini pertama kali dideteksi di Filipina pada 9 Januari 2023.
Varian ini merupakan rekombinan antara BA.2. 10.1 dan BA.275 dengan tiga tambahan mutasi pada protein lonjakan. Artinya, varian ini sebetulnya masih merupakan turunan dari varian Omicron yang sempat merebak pada 2021 hingga 2022 lalu.
Sejak awal ditemukan, varian Arcturus telah memantik kekhawatiran di tengah lingkaran ilmuwan karena potensi penyebaran lebih cepat serta tingkat keparahan yang lebih dibandingkan dengan varian-varian sebelumnya. Bahkan, tingkat keseriusan dari ancaman varian ini diakui oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang memasukkannya dalam daftar Variant of Interest (VoI) pada 22 Maret lalu.
Salah satu karakteristik dari Arcturus terletak dari mutasi pada protein lonjakannya. Meski mutasi juga ditemukan pada varian lain, mutasi yang ada di varian Arcturus unik. Artinya, mutasi ini tak ditemukan pada beberapa jenis lain, termasuk Delta dan Beta. Mutasi yang terjadi pada varian ini berada di K478R, E180V, dan F486P.
Mutasi pada lonjakan protein Arcturus ini membawa beberapa implikasi. Pertama, varian tersebut menjadi semakin mudah untuk masuk ke tubuh manusia. Pasalnya, mutasi K478R berasosiasi pada penurunan kemampuan netralisasi antibodi. Artinya, potensi virus ini untuk menghindari sistem imun dan menginfeksi manusia menjadi semakin tinggi.
Temuan dari University of Tokyo menunjukkan bahwa Arcturus memiliki tingkat penularan 1,17 hingga 1,27 kali lebih besar dibandingkan subvarian Kraken.
Sebelumnya, Kraken sempat diprediksi sebagai subvarian Omicron yang mendominasi kasus. Pasalnya, virus dengan nama galur XBB 1.5 ini memiliki mutasi yang membuatnya lebih imun terhadap antibodi yang terbentuk pasca-imunisasi hingga lebih menular dibandingkan Omicron.
Namun, penting untuk dicatat bahwa vaksin Covid-19 saat ini masih efektif melawan varian Covid-19 lainnya, termasuk varian Delta, yang saat ini menjadi jenis virus dominan di banyak bagian dunia.
Selain itu, masih diperlukan lebih banyak penelitian untuk bisa benar-benar membuktikan prediksi ini. Lebih lanjut, produsen vaksin sedang berupaya mengembangkan suntikan penguat yang dirancang khusus untuk menarget varian Covid-19, termasuk varian Arcturus.
Meski memiliki keunikan, gejala dari subvarian baru ini mirip dengan gejala Covid-19 sebelumnya. Beberapa gejala dari Covid-19 ini adalah batuk, flu, demam, dan nyeri tenggorokan. Namun, beberapa laporan dari negara lain menunjukkan adanya gejala khas, seperti mata yang mengalami kemerahan, dengan potensi adanya kotoran di dekat area tersebut.
Hingga kini, Arcturus telah menyebar ke beberapa negara di dunia. Setidaknya, 20 negara telah melaporkan temuan kasus Arcturus, seperti Singapura, Amerika Serikat, Inggris, dan India. Dari beberapa negara yang telah melapor, India jadi salah satu yang paling terdampak dari perkembangan virus ini.
Kemampuan Arcturus untuk menyebar secara lebih cepat disinyalir menjadi penyebab melonjaknya kasus Covid-19 di negara tersebut. Secara mengejutkan, kasus Covid-19 melonjak semenjak awal April 2023 di India, setelah melandai dari puncak sebelumnya pada Agustus 2022.
Dari sekitar 4.000 kasus pada 4 April, jumlah kasus di negara ini melonjak tiga kali lipat dalam waktu beberapa hari saja. Bahkan, per 25 April lalu, jumlah rerata kasus mingguan berada di atas angka 10.000 kasus.
Dengan perkembangan situasi ini, Pemerintah India pun telah memulai beberapa langkah, seperti mewajibkan kembali penggunaan masker hingga meningkatkan kapasitas rumah sakitnya.
Selain India, negara lain yang juga tampak mengalami lonjakan kasus Covid-19 adalah Jepang. Selama seminggu terakhir, ada peningkatan tren kasus harian di negara ini, dari sekitar 8.000 kasus menjadi lebih dari 10.000 kasus per hari.
Perburukan ini memutar balik tren positif Jepang yang berhasil menekan jumlah kasus setelah sebelumnya memuncak pada Desember 2022 hingga Januari 2023.
Perburukan situasi Covid-19 di Jepang pun dialami oleh negara tetangganya, Korea Selatan. Tren kenaikan kasus Covid-19 ini tampak dari rerata kasus harian dalam seminggu (7-days moving average) yang telah naik dari sekitar 9.000 kasus pada Maret menjadi nyaris 13.000 kasus pada 27 April lalu. Padahal, sama dengan Jepang, Korea Selatan juga baru saja berhasil menekan jumlah kasus yang memuncak pada Januari lalu.
Di kawasan Asia Tenggara, ancaman gelombang baru Covid-19 pun tampak nyata di Singapura. Di negara tersebut, tercatat 28.410 kasus Covid-19 pada minggu terakhir Maret.
Angka tersebut merupakan peningkatan hampir dua kali lipat dari angka minggu sebelumnya, yaitu sekitar 14.000 kasus. Bahkan, kasus harian sempat menyentuh angka 26.000 kasus pada pertengahan April lalu meskipun tidak diketahui berapa banyak dari kasus ini yang disebabkan subvarian baru Arcturus.
Memang, situasi Covid-19 di Indonesia belakangan ini bisa dibilang cukup terkendali. Hal ini tampak dari angka kematian dan angka pasien dirawat yang jauh di bawah standar WHO.
Namun, adanya temuan tujuh kasus pasien Covid-19 varian Arcturus di Indonesia dan masifnya pergerakan warga pada masa Lebaran patut untuk dimasukkan ke dalam pertimbangan. Maka, tak berlebihan jika Indonesia perlu waspada dengan adanya gelombang Arcturus. (LITBANG KOMPAS)