Ketegangan AS–China dan Risiko Perang di Asia Timur
Eskalasi konflik China dan Taiwan meningkatkan ketegangan di kawasan Asia Timur. Potensi perang terbuka antara Taiwan dan AS melawan China makin menambah ketidakstabilan dunia.

Foto yang dirilis Kementerian Pertahanan Jepang pada 10 April 2023 ini memperlihatkan sebuah pesawat tempur lepas landas dari Kapal Induk Shandon milik China di perairan selatan Prefektur Okinawa, Samudra Pasifik. China menggelar latihan perang dengan menyimulasikan memblokade Taiwan selama tiga hari setelah Presiden Taiwan bertemu Menlu AS.
Beberapa bulan terakhir ini, Amerika Serikat (AS) dan China silih berganti mengadakan latihan perang di Asia Timur dan Tenggara. Intensitasnya makin meningkat sejak lawatan Ketua DPR AS 2019-2023 Nancy Pelosi ke Taiwan pada bulan Agustus 2022. Pada bulan itu juga China menutup ruang udaranya dan menggelar latihan militer besar-besaran di Selat Taiwan.
Akhir Februari 2023 giliran AS unjuk kekuatan dalam latihan militer bersandi ”Cobra Gold” yang digelar Thailand. Latihan militer yang dilakukan bersama tujuh negara ini merupakan yang terbesar di Asia Pasifik. AS menjadi kontingen terbesar dengan mengirimkan 6.000 prajurit, paling besar yang dikirimkan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Hubungan diplomatik kedua negara semakin memanas ketika Presiden Taiwan Tsai Ing-wen bertemu dengan Ketua DPR AS Kevin McCarthy di AS minggu lalu. Merespons hal tersebut, China kembali melakukan latihan militer yang dinamakan ”Pedang Gabungan”. Dalam latihan tersebut, China menyatakan berhasil mengepung Taiwan dengan tujuan agar Taiwan tidak dapat menerima bantuan militer dari luar ketika terjadi perang.
Sehari setelah China latihan memblokade Taiwan, AS memulai latihan perang gabungan antara AS, Filipina, dan Australia di Filipina. Pada latihan yang rencananya akan berlangsung sampai 28 April 2023 ini diikuti 17.711 tentara dari ketiga negara. AS sendiri mengirimkan 12.200 tentara, sementara Filipina mengerahkan 5.400 tentara.
Di dalam negeri, Taiwan juga menggelar latihan militer besar-besaran yang melibatkan badan penanggulangan bencana. Latihan ini berfokus pada antisipasi kemungkinan terjadinya invasi dari China. China yang menganut prinsip ”Satu China” menganggap Taiwan sebagai bagian dari China sehingga Taiwan senantiasa memitigasi upaya invasi dari China.
Taiwanmerupakan negara pulau di lepas pantai sebelah tenggara China yang didirikan oleh Partai Nasionalis Kuomintang (KMT). Mereka terusir dari daratan China oleh pasukan Partai Komunis pada perang sipil tahun 1949 dan menempati gugusan pulau dengan Pulau Formosa sebagai pulau induk (terbesar).
Ketegangan yang terus terjadi belakangan ini tak pelak berisiko meningkatkan eskalasi konflik menuju ke perang terbuka. Hal ini karena AS memiliki hubungan tidak resmi tapi kokoh dengan Taiwan dan berkomitmen untuk membantu jika ada yang mengganggu kedaulatan Taiwan.
Konflik bersenjata antara AS dan China, dua negara dengan kekuatan ekonomi dan militer terbesar dunia, tentu dapat menjadi perang dengan dampak yang sangat luas dan destruktif. Kedua negara memiliki kemampuan militer konvensional, alutsista canggih, pesawat tempur siluman, rudal jelajah jarak jauh dan amunisi pintar berbasis satelit serta senjata nuklir strategis.

Skenario serangan
Potensi perang terbuka antara AS dan China menjadi perhatian banyak pihak selain kedua negara terlibat. Pecahnya perang antara AS dan China akan mengakibatkan ketidakstabilan keamanan, ekonomi, dan geopolitik di kawasan Asia Timur dan Pasifik Selatan.
Mark F Cancian, penasihat senior CSIS Washington DC, beserta tim, membuat laporan ”The First Battle of the Next War (Januari 2023)”, yang menerangkan hasil simulasi perang antara AS dan China dalam berbagai model pertempuran dan skenario yang dilakukan dalam 24 iterasi (pemodelan, perunutan dan pemerincian).
Iterasi tersebut meliputi tiga basis model pertempuran, 19 skenario pesimistik, dan dua skenario optimistik dampak pertempuran di perairan sekitar Taiwan. CSIS juga mengeluarkan dua opsi selain dari 24 iterasi simulasi perang, yaitu kemungkinan kehancuran total pihak yang terlibat (ragnarok) dan satu kemungkinan Taiwan dapat bertahan dari invasi China tanpa intervensi dan bantuan dari negara lain.
Jika perang benar-benar pecah di sekitar Taiwan, maka pertempuran antara Taiwan dan AS melawan China akan melibatkan pertempuran laut dan udara dalam skala masif. Skenario yang kemungkinan besar terjadi adalah China melancarkan serangan udara dan rudal balistik ke sistem pertahanan udara dan pangkalan militer Taiwan. Disusul dengan pendaratan pasukan marinir di pantai Taiwan dan memastikan arus pasukan dan logistik perang dari daratan utama China ke Taiwan.
Dari skenario serangan China ke Taiwan, ada dua kemungkinan yang dapat terjadi, pertama Taiwan memilih untuk menyerah agar tidak semakin banyak kehancuran infrastruktur dan korban sipil yang berjatuhan. Kedua, Taiwan memilih bertahan dan mengerahkan seluruh kemampuan militernya dan menerapkan ”porcupine strategy” atau memasang artileri pertahanan udara dan antikapal di seluruh wilayahnya untuk menghalau serangan China.
Akan tetapi, opsi bertahan akan membuat Taiwan kehilangan banyak alutsista dan personel. Selain itu, kerusakan infrastruktur, krisis ekonomi, dan korban sipil akan sangat besar hingga Taiwan berisiko gagal bangkit kembali pascaperang.

Strategi menang
Dalam laporan yang sama disebutkan empat prasyarat untuk bertahan bahkan memenangi perang dari invasi China ke Taiwan. Prasyarat pertama adalah militer Taiwan harus mampu bertahan dari serangan China. Apabila pilihan bertahan diambil, maka Taiwan paling tidak harus memastikan kemampuan personel, kualitas artileri pertahanan udara dan antikapal serta pasokan amunisi yang cukup untuk bertahan minimal dua minggu setelah hari-H penyerangan. Selama periode ini Taiwan benar-benar harus berusaha sendiri mempertahankan wilayahnya.
Kedua, keterlibatan militer AS dan sekutunya mutlak diperlukan andai kata ingin mempertahankan Taiwan bahkan menyerang balik ke daratan China. Artinya, pasukan AS akan terlibat pertempuran langsung dengan militer China. Prasyarat ini menyatakan bahwa model keterlibatan pasif AS dan sekutunya dengan mengirim senjata dan logistik seperti di Ukraina tidak bisa dilakukan.
Hal ini disebabkan adanya blokade total militer China atas Taiwan. Dalam konteks Ukraina, meskipun diserang habis-habisan dalam fase serangan awal invasi Rusia, Ukraina masih mampu mengamankan perbatasannya di bagian barat dan mencegah Rusia menguasai ruang udara di atas Ukraina sehingga pasokan senjata dan logistik dari negara-negara NATO masih bisa masuk melalui Polandia. Sementara itu, keterlibatan negara asing di Taiwan akan mustahil tanpa melibatkan kontak senjata dan konfrontasi langsung dengan militer China yang mengepung Taiwan.
Prasyarat ketiga ialah AS harus memastikan dapat menggunakan pangkalan militer di negara sekutu pasifiknya seperti di Jepang, Korea Selatan, dan Filipina. Kondisi ini tentu harus diupayakan AS lewat pendekatan diplomatik dan strategis karena bukan tidak mungkin negara-negara tersebut akan terseret dalam perang melawan China.

Foto dari Kementerian Pertahanan Nasional Taiwan yang diambil pada 9 April 2023 memperlihatkan tentara Taiwan mengoperasikan sistem rudal di Taiwan saat China melakukan latihan militer di sekitar perairan Taiwan.
Risiko akan serangan balasan China ke pangkalan AS di negara-negara sekutunya juga patut menjadi perhatian. Lebih jauh, keterlibatan aktif sekutu utama AS di pasifik, yakni Australia dan Jepang, dalam pertempuran diharapkan dapat menambah kekuatan pasukan AS dan sekutu dalam melawan China.
Prasyarat terakhir yang harus dipenuhi adalah kemampuan AS untuk segera melumpuhkan kekuatan angkatan laut dan angkatan udara China lewat serangan kilat dan masif di luar jangkauan pertahanan China. Artinya, AS perlu menggunakan rudal dan alutsista perusak dengan jangkauan serangan yang luas.
Keempat prasyarat tersebut mengindikasikan bahwa perang antara AS dan China akan menjadi pertempuran maritim terbesar dan mematikan bahkan mungkin melebihi pertempuran Pasifik pada Perang Dunia II. China jelas diuntungkan dengan letak wilayah pertempuran yang dekat dengan daratan utamanya. Pengerahan logistik dan pertahanan terhadap armada perangnya akan lebih mudah dilakukan China.
Sementara AS harus mengerahkan armadanya mendekati palagan dan membangun basis-basis operasi terdepan untuk mengerahkan armada laut dan meluncurkan pesawat tempurnya. Andaikan AS tidak dapat menggunakan pangkalan di negara-negara sekutu pasifiknya, maka pilihan AS ialah mengerahkan satuan tempur kapal induknya mendekati Taiwan dan pesawat pengebom jarak jauh B-52 yang diterbangkan dari pangkalan udara Andersen di Guam. Bentang jarak yang lebih panjang akan menjadi tantangan besar bagi kekuatan AS dalam pertempuran.
Penggunaan wahana tempur berkemampuan tinggi seperti pesawat pengebom dan kapal perang bertenaga nuklir tidak menutup kemungkinan pertempuran dapat meluas hingga ke daratan China dan bahkan ke pantai barat AS. Pengebom siluman AS dapat menembus pertahanan udara China dan meluluhlantakkan sasaran di daratan China.
Kemampuan kapal selam nuklir balistik China yang mampu berlayar dalam jarak tak terbatas diprediksi mampu menyerang pangkalan AS di daratan utama Amerika. Meluasnya wilayah pertempuran dapat menjadi pemantik bagi semakin banyak kekuatan untuk terlibat dan bahkan memicu terjadinya perang dunia ketiga.

Superioritas senjata
Menilik data dari laman globalfirepower.com, kuantitas angkatan laut dan angkatan udara AS memiliki keunggulan dibandingkan dengan China. Akan tetapi, AS kemungkinan tidak akan mengerahkan seluruh kekuatannya dalam perang dengan China di Pasifik. AS masih perlu memastikan kehadirannya sebagai kekuatan utama di dunia terutama di Eropa dan Timur Tengah.
Faktor pembeda antara kekuatan China dan AS kini bergantung pada kecanggihan teknologi persenjataan yang mampu menghancurkan lawan di luar batas cakrawala (over-the-horizon strike capability) dan kemampuan deteksi dini radar mereka untuk menangkal serangan lawan.
Rantai komando dan strategi perang yang efektif mutlak diperlukan dalam kondisi perang yang melibatkan kekuatan demikian besar dan risiko eskalasi menuju perang nuklir mengingat kedua negara memiliki arsenal nuklir strategis mereka. Bukan tidak mungkin, serangan AS terhadap armada China akan dianggap sebagai casus belli atau alasan pemicu perang bagi China untuk meluncurkan senjata nuklirnya.
Walaupun teknologi militer China dapat menyaingi atau bahkan mengungguli AS di beberapa aspek, pengalaman operasi militer China masih kurang dibandingkan AS. Terakhir kali China melakukan operasi tempur yang melibatkan kekuatan udara modern terjadi pada perang China-Vietnam di tahun 1979. Sementara AS hingga beberapa tahun terakhir masih melakukan operasi udara modern terutama pada kampanye militernya di Timur Tengah. Faktor pengalaman inilah yang meskipun tidak signifikan dapat menjadi pembeda dalam kalkulasi kemenangan di medan tempur.

Pengunjuk rasa menyambut kedatangan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen di New York, AS, (29/3/2023). Kunjungan ini memicu aksi balasan dari China.
Simulasi perang
Sementara itu, dalam laporan lain yang dirilis oleh RAND Corporation berjudul ”War with China: Thinking through the Unthinkable” yang dirilis pada 2016, menjelaskan dampak kerugian militer yang akan dialami China dan AS jika bertempur habis-habisan dalam jangka waktu panjang akan sangat besar. RAND memberikan paparan dalam dua model simulasi jika perang terjadi di 2015 dan 2025. Simulasi tersebut memberikan gambaran bagaimana kekuatan militer AS ataupun China akan terdegradasi seiring waktu jika terjadi pertempuran hebat dalam waktu yang lama.
Pada 2015 kekuatan AS masih di atas China sehingga diprediksikan AS akan mampu memenangi pertempuran tanpa kehilangan berarti pada armada tempurnya. Namun, peningkatan kuantitas dan kualitas armada laut dan udara China, serta kemampuan China untuk menerapkan Anti-Access Area Denial (A2AD) atau kemampuan untuk mencegah masuknya kekuatan militer lawan ke suatu wilayah dengan instalasi sistem pertahanan udara dan artileri yang canggih di masa kini membuat jarak perbedaan kekuatan antara AS dan China kian menipis.
Jika perang terjadi pada 2025, maka kekuatan AS tidak akan terpaut jauh dari China, bahkan ada kemungkinan keduanya bisa berakhir imbang. Dengan perkataan lain, kedua pihak sama-sama dapat memberikan kerusakan berarti dan serangan yang ampuh satu sama lain.
Dalam lanjutan laporan yang sama, China diprediksi akan kehilangan sebagian besar armada laut dan kekuatan angkatan udaranya. Meskipun demikian, China diperkirakan dapat lebih cepat mengisi kembali kekuatan militernya dengan kapasitas industri yang besar. Sementara AS diperkirakan akan sangat bergantung pada kapal induknya.

Foto dari Kementerian Pertahanan Nasional Taiwan yang dirilis 10 April 2023 memperlihatkan kapal perang Taiwan sedang melakukan patroli laut menyusul reaksi China yang menggelar latihan perang di sekitar wilayah Taiwan.
Jika China berhasil menghancurkan sebagian besar kapal induk AS, maka AS akan kesulitan untuk menggantikan kapal induk yang hilang karena kapasitas galangan kapal berukuran besar yang terbatas. Belum lagi waktu yang diperlukan untuk mengirimkan kapal tersebut ke wilayah konflik.
Kerugian personel juga diperkirakan mencapai ratusan ribu jiwa bagi kedua pihak. Belum lagi infrastruktur dan perekonomian bagi kedua negara. Selain tentu saja hilangnya supremasi militer AS dan China di Pasifik akan memberikan pengaruh besar bagi perimbangan kekuatan di Pasifik.
Baca juga: China Blokade Taiwan
Melihat kerugian yang begitu besar, maka dalam perang ini sebenarnya tidak ada pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Kemenangan di palagan bagi AS ataupun China tidak akan berarti jika diraih dengan kerugian yang amat besar. Reaksi dan kecaman dari dunia internasional tentu akan membuat kedua negara yang berkonflik akan kehilangan muka dan pengaruh dalam percaturan politik internasional.
Sementara bagi Taiwan, walaupun mampu bertahan dan menang, Taiwan tetap akan mengalami kehancuran total. Sumber daya dan potensi ekonomi, yang hancur atau terkuras saat perang, kecil kemungkinan akan dapat dibangun kembali. Demikian juga jatuhnya korban sipil dan krisis yang terjadi di masyarakat akan menimbulkan gejolak dalam negeri Taiwan yang mengancam stabilitas negara seperti yang terjadi pada negara pascaperang di Timur Tengah. Oleh karena itu, upaya resolusi konflik melalui jalan damai harus terus diketengahkan di tengah eskalasi ketegangan kedua negara. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: AS Kerahkan Pesawat Pengintai ke Selat Taiwan, China Siaga