Laksana penziarahan, mudik ke kampung halaman bukan sekadar rutinitas pulang kampung, tetapi juga perjalanan spiritual manusia untuk kembali ke fitrah dan asal-usulnya.
Oleh
Yulius Brahmantya Priambada
·4 menit baca
Di seputar perjalanan mudik Jawa-Sumatera, terdapat masjid-masjid yang dapat menguatkan spiritualitas, membangun kembali hubungan batin ke tempat kelahiran atau asal nenek moyang. Dari publikasi Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia (1999) dan Masjid-Masjid Kuno di Indonesia (2012), beberapa masjid memiliki nilai historis tinggi dengan desain bangunan yang khas di sepanjang jalur mudik.
Di bagian barat Indonesia, ada Masjid Al Osmani yang terletak di kawasan Labuhan, Medan, Sumatera Utara, dan didirikan pertama kali menggunakan bahan utama kayu oleh Sultan Deli VII, Osman Perkasa Alam. Baru pada tahun 1870-1872 masjid itu dipugar menjadi bangunan permanen oleh anaknya, Sultan Deli VIII, Mahmud Perkasa Alam.
Masjid ini memiliki arsitektur yang memadukan corak China, Eropa, dan Timur Tengah. Tak hanya itu, proses pemugaran masjid melibatkan arsitek berkebangsaan Jerman bernama GD Langereis. Selain bangunannya, daya tarik Masjid Al Osmani terletak pada kelima makam Sultan Deli di kompleks masjid.
Masjid Al Osmani merupakan simbol silaturahmi bagi rakyat Medan, ruang pertemuan dan silaturahmi antara sultan dan rakyat jelata. Momentum pertemuan ini umumnya terjadi pada hari raya Idul Fitri.
Masjid berikutnya berada di Sumatera Selatan, yaitu Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin I. Sesuai dengan namanya, masjid tersebut dibangun oleh Raja Kesultanan Palembang pada 1738 M.
Masjid yang terletak tak jauh dari Sungai Musi ini memiliki corak perpaduan arsitektur Timur dengan Barat. Perkawinan antara dua corak itu dijumpai di berbagai sisi masjid. Ada bentuk dasar yang bergaya khas Indonesia, tetapi ada pula ornamen yang memiliki sentuhan budaya China. Serambi serta tiang-tiang besarnya berciri khas gaya bangunan Eropa.
Kombinasi corak lintas kebudayaan pada masjid tersebut tidaklah mengherankan. Kota Palembang sejak zaman Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai metropolitan. Kota ini didatangi banyak orang dari berbagai penjuru dunia. Hingga kini Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II menjadi destinasiwisata religi bagi orang dari banyak daerah, terutama pada bulan Ramadhan dan Idul Fitri.
Banten
Pemudik yang hendak menyeberang dari Jawa ke Sumatera atau sebaliknya dapat singgah di Masjid Agung Banten. Masjid ini dibangun oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570).
Corak China tampak pada atap bertumpang lima yang mirip pagoda. Ada pula menara masjid yang kokoh menjulang sebagai khas bangunan Belanda. Corak Jawa terdapat pada struktur dalam masjid yang memakai empat sokoguru.
Masjid ini menjadi tujuan perziarahan umat. Selain bangunan masjid megah dan bersejarah, terdapat pula makam-makam ulama dan keluarga kesultanan di area masjid.
Bergeser ke timur di daerah pantai utara, sampailah di Kota Cirebon. Terdapat Masjid Agung Cirebon yang dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Permaisuri Kesultanan Cirebon, Nyi Ratu Pakungwati, dengan dibantu Wali Songo dan beberapa tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah dari Kesultanan Demak. Masjid ini kerap disebut pula Masjid Sunan Gunung Jati karena terletak di kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati.
Keunikan masjid itu terletak pada corak bangunan khas Hindu yang berbentuk candi. Hal ini disebabkan, pada abad ke-15, agama dan budaya Hindu masih kental di Cirebon.
Masjid ini memiliki kaitan erat dengan Wali Songo. Salah satu peninggalannya tampak pada sokoguru atau tiang utama yang didirikan oleh Sunan Kalijaga. Soko tersebut dibuat dari kepingan-kepingan kayu yang disatukan sehingga dinamakan sokotatal.
Demak-Surabaya
Melanjutkan menyisir jalur pantura, sampailah di Jawa Tengah. Terdapat Masjid Agung Demak, salah satu masjid tertua di Indonesia. Masjid kebanggaan masyarakat Demak ini terletak di sebelah barat alun-alun kota. Posisinya ini mencerminkan tata ruang kota kuno di Jawa. Pola letak yang serupa ditemui di Masjid Agung Kauman di Kota Yogyakarta.
Di dalam Masjid Agung Demak terdapat empat sokoguru penopang struktur utama masjid. Keempat sokoguru diyakini merupakan sumbangan langsung dari empat Wali Songo, yaitu Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, dan Sunan Gunung Jati.
Masjid Agung Demak hingga saat ini selalu ramai dikunjungi orang dari banyak daerah. Keberadaan Tol Semarang-Demak semakin mempermudah akses menuju bangunan bersejarah ini.
Dari Demak, bergerak ke selatan hingga Kota Surakarta. Salah satu masjid istimewa di kota ini ialah Masjid Laweyan yang merupakan warisan Kerajaan Pajang, cikal bakal Kesultanan Mataram.
Masjid tertua di Surakarta itu dibangun pada masa pemerintahan Joko Tingkir tahun 1426. Masjid Laweyan masih memiliki corak khas Hindu karena dalam pembangunannya terdapat latar belakang sejarah akulturasi antara Hindu dan Islam.
Masjid ini terletak di pusat perbelanjaan batik di kawasan Laweyan. Jemaah dan donatur utama masjid sebagian besar saudagar batik. Di dalam area masjid terdapat sejumlah makam keluarga Kasunanan Surakarta yang cukup populer sebagai destinasi penziarahan.
Kemudian, beralih ke Kota Surabaya. Terdapat masjid peninggalan Sunan Ampel. Salah satu sunan Wali Songo ini membangun masjid sekitar tahun 1421. Bangunan masjid terletak sekitar dua kilometer dari Jembatan Merah di jantung Kota Surabaya.
Masjid ini selalu ramai dikunjungi umat Islam terutama pada bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Masjid dapat dikunjungi hingga 10.000 orang per hari. Arsitektur bangunan bercorak Jawa kuno dan bernuansa Arab. Menara masjid turut menjadi ciri khas karena mempertahankan bentuk aslinya.
Kelestarian masjid-masjid bersejarah ini menjadi bagian dari perkembangan peradaban Islam di Tanah Air. Keberadaan masjid-masjid bersejarah di jalur mudik yang kian mudah dijangkau berkat jalan tol, juga menjadi bagian konektivitas dan ingatan perjalanan spiritual manusia untuk kembali ke fitrah dan asal-usulnya. (LITBANG KOMPAS)