”Politisi dapat terbunuh berkali-kali dalam politik. Namun, setelah terbunuh, politisi tersebut tetap dapat bangkit kembali.” Demikian ungkap mendiang Perdana Menteri Inggris Winston Churchill.
Oleh
YOHAN WAHYU
·4 menit baca
Nama Anas Urbaningrum mencuat di panggung politik nasional setelah terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat pada kongres tahun 2010. Terpilihnya Anas sebagai ketua umum partai ini menjadi darah segar bagi regenerasi politik. Hal ini tidak lepas dari usianya yang masih 41 tahun saat terpilih, relatif masih muda jika dibandingkan ketua-ketua umum partai politik lain ketika itu.
Anas bagaikan rising star sebagai politisi muda yang dipercaya memimpin partai politik besar pemenang Pemilu 2009. Namun, karier politiknya di Partai Demokrat tidak bertahan lama. Kasus dugaan korupsi proyek Hambalang menjadi batu sandungan yang mengakhiri langkah politiknya di partai ini.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Hambalang adalah proyek pembangunan pusat pelatihan atlet di bawah Kementerian Pemuda dan Olahraga dengan politisi Partai Demokrat, Andi M Mallarangeng, sebagai menterinya.
Nama Anas mulai disebut mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin pada Agustus 2011. Nazar menyebut Anas Urbaningrum terlibat dalam proyek Hambalang. Sejak saat itulah nama Anas selalu dilekatkan dengan dugaan korupsi proyek Hambalang.
Bak orkestrasi, selain Nazaruddin, nama Anas juga disebut oleh sejumlah karyawan Nazaruddin dalam persidangan kasus ini. Anas pun tegas membantah semua tuduhan tersebut. ”Jika ada satu rupiah pun Anas terima duit Hambalang, gantung Anas di Monas,” begitu ungkapan Anas menanggapi semua tuduhan tersebut.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada akhirnya juga membidik Anas dalam kasus Hambalang ini. Sepanjang tahun 2012, KPK memeriksa Anas. Akibat kasus ini, citra dan elektabilitas Partai Demokrat pun terpuruk. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat kunjungan ke Jeddah, Arab Saudi, pada 5 Februari 2013 meminta KPK segera menyelesaikan kasus Hambalang yang menyeret kader Partai Demokrat, termasuk Anas.
Sepekan setelah pernyataan Presiden SBY, publik digegerkan dengan bocornya surat perintah penyidikan kasus Hambalang yang mencantumkan nama Anas sebagai tersangka. Puncaknya, pada 22 Februari 2013, KPK resmi menetapkan Anas Urbaningrum sebagai tersangka. Sehari setelah ditetapkan sebagai tersangka, politisi muda yang baru memimpin lebih kurang dua tahun itu pun menyatakan berhenti sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Anas menjalani persidangan untuk membuktikan dirinya tidak terlibat dalam kasus yang dituduhkan. Pada 11 September 2014, jaksa penuntut umum menuntut Anas hukuman 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 5 bulan penjara, dan pencabutan hak politik.
Sepekan setelah dituntut, Anas membacakan pleidoi yang berisi sikapnya terhadap dakwaan jaksa yang tidak dapat dibuktikan sehingga secara tidak langsung dakwaan tindak pidana pencucian uang tidak perlu dibuktikan lagi.
Namun, keputusan hakim berkata lain. Pada 24 September 2014, Anas divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan. Anas juga dijatuhi hukuman membayar uang pengganti Rp 57,59 miliar dan 5,22 juta dollar AS atau subsider 2 tahun kurungan. Terkait tuntutan pencabutan hak politik, majelis hakim tidak mengabulkannya karena menilai dalam demokrasi, biarlah keputusan dipilih atau tidak dipilih diserahkan kepada masyarakat.
Dengan wajah tenang saat mendengarkan vonis, Anas berdiri di hadapan majelis hakim dan menyatakan putusan majelis hakim tidak berdasarkan fakta persidangan. Saat itulah kemudian muncul ajakan Anas kepada majelis hakim dan jaksa penuntut umum untuk melakukan sumpah kutukan atau mubahalah, tetapi ajakan ini tidak digubris majelis hakim.
Perlawanan hukum pun dilakukan Anas. Pada 6 Februari 2015, vonis banding pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengurangi hukuman Anas Urbaningrum dari 8 tahun menjadi 7 tahun penjara. Pengurangan hukuman itu dilakukan karena Anas dinilai tidak terlibat langsung dalam proyek Hambalang.
Namun pengurangan hukuman ini tidak bertahan lama. Vonis kasasi Mahkamah Agung pada 8 Juni 2025 menghukum kembali Anas 14 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar subsider 1 tahun 4 bulan kurungan kepada Anas. MA juga menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti senilai Rp 57,59 miliar dan 5.251.070 dollar AS subsider 4 tahun penjara. MA juga mencabut hak politik Anas untuk menduduki jabatan publik.
Setelah vonis kasasi ini, sepekan kemudian Anas resmi dipindah ke Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Dari Bandung, Anas tetap melakukan upaya hukum. Setelah mendekam lebih kurang tiga tahun di Sukamiskin, pada 24 Mei 2018 Anas mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung atas putusan kasasinya pada 8 Juni 2015. Dalam memori PK, Anas memohon agar pencabutan hak politik yang dijatuhkan kepadanya dapat dianulir.
Dua tahun kemudian, putusan PK itu pun keluar. Pada 30 September 2020, Mahkamah Agung mengurangi hukuman Anas dari 14 tahun penjara menjadi 8 tahun penjara. Namun, hak politik Anas untuk menduduki jabatan publik tetap dicabut hakim selama lima tahun beserta denda Rp 3 miliar subsider 3 bulan. Hukuman tambahan berupa pembayaran uang pengganti juga tidak berubah, yakni Rp 57.592.330.580 dan 5.261.070 dollar AS subsider 2 tahun penjara.
Kini, lebih kurang dua tahun setelah putusan PK, Anas sudah bisa menghirup udara bebas. Tepat 11 April 2023, Anas Urbaningrum mulai menjalani tahap cuti menjelang bebas. Anas memang belum bebas murni karena harus lapor ke balai pemasyarakatan sebulan sekali. Namun, hari keluarnya Anas dari Lapas Sukamiskin ini disambut simpatisan dan loyalisnya.
Bagaimana langkah politik Anas setelah kebebasannya? Mungkin hanya Tuhan dan Anas yang tahu. Namun, menarik mengutip pernyataan Akbar Tandjung saat menjenguk Anas jauh hari sebelum Anas ditahan pada 2012. Akbar mengutip ucapan mantan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill, ”Politisi dapat terbunuh berkali-kali dalam politik. Setelah terbunuh, politisi tersebut dapat bangkit kembali.” (LITBANG KOMPAS)