Pada 21 Mei 2023, Timor Leste akan menggelar pemilihan parlemen kelima sejak merdeka 2002. Sebagai salah satu negara terdekat Indonesia, tentu kesuksesan penyelenggaraan pemilihan ini akan berdampak pada Indonesia juga.
Oleh
Reza Felix Citra
·4 menit baca
Negara Timor Leste membentuk republik demokrasi. Hal ini disampaikan secara eksplisit dengan memilih nama resmi negara, yaitu Republik Demokratik Timor Leste atau RDTL. Sampai saat ini, RDTL sudah menyelenggarakan lima kali pemilu presiden dan empat kali pemilu parlemen. Kepala pemerintahan Timor Leste dipegang oleh perdana menteri, sedangkan kepala negara oleh seorang presiden.
Pemilu pemilihan presiden kelima dilakukan pada tahun 2022 lalu dengan kemenangan Jose Ramos Horta melalui sistem dua putaran. Ramos Horta mengalahkan petahana Francisco ”Lu Olo” Guterres dengan perolehan suara 62,09 persen berbanding 37,91 persen. Pada putaran pertama, Ramos Horta juga unggul dengan 46,56 persen suara dibandingkan Lu Olo yang hanya 22,13 persen.
Sesuai aturan perundangan-undangan yang berlaku, karena belum ada pemenang tunggal di putaran pertama, yaitu ada kandidat yang mendapatkan lebih dari 50 persen suara, maka putaran kedua diadakan sebulan setelah putaran pertama dengan berhadap-hadapan dua kandidat yang memiliki suara terbanyak pada putaran pertama.
Angka partisipasi pemilih di Timor Leste pada pilpres putaran kedua 74,38 persen, sedikit menurun dibandingkan putaran pertama yang mencapai 77,26 persen. Jika dibandingkan Indonesia, angka partisipasi saat pilpres 2014 adalah 69,8 persen, tetapi pada pilpres 2019 mencapai 81,9 persen. Jika melihat kondisi Indonesia yang lebih luas dan lebih beragam, seharusnya angka partisipasi di Timor Leste bisa lebih tinggi.
Dalam jumpa pers beberapa hari setelah pemilihan putaran pertama, Ketua Komisi Pengawas Pemilihan Nasional Timor Leste (Komisaun Nasional Eleisaun/CNE) mengakui, masih banyak pemilih yang kehilangan hak suaranya karena tidak tercantum dalam daftar pemilih.
Selain itu, pemilihan luar negeri baru tersedia di lima negara saja, yaitu: Australia, Korea Selatan, Irlandia Utara, Portugal, dan Inggris. Padahal, banyak juga warga negara Timor Leste yang berada di negara lain, termasuk Indonesia.
Hal lain adalah masih terbatasnya jumlah tempat pemungutan suara (TPS) dan jumlah bilik suara yang tersedia. Jumlah yang terbatas untuk sebuah wilayah yang luas menyebabkan pemilih perlu menempuh jarak berpuluh-puluh kilometer untuk mencapai TPS. Untuk menggunakan hak suaranya, pemilih perlu mengeluarkan biaya dan menyediakan waktu yang tidak sedikit.
Dari data Sekretariat Teknis Administrasi Pemilihan Umum (Sekretariadu Tekniku Administrasaun Eleitoral/STAE) untuk pemilihan presiden putaran pertama tahun 2022 yang diolah kembali oleh Kompas, jumlah rata-rata pemilih (dengan asumsi setiap TPS menampung jumlah pemilih yang sama) per distrik berkisar 400 hingga 800 orang.
Lalu cakupan wilayah rata-rata untuk tiap TPS per distrik 2,8 hingga 25 kilometer persegi, yang berarti ada pemilih yang harus menempuh sedikitnya 25 kilometer untuk mencapai tempat pencoblosan.
Total jumlah pemilih pada pilpres putaran pertama tahun 2022 adalah 859.613 orang, sedangkan pada putaran kedua 859.925 orang. Jumlah pemilih terbanyak ada di Distrik Dili, baru kemudian Baucau, Ermera, dan Bobonaro. Jumlah pemilih di empat distrik ini sudah lebih dari 50 persen jumlah total pemilih.
Pada pemilihan presiden tahun lalu, jumlah pemilih dibagi berdasarkan 13 distrik. Namun, untuk pemilihan parlemen tahun ini, Timor Leste sudah menjadi 14 distrik. Distrik baru adalah Atauro, yang merupakan pemekaran dari Distrik Dili.
Atauro merupakan sebuah pulau yang terletak di sebelah utara kota Dili. Namun, jumlah penduduk di Atauro masih tergolong sedikit sehingga jumlah pemilih di empat distrik terbesar masih tetap lebih dari 50 persen jumlah total pemilih.
Pemilu parlemen ini sangat penting karena partai atau koalisi partai pemenang pemilu mempunyai wewenang untuk mengangkat atau menunjuk seorang perdana menteri. Posisi perdana menteri di Timor Leste adalah sebagai kepala pemerintahan, sedangkan presiden menjabat sebagai kepala negara sehingga secara wewenang perdana menteri lebih besar daripada presiden.
Namun, presiden yang merupakan panglima tertinggi militer dapat memveto rancangan undang-undang, membubarkan parlemen, dan menentukan penyelenggaraan pemilu.
Kemenangan Jose Ramos Horta pada pemilihan presiden tahun lalu sedikit banyak akan memengaruhi jalannya pemilu parlemen nanti. Ramos Horta saat itu mendapat dukungan dari Kongres Nasional Rekonstruksi Timor Leste (CNRT), sebuah partai yang dipimpin mantan Presiden Xanana Gusmao.
Perseteruan CNRT dengan Fretelin, partai yang mendukung mantan Presiden Francisco ”Lu-Olo” Guterres, akan kembali mencuat pada pemilihan bulan Mei nanti.
Apakah Xanana berambisi menjadi PM kembali? Keberhasilan Xanana dan partainya, CNRT, memenangkan calonnya di pilpres bisa menjadi indikator pilihan masyarakat terhadap dirinya dan CNRT.
Jika CNRT bisa mempertahankan momentum ini dan meraih kursi mayoritas, maka CNRT atau koalisinya berhak menentukan seorang perdana menteri. Namun, Fretelin sebagai pesaing utama CNRT tentu tidak ingin kalah dua kali. Masih ada waktu bagi Fretelin untuk mengembalikan kepercayaan rakyat, dan bisa kembali mengungguli CNRT pada pemilu parlemen nanti.
Ketegangan politik antara dua partai besar ini sebenarnya sudah lama terjadi. Kedua partai besar ini silih berganti memenangi pemilu parlemen, tetapi tidak pernah secara mutlak. Akibatnya, setelah pemilihan, keduanya perlu membentuk aliansi atau koalisi dengan partai lain agar bisa menjadi mayoritas dalam parlemen.
Jumlah kursi parlemen saat ini adalah 65 kursi. Jadi, untuk menjadi mayoritas, sebuah partai atau koalisi partai perlu mendapatkan minimal 33 kursi.
Persaingan partai juga sangat tergantung pada tokoh-tokoh di belakangnya. Partai menjadi identik dengan tokoh sehingga pemilihan partai masih akan tergantung pada tokoh partai terkait. Belum adanya tokoh-tokoh baru yang menonjol menyebabkan persaingan tokoh masih didominasi muka-muka lama, yaitu tokoh-tokoh gerakan kemerdekaan dulu.
Beberapa tokoh muda yang maju belum mendapatkan dukungan secara nasional. Perlu tokoh-tokoh baru yang dipercaya untuk menduduki posisi strategis sebagai calon pemimpin masa depan.
Harapan akan adanya perubahan selalu membubung tinggi setiap kali dilakukan pemilihan. Namun, belum adanya kepercayaan pada tokoh baru membuat hasil pemilihan seperti mengulangi pemilihan yang terjadi sebelum-sebelumnya.
Di sinilah kedewasaan pemilih Timor Leste diuji. Perlu disadari bahwa situasi yang dihadapi saat ini sudah sangat jauh berbeda dibandingkan dulu. Seyogianya pilihan harus lebih mengedepankan tokoh yang dapat membuat perubahan, baik pandangan maupun pemikiran, agar Timor Leste bisa maju dan berkembang lebih cepat mengatasi ketinggalannya dari negara-negara lain di dunia. (LITBANG KOMPAS)