Sulitnya Mengatasi Baju Bekas Impor yang Tinggi Peminat
Ada sejumlah daya tarik pakaian bekas impor di mata para konsumen. Di antaranya harga relatif murah dan kepantasan ketika mengenakannya. Biasanya produk bermerek terkenal dari luar negeri menjadi incaran konsumen.
Impor komoditas sandang bekas dari luar negeri merupakan tindakan ilegal. Namun, untuk menangkal distribusi produk fashion ilegal ini, tidaklah mudah. Tingginya permintaan dari konsumen, besarnya nilai ekonomi perdagangan, serta lemahnya penegakan hukum menjadikan aktivitas thrifting itu menjadi sulit teratasi.
Geliat pasar produk fashion bekas dari luar negeri sudah sejak lama ada di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan tingginya kebutuhan terhadap komoditas sandang, tetapi tidak disertai dengan ketersediaan finansial yang memadai. Akhirnya, produk-produk pakaian bekas yang layak pakai berharga miring menjadi buruan sebagian masyarakat Indonesia. Selain pakaian, sejumlah produk bekas lainnya, seperti sepatu dan tas, juga sangat diminati oleh konsumen Indonesia.
Tingginya animo tersebut hingga menciptakan sebuah pasar ”khusus” yang menjual berbagai produk impor fashion bekas. Misalnya, di Yogyakarta, terdapat pasar malam di area parkir Pasar Beringharjo yang dikenal oleh warga Yogyakarta dengan nama Pasar Senthir. Pakaian bekas dan sepatu bekas menjadi salah satu dagangan yang tidak pernah absen di antara beragam barang bekas yang dijajakan.
Di daerah lainnya, bahkan ada pasar pakaian impor bekas yang berdiri secara permanen dan masif. Medan, Sumatera Utara, merupakan salah satu surganya pakaian bekas impor. Terdapat beberapa pasar besar yang mayoritas berdagang pakaian bekas, yaitu Pasar Simalingkar, Pasar Sambu, Pasar Melati, dan Pasar Monza Suakramai.
Sebagian besar pasar tersebut menampung banyak pedagang dengan pengalaman berniaga yang panjang. Misalnya saja di Pasar Simalingkar yang di dalamnya terdapat 150-200 kios penjual pakaian bekas (Kompas, 22/3/2023). Para pedagang tersebut sudah menjajakan pakaian impor bekas selama puluhan tahun, bahkan ada yang sudah lebih dari 20 tahun.
Baca juga: Larangan Impor Pakaian Bekas, Upaya Beralih ke Produk Lokal
Selain Medan, daerah lain yang juga sangat kondang memiliki pasar pakaian bekas adalah Jakarta yang berlokasi di Pasar Senen dan Kota Solo yang berada di Pasar Notoharjo. Selain itu, ada pula di Kota Surabaya yang terpusat di Pasar Pagi Tugu Pahlawan dan Pasar Gembong Tebasan. Maraknya pasar impor pakaian bekas ini tidak hanya berada di kota-kota besar, tetapi juga mulai merambah di kota-kota kecil. Salah satunya di Pasar Legi Parakan yang berada di Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung.
Minat dan tren ”thrift”
Animo masyarakat Indonesia dengan baju impor bekas kemungkinan besar sudah berlangsung lama sejak puluhan tahun silam dan terjadi secara merata di seluruh daerah. Salah satu indikasinya terlihat dari minat masyarakat terhadap beli-jual sejumlah barang-barang bekas pakai.
Jajak pendapat Litbang Kompas yang dilakukan pada 19-21 Juli 2021 mengungkap pola perilaku publik dalam transaksi jual-beli barang bekas. Hasil jajak pendapat yang melibatkan 502 responden di 34 provinsi itu menunjukkan bahwa komoditas yang paling diminati di pasar barang second adalah kendaraan (18,6 persen), pakaian (16,8 persen), dan barang elektronik (14,6 persen).
Salah satu temuan menarik dari jajak pendapat itu adalah fenomena aktivitas menjual atau menawarkan barang bekas yang dilakukan oleh sebagian responden. Sebesar 10,3 persen responden mengaku pernah menjual kendaraan bermotor, 15 persen responden lainnya pernah menjual barang elektronik, dan ada 1,2 persen responden yang pernah menjual pakaian bekas.
Deskripsi tersebut mengindikasikan bahwa jual-beli barang bekas khususnya pakaian memang sumber asalnya sebagian besar dari luar negeri. Hanya kecil sekali kemungkinannya komoditas fashion bekas itu disuplai dari sesama pedagang dari dalam negeri. Dengan pengakuan responden yang sangat minim dalam menjual pakaian bekasnya, kian menegaskan bahwa komoditas di pasaran saat ini tidak diisi oleh produk lokal, tetapi produk hasil impor.
Apabila ditilik dari segi trennya, pasar pakaian bekas saat ini kian menjamur di platform daring (online). Etalase penjualan daring ini sudah menggeser tren sebelumnya yang masih mengandalkan bangunan fisik toko. Fenomena penjualan daring ini berkembang secara signifikan saat pandemi Covid-19 merebak pada awal tahun 2020.
Jejak tren minat masyarakat Indonesia terlihat dari data Google Trends terkait kata kunci ”thrift”, ”thrifting”, dan ”baju bekas”. Pada periode April 2014 hingga Maret 2023 muncul pola tren yang menarik untuk dicermati. Pertama kata kunci ”thrift” dan ”thrifting” baru mulai melonjak pada April-Juni 2020. Jendela waktu ini bertepatan dengan fase awal Pandemi Covid-19.
Pada masa pandemi itu pemerintah memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat, maka aktivitas perdagangan yang tidak menjual kebutuhan pokok harus dibatasi sehingga aktivitas masyarakat menurun drastis. Oleh karena itu, berbagai aktivitas pedagang beralih pada platform digital.
Baca juga: Pengawasan Impor Perlu Diperketat
Bila kata kunci ”thrift” dan ”thrifting” mulai tenar pada masa pandemi, berbeda halnya dengan tren kata kunci ”baju bekas” yang cenderung sudah konsisten tinggi sejak April 2014 hingga saat ini.
Perbandingan di antara tiga data tren ini menunjukkan bahwa animo masyarakat terhadap pakaian bekas impor di ranah daring sejatinya sudah sangat tinggi. Kata kunci ”thrift” dan ”thrifting” yang populer belakangan bahkan ikut memompa popularitas pasar pakaian bekas yang sudah tenar sejak beberapa tahun silam.
Nilai ekonomi
Ada sejumlah daya tarik pakaian bekas impor di mata para konsumennya. Di antaranya karena harga yang relatif terjangkau dan kepantasan ketika mengenakannya. Tidak semua pakaian bekas itu dijual dengan harga relatif murah di kisaran puluhan ribu rupiah saja, tetapi ada pula yang dibanderol hingga seharga ratusan ribu rupiah.
Biasanya produk dengan jenama (merek) luar negeri yang terkenal menjadi incaran konsumen. Logikanya, daripada membeli produk imitasi dengan kondisi baru lebih baik membeli produk bekas, tetapi asli. Kata kunci ”bekas original” menjadi salah satu nilai jual produk pakaian bekas impor.
Pada titik ini, konsumen tidak hanya sekadar membeli pakaian dengan harga murah. Namun, lebih pada gaya hidup berpakaian berlabel mentereng dengan harga enteng di kantong. Hal ini menjadi salah satu poin penting yang dicari oleh konsumen.
Fenomena tersebut memang secara hukum ekonomi memang bersifat efisien atau penghematan bagi konsumen. Namun, bagi pemerintah dan pengusaha tekstil, tren ”thrifting” ini berpotensi besar merugikan perekonomian negara. Pengusaha tidak mampu bersaing dengan produk bekas impor sehingga terjadi penurunan produksi dalam negeri yang berimbas pada minimnya besaran pajak yang diberikan kepada negara.
Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya membendung arus perdagangan komoditas ilegal tersebut agar tidak mematikan perekonomian domestik. Pihak Bea Cukai dan sejumlah instansi terkait terus berusaha membendung masuknya produk fashion tersebut ke Indonesia. Selain itu, juga bermediasi dengan pedagang pakaian bekas di pasar-pasar besar untuk menghabiskan stok dagangan dan melarang menjual produk ilegal tersebut di kemudian hari.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja menyatakan bahwa fenomena impor pakaian bekas sudah berlangsung sejak lama. Namun, mulai menjamur lagi 1-2 tahun belakangan ini. Bahkan, kini menjajakannya secara terang-terangan di berbagai situs e-dagang dan media sosial. Jemmy juga menyampaikan bahwa fenomena ini mengganggu penjualan produk tekstil kelompok UMKM karena keduanya bersaing di pasar menengah ke bawah (Kompas, 14/3/2023).
Baca juga: Tren ”Thrifting” Meningkat, Batam Kewalahan Tangkal Penyelundupan Pakaian Bekas
Selain mengganggu sektor UMKM, impor pakaian bekas itu juga berpotensi merugikan perekonomian negara. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki menyebutkan rerata potensi nilai impor pakaian ilegal dalam lima tahun terakhir mencapai hampir Rp 100 triliun per tahunnya. Ia mengungkapkan pakaian impor ilegal membanjiri 31 persen pasar di dalam negeri.
Teten juga menyampaikan bahwa nilai impor pakaian ilegal 2018 mencapai Rp 89,37 triliun. Pada 2019 nilainya Rp 89,06 triliun dan melonjak menjadi Rp 110,28 triliun pada 2020. Kemudian, pada 2021 angkanya mencapai Rp 103,68 triliun dan di 2022 mencapai Rp 104,41 triliun (Kompas, 29/3/2023).
Aturan dan data
Semakin manambah kerugian negara, meningkatnya nilai impor pakaian ilegal juga berpotensi besar mengimpit sektor industri tekstil dalam negeri. Oleh karena itu, pemerintah menerbitkan regulasi untuk mengatasi fenomena impor pakaian bekas ini sejak tahun lalu. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 2022 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
Larangan impor secara khusus tertuang pada Lampiran bagian IV pada kelompok barang jenis kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas utamanya dengan pos tarif atau kode HS 6309.00.00. Ketika ditelusuri melalui situs Badan Pusat Statistik (BPS), ditemukan data dengan kode HS tersebut mengalami peningkatan drastis pada periode 2014 dan mencapai puncaknya pada 2019. Selanjutnya, turun signifikan di masa pandemi dan kembali naik di tahun 2022.
Baca juga: Pemerintah Sodorkan Solusi bagi Penjual Baju Bekas Impor
Data impor komoditas dari BPS menunjukkan bahwa pakaian bekas yang tercatat masuk ke Indonesia mencapai 416 ribu ton pada 2019 dengan nilai ekonomi Rp 84,3 miliar. Angka tersebut terpaut jauh dibandingkan dengan catatan di tahun 2014 dengan jumlah barang masuk 23,7 ton senilai Rp 1,1 miliar. Sementara itu, data tahunan terbaru, yakni periode 2022, tercatat ada 26,2 ton pakaian bekas impor yang masuk ke Indonesia dengan nilai Rp 4,3 miliar.
Selain menggambarkan tren masuknya barang impor, data tersebut ternyata juga menghadirkan sejumlah catatan penting yang mengarah pada indikasi pemalsuan dokumen. Pasalnya, ditemukan praktik kecurangan importir yang menyelipkan pakaian impor bekas di antara komoditas lainnya sehingga tidak tampak pada dokumen impor.
Selain itu, ada keterbatasan lokasi pencatatan yang hanya dari 10 pintu masuk internasional, yaitu 8 bandar udara dan 2 pelabuhan. Hal lainnya yang menambah kecurigaan adalah tidak adanya keterangan terkait pakaian bekas yang masuk ke Indonesia. Pakaian tersebut merupakan bawaan pribadi yang tercatat sebagai pakaian bekas pakai ataukah pakaian bekas yang akan diperdagangkan di dalam negeri.
Dengan demikian sulit untuk berpijak dengan data dari BPS untuk melihat skala gelombang pakaian impor bekas yang sesungguhnya. Selain itu, dari aspek penegakan hukum oleh pemerintah dan lembaga terkait belum tampak membuahkan hasil. Pasalnya, pemberantasan yang dilakukan oleh aparat negara acapkali baru ramai mencuat ketika menjelang momen Lebaran atau ketika ada gugatan dari industri tekstil dalam negeri. (LITBANG KOMPAS)