Indonesia dan ASEAN, di Persimpangan Kekuatan AUKUS dan China
Posisi Indonesia dan ASEAN sangat penting dalam menjaga keharmonisan di antara persimpangan kekuatan besar AUKUS dan China.
Indonesia dan ASEAN berada di persimpangan kekuatan pertahanan militer dan ekonomi kuat di dunia. Terbentuknya pakta pertahanan trilateral AUKUS dan menguatnya dominasi China menuntut ASEAN bersikap bijak demi menjaga kondusivitas kawasan Indo-Pasifik.
Pada September 2021, Amerika Serikat, Inggris, dan Australia menyepakati membentuk pakta pertahanan baru bernama AUKUS. Nama pakta ini merupakan akronim dari ketiga anggota aliansi, yaitu Australia, United Kingdom, dan United States. Aliansi pertahanan ini menjalin kerja sama di sejumlah bidang, seperti kecerdasan buatan, perang dunia maya, kemampuan pertahanan bawah air, dan kemampuan serangan jarak jauh.
Kerja sama ketiga negara itu disinyalir untuk melawan pengaruh kekuatan China di kawasan Indo-Pasifik. Menurut jurnal ”AUKUS Peluang dan Kendala bagi Indonesia (2021)” karya Lukman Yudho Prakoso dari Universitas Pertahanan, melalui AUKUS, AS dan Inggris akan membantu Australia mengembangkan dan mengerahkan kapal-kapal selam bertenaga nuklir di kawasan Pasifik.
Sebagai langkah awal, kerja sama ini berfokus pada pembangunan kapal selam bertenaga nuklir untuk Angkatan Laut Australia. Artinya, dengan kerja sama ini, Australia akan menjadi negara ketujuh di dunia yang mengoperasikan kapal selam bertenaga nuklir. Teknologi pembuatan kapal selam bertenaga nuklir nantinya akan diberikan AS seperti yang telah diberikan negeri AS kepada Inggris.
Teknologi submarine tersebut sangat memungkinkan bagi Australia untuk memiliki kapal selam yang melaju lebih cepat dan lebih sulit dideteksi daripada armada kapal selam konvensional. Kapal selam bertenaga nuklir ini sangat memungkinkan menyelam selama berbulan-bulan dan bisa menembakkan misil dengan jarak lebih jauh. Meski demikian, Australia menegaskan tak berniat memasang hulu ledak nuklir pada misil kapal selam itu.
Baca juga: Tidak Berdaya Menolak AUKUS
Langkah ketiga negara sekutu tersebut secara tidak langsung telah menunjukkan posisi pilihan politik internasionalnya di kawasan Indo-Pasifik. Walaupun tidak secara gamblang menyebut kekuatan dan kehadiran China di kawasan itu, ketiga pemimpin negara tersebut berulang kali merujuk kerisauan pada keamanan kawasan yang ”berkembang secara signifikan”. Situasi ini menjadi peluang bagi ketiga negara AUKUS berikut para sekutunya melindungi nilai-nilai bersama serta mempromosikan keamanan dan kesejahteraan di kawasan Indo-Pasifik.
Konflik Indo-Pasifik
Dalam beberapa tahun terakhir sering kali terdengar berbagai konflik di kawasan Indo-Pasifik yang pada akhirnya melibatkan sejumlah kekuatan besar dunia meski tidak secara langsung. Misalnya, konflik perebutan batas wilayah di Laut China Selatan serta konflik Selat Taiwan antara China dan Taiwan. Sebagian besar ketegangan itu pada akhirnya melibatkan kekuatan besar China dan AS walau di balik layar.
Situasi tersebut menjadi tantangan besar bagi negara-negara ASEAN untuk menjaga kondusivitas kawasan. ASEAN harus mampu menjaga keamanan dan stabilitas wilayahnya meskipun beberapa negara anggota ASEAN juga turut terlibat perseteruan dengan China di wilayah Laut China Selatan. Sebut saja Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Indonesia yang masih bersengketa dengan klaim China terhadap nine dashline di Laut China Selatan.
Walaupun sejumlah batas negara di Laut China Selatan sudah diakui oleh aspek hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982, China tampaknya tidak mau mengakui aspek legalitas itu. Hal ini membuat Laut China Selatan masih menimbulkan riak konflik sekaligus membutuhkan sejumlah upaya diplomasi guna mengatasi perbedaan pendapat itu.
Langkah ini sangat penting guna menghindari konflik di lapangan, baik bagi aparat negara yang bertugas maupun bagi nelayan yang tengah menangkap hasil laut. Pasalnya, klaim sembilan garis putus-putus China ini menguasai sekitar 80 persen wilayah Laut China Selatan.
Meskipun demikian, pilihan untuk berkonflik secara terbuka dengan China yang melibatkan angkatan bersenjata setiap negara bersengketa bukanlah solusi yang tepat. Selain terkait dengan masifnya kekuatan pertahanan militer China, langkah konflik ini juga tidak sesuai dengan upaya dan nilai-nilai yang dibangun ASEAN di kawasan Indo-Pasifik. Publikasi ASEAN Outlook on the Indo-Pacifik menyebutkan, ASEAN berkepentingan untuk membentuk perdamaian, keamanan, stabilitas, dan kemakmuran bagi bangsa-bangsa di Asia Tenggara dan di wilayah Asia Pasifik serta Samudra Hindia yang lebih luas atau Indo-Pasifik.
Baca juga: Indonesia Diminta Lebih Tegas soal Aliansi Militer AUKUS
Ada sejumlah pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik yang mengacu pada Piagam ASEAN dan sejumlah dokumen yang relevan. Di antaranya tentang perspektif melihat kawasan Asia Pasifik dan Samudra Hindia, bukan sebagai ruang teritorial yang bersebelahan, melainkan sebagai kawasan yang terintegrasi dan saling berhubungan erat sehingga ASEAN dapat memainkan peran sentral dan strategis.
Pandangan berikutnya adalah ASEAN sebagai kawasan dialog dan kerja sama Indo-Pasifik serta ASEAN sebagai kawasan pembangunan dan kemakmuran untuk seluruh Indo-Pasifik. Di samping itu, mengusung pandangan pentingnya domain dan perspektif maritim dalam perkembangan arsitektur kawasan. Pandangan terakhir ini salah satunya bertujuan mencegah munculnya konflik domain wilayah karena berbedaan perspektif.
Pandangan-pandangan tersebut mengindikasikan bahwa ASEAN lebih cenderung memilih jalan perdamaian serta lebih menekankan pada skema kerja sama di kawasan Indo-Pasifik demi menciptakan stabilitas dan kemakmuran bersama. Hal itu menjadi langkah besar yang akan diupayakan Indonesia yang pada 2023 ini menjabat ketua ASEAN.
Mengusung tema ”ASEAN Matters: Epicentrum of Growth”, keketuaan Indonesia mendorong ASEAN relevan dan penting tidak hanya bagi rakyat Indonesia, tetapi juga bagi rakyat ASEAN dan di luar ASEAN. Di samping itu, mendorong ASEAN sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan bahkan bertumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain di luar ASEAN.
Dengan visi dan misi tersebut, tidak ada kata lain bagi Indonesia selain menciptakan stabilitas kawasan ASEAN dan Indo-Pasifik secara luas. Peningkatan intensitas konflik atau kecurigaan atas terbentuknya aliansi AUKUS itu harus mampu direndam dan ditengahi agar tidak memicu konflik dan menimbulkan penekanan soft power dari China yang dapat berimbas merugikan bagi banyak negara.
China
Ketegangan geopolitik dengan China dapat berdampak buruk bagi perekonomian suatu negara dan kawasan. Pasalnya, China memiliki valuasi ekspor terbesar di seluruh dunia yang secara tidak langsung menggambarkan betapa kuatnya daya tawar yang dimiliki China. Sebagian besar negara di dunia memiliki ketergantungan yang sangat tinggi pada sejumlah komoditas impor dari China. Dengan demikian, China dapat menggunakan peluang ini sebagai softpower untuk kepentingan geopolitik internasionalnya.
Baca juga: Australia: AUKUS Bukan Pengkhianatan terhadap ASEAN
Bahkan, negara-negara yang tergabung dalam pakta AUKUS juga memiliki ketergantungan yang tinggi dari China. Berdasarkan data oec.world pada 2021, AS memiliki ketergantungan impor terhadap China sekitar 19 persen atau senilai lebih dari 500 miliar dollar AS. Hal serupa terjadi dengan Inggris dan Australia yang juga memiliki permintaan impor yang tinggi dari China dengan besaran setiap negara 12,7 persen dan 27,9 persen. Nilai impor komoditas dari China di Inggris dan Australia masing-masing mencapai lebih dari 70 miliar dollar AS.
Di ketiga aliansi AUKUS tersebut, impor dari China mendominasi dari seluruh impor yang diadakan di negara bersangkutan. Artinya, ada sejumlah komoditas yang sangat dibutuhkan untuk menjalankan roda perekonomian di ketiga negara itu. Sebagian besar komoditas yang diimpor negara-negara itu dari China adalah produk-produk komputer dan elektronik.
Kondisi ini memberikan gambaran apabila terjadi ketegangan antara AUKUS dan China, kemungkinan besar akan ada gangguan pada pasokan sejumlah komoditas tersebut. Bahkan, dapat berimbas pada sektor usaha di negara bersangkutan karena peranti komputer, elektronik, dan digitalisasi sangat penting untuk pengembangan usaha di sektor jasa.
Besarnya penguasaan ekonomi China itu dapat sebagai ruang ancaman soft power, tetapi juga dapat dimaknai sebagai ruang untuk bernegosiasi. Bagi ASEAN, China merupakan mitra penting dalam perdagangan internasional. Pangsa impor China di negara-negara ASEAN sekitar 36 persen atau senilai lebih dari 450 miliar dollar AS. Nominal ini sangat besar bagi sebuah transaksi perekonomian sehingga dapat menjadi ruang diplomasi bagi ASEAN dan China untuk bernegosiasi di banyak hal, baik di bidang ekonomi maupun non-ekonomi.
Tingginya belanja impor dari China ini dapat menjadi jembatan bagi negara-negara ASEAN untuk merundingkan sejumlah sengketa atau persoalan yang melibatkan China. Meski itu tidak mudah, setidaknya ada ruang berunding guna mengatasi persoalan sekaligus menjaga kelangsungan perdagangan yang besar bagi China.
Peluang ini juga dapat digunakan oleh Indonesia yang kebetulan juga memiliki hubungan perdagangan yang besar dengan China. Apalagi, dengan posisi Indonesia yang saat ini menjadi ketua ASEAN, menjaga keharmonisan dengan China merupakan langkah strategis guna menciptakan stabilitas ekonomi di kawasan.
Dengan mengedepankan semangat dan nilai-nilai yang dibangun ASEAN, Indonesia dapat turut serta menciptakan perdamaian dan kerukunan di kawasan Asia Tenggara dan wilayah di sekitarnya. Kedekatan Indonesia dengan negara-negara sekutu, termasuk dengan aliansi AUKUS, dapat menjadi jembatan untuk terus menjaga stabilitas kawasan Indo-Pasifik agar tak terjadi eskalasi ketegangan antara blok sekutu dan China. Posisi Indonesia dan ASEAN sangat penting untuk menjaga keharmonisan di antara persimpangan kekuatan besar tersebut. (LITBANG KOMPAS)