Mayoritas responden jajak pendapat Litbang "Kompas" menilai baik kinerja pemerintahan desa di tempat mereka berada. Namun, mayoritas responden juga tegas menolak wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa.
Oleh
RANGGA EKA SAKTI/ LITBANG KOMPAS
·5 menit baca
Publik mengapresiasi kinerja dan pengabdian kepala desa dalam membangun wilayahnya dan memajukan kesejahteraan warga. Namun, mereka juga menilai tuntutan penambahan masa jabatan kepala desa belum perlu diterapkan. Selain karena khawatir rawan terjadi penyelewengan, tuntutan ini dikhawatirkan dipolitisasi jelang gelaran Pemilu 2024.
Persepsi publik soal belum perlunya perpanjangan masa jabatan kepala desa tersebut terekam dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas akhir Februari 2023. Hasil survei ini menunjukkan, bagian terbesar responden (65,2 persen) tidak setuju dengan tuntutan penambahan masa jabatan kepala desa hingga sembilan tahun, dari sebelumnya enam tahun.
Dengan tuntutan menjabat nyaris satu dekade, kekuatan pemimpin desa bisa makin mendekati absolut. Selaras dengan adagium John Dalberg-Acton, kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut. Hal inilah yang jadi kekhawatiran utama publik, terutama dari kelompok responden yang menolak tuntutan perpanjangan masa jabatan kepada desa. Setidaknya, 60,5 persen responden yang menolak perpanjangan masa jabatan khawatir hal ini akan berujung pada penyelewengan dalam pemerintahan desa.
Dalam konteks yang lebih luas, momentum munculnya wacana ini juga menimbulkan pertanyaan di benak publik. Pasalnya, rencana perpanjangan masa jabatan tersebut mulai menggema ketika tahapan Pemilu 2024 sedang berjalan. Tak ayal, sekitar 10 persen dari kelompok responden yang menolak perpanjangan masa jabatan kepada desa khawatir kebijakan ini berpotensi dipolitisasi untuk kepentingan elektoral di pemilu mendatang.
Apresiasi kinerja
Meskipun publik secara tegas menolak perpanjangan masa jabatan kepala desa, tetapi mereka juga mengapresiasi kinerja kepala desa. Secara umum, tiga perempat responden menyatakan puas dengan kinerja pemerintahan desa dan kelurahan. Bahkan, sekitar seperlima di antaranya mengaku sangat puas dengan kinerja mereka.
Ditilik lebih lanjut, tingkat kepuasan ini relatif sama, baik responden dari daerah perkotaan maupun perdesaan. Di wilayah perkotaan, tingkat kepuasan terhadap lurah dan jajarannya sedikit lebih tinggi di angka 75 persen. Sementara tingkat kepuasan terhadap kepala desa di perdesaan tak terpaut jauh di kisaran 70 persen.
Tak heran, kinerja bukan jadi alasan utama penolakan terhadap wacana penambahan masa jabatan ini. Berdasarkan hasil survei, tak sampai seperlima dari responden yang tak setuju dengan wacana itu karena merasa perangkat desa yang menjabat di tempatnya tinggal saat ini, tak bekerja dengan baik.
Di sisi lain, baiknya kinerja jadi alasan bagi kelompok responden yang setuju dengan wacana penambahan jabatan. Sebanyak 40 persen dari responden dalam kategori ini mengaku setuju dengan tuntutan penambahan masa jabatan kepala desa karena merasa perangkat desa yang kini menjabat sudah bekerja baik. Selain itu, 8,8 persen responden lainnya mengaku setuju karena sudah memiliki kedekatan personal dengan para perangkat desa di lingkungannya.
Bagi masyarakat, keberlanjutan pembangunan desa menjadi hal yang paling penting. Hal ini salah satunya tecermin dari kelompok responden yang setuju dengan wacana perpanjangan masa jabatan. Sebanyak 43,5 persen responden sepakat dengan rencana ini karena berharap pembangunan desa bisa berjalan dengan baik.
Meskipun begitu, publik juga menghendaki adanya estafet dalam upaya pembangunan desa. Bagi mereka, sebaik-baiknya perangkat desa yang menjabat, tongkat kepemimpinan harus tetap dilanjutkan agar kekuatan politik tak terpusat di segelintir orang saja. Hal ini penting dilakukan untuk meminimalisasi risiko penyelewengan pemerintahan desa.
Selain dari alasan penolakan publik, risiko penyelewengan tersebut sebetulnya juga bisa dilihat dari rekam jejak pengelolaan dana desa. Selama ini, pemerintah telah membantu para penyelenggara desa dengan dana terbilang besar. Pemerintah pada 2023 akan menggelontorkan dana desa Rp 70 triliun. Angka tersebut naik dari sebelumnya Rp 68 triliun.
Hanya, anggaran yang ditransfer ke desa ini belum semuanya dikelola secara akuntabel. Hasil survei menunjukkan, tak sampai separuh dari responden yang mengaku pengelolaan dana desa di tempat mereka tinggal sudah transparan. Bahkan, sekitar 46,1 persen dari responden mengaku pengelolaan dana desa tersebut masih belum transparan.
Di sisi lain, masyarakat melihat dana yang diberikan pemerintah pusat sudah cukup besar. Lebih dari separuh responden (55,4 persen) menilai besaran dana desa yang diberikan pemerintah pusat sudah cukup memadai untuk membangun desa. Bahkan, sekitar sepersepuluh dari mereka yakin jumlah yang diberikan sangat mencukupi.
Preseden korupsi
Kekhawatiran publik soal potensi penyelewengan pemerintahan daerah dan kegelisahan mereka soal transparansi dana desa sebetulnya bukan tanpa dasar. Data Indonesia Corruption Watch atau ICW menunjukkan, dana desa yang digelontorkan pemerintah selama 2015-2021 mencapai Rp 400,1 triliun. Selama periode itu terjadi 592 kasus korupsi di tingkat desa dengan 729 tersangka. Akibat praktik korupsi itu, kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar (Kompas.id, 15/3/2023).
Berpijak dari hal itu, tuntutan penambahan masa jabatan bagi kepala desa ini juga membawa risiko cukup besar. Memperpanjang masa jabatan di tengah akuntabilitas yang belum optimal sama saja membuka ruang terjadinya penyelewengan jabatan dan korupsi.
Terlebih lagi, masa jabatan bagi kepala desa yang diatur oleh peraturan perundang-undangan tidaklah sebentar. Berdasarkan Pasal 39 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, masa jabatan kepala desa diatur selama enam tahun dan dapat menjabat paling banyak tiga periode selama berturut turut atau tidak berturut-turut.
Periode masa jabatan kepala desa ini relatif lebih panjang dan longgar dibandingkan masa jabatan dari sejumlah jabatan publik lainnya, terutama di eksekutif, baik wali kota, bupati, gubernur, maupun presiden hanya lima tahun dalam satu periode dan dibatasi maksimal dua periode saja.
Aturan terkait masa jabatan kepala desa ini sempat diajukan uji materi ke MK agar disamakan dengan jabatan publik lainnya, yakni lima tahun dalam satu periode dan maksimal dua periode masa jabatan. Namun, Mahkamah Konstitusi menegaskan, masa jabatan kepala desa dan berapa periode kepala desa bisa menjabat merupakan kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. MK menolak permohonan uji materi tersebut (Kompas, 31/3/2023).
Publik juga berharap jangan sampai tuntutan penambahan masa jabatan kepala desa ini justru mengganggu upaya pembangunan di desa. Untuk itu, menjadi relevan pesan dari Presiden Ke-5 RI Megawati Soekarnoputri pada Peringatan Sembilan Tahun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa di Gelora Bung Karno, Jakarta pertengahan Maret lalu. ”Jika sudah terpilih nanti, para kepala desa harus benar-benar memikirkan nasib rakyat di daerah. Jangan korupsi, harus jujur,” kata Megawati yang hadir dalam kapasitas sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (Kompas, 20/3/2023).
Pada akhirnya pembuktian kinerja kepala desa menjadi pintu untuk memberikan pesan kepada publik bahwa pembangunan, kesejahteraan, dan kemajuan desa menjadi prioritas kerja-kerja pemerintahan desa. Tentu, kinerja itu harus dibarengi komitmen menjaga integritas dan profesionalitas demi menjaga kepercayaan publik.