Langkah China dan Rusia untuk Menyeimbangkan Geopolitik Dunia
China sebagai salah satu negara berkekuatan ekonomi terbesar dan militer terkuat di dunia sudah mulai menginisiasi langkah damai untuk Ukraina. Kini, semua berada di tangan sekutu NATO untuk menyikapi hal ini.
Oleh
Budiawan Sidik A
·5 menit baca
AP/XINHUA/SHEN HONG
Dalam foto yang dirilis Kantor Berita Xinhua ini, Presiden China Xi Jinping (kiri) berjabat tangan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin sebelum pembicaraan mereka di Kremlin, Moskwa, pada Senin, 20 Maret 2023. Putin dengan hangat menyambut Jinping ke Kremlin dengan mengirimkan utusan yang kuat pesannya kepada para pemimpin Barat bahwa upaya mereka untuk mengisolasi Moskwa atas pertempuran di Ukraina telah gagal.
China dan Rusia sepertinya tengah berupaya menyeimbangkan kekuatan geopolitik global yang saat ini didominasi oleh kekuatan negara-negara barat. Kedua negara emerging market ini berupaya membangun kerja sama di berbagai bidang untuk meningkatkan ”daya tawar” dengan negara-negara maju yang menjadi sekutu Amerika Serikat.
Kehadiran Presiden Rakyat China (RRC) Xi Jinping ke Moskwa atas undangan Presiden Rusia Vladimir Putin pada 20 Maret 2023 lalu mengindikasikan bahwa kedua negara ini berupaya menginisiasi multilaterisme alternatif dari sistem lama yang didominasi Amerika Serikat (AS) berikut sekutunya. Kedua negara berkomitmen untuk membangun sejumlah kerja sama untuk menciptakan ”kiblat” penyeimbang kekuatan baru di kancah global.
Ada sejumlah dokumen yang disepakati oleh kedua negara dan ditandatangi oleh masing-masing presiden. Hasil pembahasan dituangkan dalam dua pernyataan bersama yang ditandatangani Xi Jinping dan Putin di Moskwa pada 21 Maret lalu.
Dokumen pertama adalah Pernyataan Bersama Republik Rakyat China dan Federasi Rusia tentang Pendalaman Koordinasi Kemitraan Strategis Komprehensif untuk Era Baru. Dokumen kedua adalah Pernyataan Bersama Presiden RRC dan Presiden Federasi Rusia tentang Rencana Pembangunan Pra-2030 pada Prioritas Kerja Sama Ekonomi China-Rusia.
Kedua pernyataan bersama itu menggambarkan komitmen kedua negara untuk memperdalam kerja sama di bidang ekonomi, seperti industrialisasi, pembangunan megaproyek, penguatan rantai pasok, energi, dan inovasi teknologi. Kedua negara juga menyentuh isu perang Ukraina. Kedua pemimpin menyepakati dialog perdamaian sebagai satu-satunya solusi. (Kompas.id, 23/3).
Usulan damai China
Solusi perdamaian yang ditawarkan China untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina mendapat respons positif dari Vladimir Putin. Pada Februari lalu, bertepatan dengan setahun perang di Ukraina, China mengajukan usulan konstruktif dalam Inisiatif Keamanan Global yang berisi 12 poin proposal perdamaian terkait konflik Rusia-Ukraina.
Ke-12 proposal itu terdiri dari menghormati kedaulatan semua negara, meninggalkan mentalitas perang dingin, menghentikan permusuhan, melanjutkan pembicaraan damai, dan menyelesaikan krisis kemanusiaan. Selain itu, juga melindungi warga sipil dan tawanan perang, menjaga keamanan PLTN, mengurangi risiko strategis, memfasilitasi ekspor biji-bijian, menghentikan sanksi sepihak, menjaga stabilitas industri dan rantai pasok, serta rekonstruksi pascakonflik.
Xi Jinping dan Putin Sepakati Dialog Perdamaian sebagai Solusi Akhiri Perang
Usulan tersebut memang sangat “meringankan” beban Rusia terkait konfliknya dengan Ukraina yang memicu sejumlah intervensi kekuatan geopolitik dunia. Dukungan dari Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) kepada Ukraina di bidang persenjataan dan juga keuangan membuat jalannya peperangan berjalan alot dan panjang. Pengenaan sanksi embargo kepada Rusia dari negara-negara Uni Eropa berikut sekutunya tidak juga menumbangkan Rusia untuk segera mengakhiri invasinya ke Ukraina.
Bila hal tersebut tidak segera diakhiri, yang terjadi adalah ketidakpastian ekonomi yang disebabkan gangguan rantai pasok sejumlah komoditas penting dunia. Apalagi, kedua negara yang berkonflik ini memiliki komoditas penting yang sangat berguna menjaga stabiltas harga dunia. Rusia sebagai salah satu produsen energi terbesar secara global dan Ukraina sebagai produsen komoditas gandum yang dibutuhkan banyak negara. Jadi, berakhirnya konlik tersebut sangat besar pengaruhnya bagi stabilitas makroekonomi dunia.
Sayangnya, upaya damai tersebut tampaknya masih jauh dari harapan. Presiden Ukraina Zelenskyy masih meminta bantuan alutsista kepada sejumlah negara-negara sekutu NATO untuk mengantisipasi dan mengimbangi serangan militer Rusia. Negara-negara NATO pun tampaknya antusias untuk mendukung perjuangan Ukraina demi memenangi pertempuran.
Sikap Ukraina dan NATO tersebut mencerminkan bahwa sistem lama yang dikembangkan sekutu dalam menghadapi perang dingin beberapa tahun silam masih diberlakukan hingga sekarang. Padahal, Uni Soviet sendiri (USSR) yang menjadi lawan terbesar NATO dalam konflik perang dingin itu telah tumbang pada tahun 1991 silam. Cara-cara lama blok sekutu yang cenderung memperluas pegaruhnya ke sejumlah negara-negara Eropa saat ini tentu saja akan cenderung kontraproduktif bagi upaya damai dalam konflik Rusia-Ukraina tersebut. Bahkan, bila tidak segera dihentikan kemungkinan akan merembet menjadi konflik yang lebih luas lagi dan melibatkan pertempuran dengan banyak negara.
Oleh sebab itu, 12 poin proposal perdamaian yang ditawarkan China terkait konflik Rusia-Ukraina menjadi solusi alternatif yang baik bagi sejumlah pihak untuk bersama-sama membantu menyelesaikan konflik ini.
Peran sejumlah negara-negara besar terutama dari blok NATO sangat penting untuk membantu merealisasikan perdamaian ini. Tanpa kontribusi perdamaian yang nyata dari sekutu AS maka relatif sulit mengakhiri invasi Rusia ke Ukraina.
Kekuatan China-Rusia
Kian eratnya hubungan China dan Rusia dapat menjadikan kedua negara ini sebagai ”poros” kuat yang mampu menandingi kekuatan barat yang dipimpin oleh AS. Hubungan diplomatik China-Rusia ini bukan mustahil akan membangun sebuah koalisi kekuatan di berbagai bidang termasuk sektor pertahanan militer yang sangat didominasi oleh AS berikut sekutunya.
Dengan lokasi geografis yang berdampingan antara China dan Rusia, kedua negara ini mampu membangun koalisi pertahanan layaknya NATO. Apalagi, kedua negara ini memiliki peringkat pertahanan tertinggi secara global. Berdasarkan Data Kekuatan Militer 2023, Globalfirepower, ranking kekuatan militer Rusia dan China masing-masing berada di urutan kedua dan ketiga di seluruh dunia. Kedua negara ini hanya kalah dari kekuatan militer AS yang sangat masif membangun pertahanannya di seantero penjuru dunia.
Dapat dibayangkan, apabila Rusia dan China berkoalisi dalam bidang pertahanan, deterrent effect-nya akan sangat besar. Wilayah geografis Rusia dan China yang berdampingan membuat daya gentar wilayah pertahanan ini akan sangat luas, mulai dari kawasan barat, utara, timur, hingga selatan dunia. Kekuatan kedua negara ini sangat sulit ditandingi oleh kekuatan pertahanan mana pun di dunia. Termasuk NATO sekalipun relatif akan sulit menghadapi kekuatan militer kedua negara ini. Hanya AS yang sangat mungkin menghadapi kekuatan militer Rusia dan China. Hanya saja, lokasi geografis AS yang terpisah lautan dengan Eropa membuat negara adidaya ini memerlukan effort lebih besar dalam mengerahkan pasukan.
Selain di bidang pertahanan, eratnya hubungan China-Rusia itu juga akan memperkokoh sektor perekonomian Rusia yang sempat terpuruk akibat sanksi embargo dari Uni Eropa. China dapat menjadi kanal besar perekonomian Rusia yang diembargo oleh kekuatan negara-negara barat. Berdasarkan oec.world, hingga tahun 2020 China memang menjadi pasar besar komoditas ekspor Rusia. Sekitar 56 persen ekspor Rusia senilai 113 miliar dollar AS terserap di pasar China. Sebagian besar komoditas yang dibutuhkan China dari Rusia adalah produk energi yang berfungsi menggerakkan sektor industrialisasi.
Tingginya ketergantungan suplai energi dari Rusia ini membuat posisi negara ”Beruang Merah” sangat penting bagi kemajuan China. Hal ini dapat menjadi peluang yang sangat baik bagi Rusia untuk memulihkan akibat sanksi embargo. Dengan bekerja sama dengan China, peluang untuk meningkatkan perdagangan internasional berbagai komoditas bagi Rusia menjadi terbuka sangat lebar. Apalagi, posisi China sangat starategis bagi perekonomian dunia karena menguasai perdagangan global.
Ekspor China menempati urutan pertama di dunia dengan nilai ekspor mencapai 2,65 triliun dollar AS pada tahun 2020. Mayoritas tujuan utama ekspor komoditas dari China adalah AS dengan pangsa ekspor sebesar 16,5 persen senilai 438 miliar dollar AS. Selain itu, tujuan utama ekspor China juga ke negara-negara sekutu NATO, seperti Jepang, Korea Selatan, Jerman, Belanda, Inggris, Perancis, Italia, dan Spanyol.
Jadi, dengan kokohnya kerjasama China-Rusia maka dapat sebagai soft power untuk mendorong perdamaian antara Rusia-Ukraina dan NATO. AS dan sejumlah negara Eropa memiliki ketergantungan suplai komoditas yang tinggi dari China dan China memiliki ketergantungan energi yang besar dari Rusia. Di sisi lain, AS memiliki peran sentral dalam aliansi sekutu yang dapat memengaruhi kebijakan politik yang diambil NATO.
Harapannya, melunaknya Rusia dengan tawaran damai dari China tersebut dapat disikapi positif dari pihak sekutu NATO untuk segera mendamaikan perselisihan. Banyaknya bantuan alutsista, persenjataan, dan juga anggaran peperangan yang diberikan NATO kepada Ukraina bukan menjadi solusi terbaik bagi jalannya konflik militer yang terjadi saat ini. Hanya lewat perundinganlah situasi perdamaian akan dapat tercipta di Ukraina. China, sebagai salah satu negara yang memiliki kekuatan ekonomi terbesar dan militer terkuat di dunia, sudah mulai menginisiasi langkah damai ini. Kini, semua berada di tangan sekutu NATO untuk menyikapi hal ini. (LITBANG KOMPAS)