Capres Pilihan Pemilih Perempuan, Apa Daya Tariknya?
Perempuan memiliki kriteria tersendiri dalam memilih calon presiden. Salah satunya adalah rekam jejak sang calon selama berkarya di mata publik.
Oleh
MB Dewi Pancawati
·5 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Panitia Pemungutan Suara (PPS) melakukan penghitungan surat suara saat simulasi Pemilu 2019 di Jakarta, Sabtu (6/4/2019).
Pemilih perempuan mempunyai kriteria sendiri dalam memilih calon presiden. Sifat merakyat dan sederhana serta tegas dan berwibawa yang melekat pada kepribadian seorang tokoh, juga rekam jejak prestasinya sebagai pemimpin, menjadi catatan utama kriteria seorang calon presiden bagi pemilih perempuan.
Dinamika elektabilitas kandidat calon presiden (capres) jelang Pemilu 14 Februari 2024 masih bergerak dinamis. Meski demikian, konstituen sudah ada yang memiliki pilihan capres yang digadang-gadang akan menggantikan Presiden Jokowi, tak terkecuali kalangan pemilih perempuan.
Banyaknya pemilih menjadi ukuran elektabilitas dari para tokoh capres. Sebagai pemilih potensial, pemilih perempuan mempunyai kekuatan yang dapat mendorong kemenangan capres dalam pemilihan umum nanti.
Mengutip dari laman kpu.go.id, jumlah pemilih perempuan sedikit lebih banyak dibanding pemilih laki-laki. Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) sebagai bahan penyusunan daftar pemilih untuk pemilu tahun 2024 berjumlah 204.656.053 jiwa.
Terdiri dari laki-laki sebanyak 102.181.591 jiwa (49,92 persen) dan perempuan sebanyak 102.474.462 jiwa (50,08 persen) meliputi 38 provinsi. Namun, data tersebut masih menjalani proses pemuktahiran.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat ini telah merampungkan proses pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih. Sementara masa penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) nasional akan berlangsung pada 19-21 Juni 2023 mendatang.
Pergerakan sebagian tokoh yang digadang menjadi calon presiden pun semakin intens. Dinamika ini cukup berpengaruh pada elektabilitas tokoh. Kondisi tersebut terpotret dalam hasil Survei Nasional Kompas Januari 2023 di 38 provinsi.
Terpotret perubahan dari survei sebelumnya (Oktober 2022), suara untuk Ganjar Pranowo naik menjadi 25,4 persen dari 23,2 persen. Sebaliknya, keterpilihan Anies Baswedan menurun dari 16,5 persen menjadi 13,1 persen. Sementara elektabilitas Prabowo Subianto cenderung stagnan di kisaran 18 persen.
Munculnya tiga nama tersebut yang saat ini memiliki elektabilitas tertinggi dalam bursa capres juga terpotret pada suara responden perempuan, dengan urutan suara untuk Ganjar Pranowo (21,1 persen), Prabowo Subianto (15 persen), dan Anies Baswedan (12,5 persen). Persentase suara perempuan untuk ketiga kandidat capres ini masih lebih kecil dibanding persentase suara laki-laki.
Selain itu, ada yang menarik dari hasil survei khusus responden perempuan ini, yaitu suara untuk Ridwan Kamil yang secara keseluruhan berada di posisi keempat dengan 8,4 persen suara, tetapi di kalangan pemilih perempuan mendapat dukungan 12,5 persen, sama dengan Anies Baswedan.
Suara perempuan untuk Gubernur Jawa Barat ini juga lebih tinggi dibanding kontribusi suara dari laki-laki (4,3 persen) dengan demikian ada selisih 8,2 persen.
Di samping itu, ada beberapa tokoh kandidat capres dengan elektabilitas di bawah 5 persen, tetapi mendapat suara dari pemilih perempuan lebih tinggi dari pemilih laki-laki. mereka, di antaranya, Sandiaga Salahudin Uno (2 persen), Agus Harimurti Yudhoyono (1,8 persen), dan Tri Rismaharini (1,5 persen).
Angka elektabilitas ini umumnya masih berfluktuasi tergantung dinamika politik yang terjadi serta situasi dan kondisi yang berkembang di dalam masyarakat. Namun popularitas tokoh di mata publik menjadi indikator awal menghimpun dukungan elektabilitas ini.
Apa yang menjadi daya tarik tokoh sehingga popularitasnya tinggi, khususnya bagi pemilih perempuan?. Hasil survei merekam, lebih dari sepertiga responden perempuan (37,4 persen) menegaskan, profil tokoh yang memiliki pribadi sederhana dan merakyat adalah faktor utama yang menjadi daya tarik dan sangat memengaruhi pilihan capres.
Selanjutnya 22 persen memilih tokoh yang memiliki pengalaman dan prestasi sebagai pemimpin, misalnya pernah menjadi kepala daerah, menteri, atau pemimpin lembaga negara.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Meski belum memasuki masa kampanye, baliho dan poster partai politik maupun tokoh partai politik mulai banyak menghiasi ruang-ruang publik, seperti di Serpong, Tangerang Selatan, Jumat (10/3/2023). Mendekati Pemilu 2024, baliho seperti ini diperkirakan akan semakin banyak bertebaran di ruang publik.
Hal ini selaras dengan kriteria 22,4 persen pemilih perempuan yang lebih memilih calon presiden dengan latar belakang kepala daerah (gubernur/wali kota/bupati). Sementara birokrat (menteri, kepala lembaga negara) hanya mendapat dukungan 3,7 persen suara.
Selain itu, sebanyak seperlima responden perempuan (21,1 persen) juga menegaskan, faktor ketegasan dan kewibaan calon presiden menjadi daya tarik untuk dipilih. Oleh karena itu, tokoh dengan latar belakang militer (TNI/Polri) sebagai representasi sosok yang tegas dan berwibawa juga menjadi idaman sekitar 17,6 persen pemilih perempuan.
Tokoh agama juga menjadi pilihan 13,5 persen responden perempuan. Sementara tokoh masyarakat seperti pimpinan ormas, seniman, budayawan, bahkan artis masuk kriteria 7,6 persen responden.
Terlihat bahwa sifat dan sikap yang melekat pada kepribadian seorang tokoh serta rekam jejak prestasinya sebagai pemimpin menjadi catatan utama kriteria seorang calon presiden bagi pemilih perempuan.
Kesukaan pada sosok dianggap paling tepat menjadi pemimpin bangsa hingga diikuti tahap memilihnya dalam kontestasi nanti melahirkan pemilih-pemilih yang loyal. Hasil survei menangkap lebih dari separuh (52,6 persen) pemilih perempuan masuk kategori pemilih loyal (loyal voters), meski masih di bawah angka loyal voters laki-laki (70,4 persen).
Loyalitas pemilih perempuan ini tampak dari pernyataan enam dari sepuluh responden yang tak akan mengubah pilihan pada tokoh yang disukai meski tokoh tersebut diusung oleh partai politik yang tidak mereka sukai. Artinya, faktor ketokohan lebih utama dibanding partai politik pengusung.
Meski demikian, masih ada 47,4 persen swing voters dari pemilih perempuan atau sering disebut dengan massa mengambang, yakni pemilih yang masih mungkin untuk berpindah atau berganti pilihan.
Hasil survei menunjukkan, ada 11,1 persen responden perempuan yang menyatakan akan memilih calon lain jika tokoh yang digadang-gadang ternyata diusung oleh partai politik yang tidak mereka sukai. Bahkan, ada sekitar 5,3 persen yang menyatakan tidak akan memilih alias golput (golongan putih).
Jika dipilah, swing voters pemilih perempuan berdasar generasi, terlihat generasi post milenial yang paling banyak masuk golongan ini. Hal ini diakui 4 dari 10 responden. Diikuti generasi milenial (Gen Y) sebesar 33,7 persen.
Sementara pemilih mula yang masih mungkin berubah pilihan sekitar 26,3 persen. Data tersebut bisa menjadi modal bagi partai politik pengusung capres untuk menyusun strategi menarik kelompok swing voters ini bergeser menjadi vote getter (pendulang suara).
Di sisi lain, capres dan partai pengusungnya juga harus tetap memelihara soliditas dan loyalitas dari 71,5 persen loyal voters pemilih perempuan dari Gen Y dan Gen Post Milenial (> Gen Y) serta 28,5 persen Gen Pre Milenial (<Gen Y), agar tetap loyal dan tidak berubah pilihan pada capres lain. (LITBANG KOMPAS)