Kenaikan Suku Bunga dan Sinyal untuk Perekonomian Global
Di tengah upaya pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 dan getaran dari kolapsnya beberapa bank di AS, kebijakan kenaikan suku bunga patut untuk terus diperhatikan.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·5 menit baca
Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Inggris kembali mengambil kebijakan menaikkan suku bunganya. Langkah ini diambil sebagai respons untuk menekan angka inflasi yang masih bebal di kisaran dua digit. Di tengah upaya pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 dan getaran dari kolapsnya beberapa bank di AS, kebijakan ini patut untuk terus diperhatikan.
Dalam waktu yang nyaris bersamaan, ketiga kekuatan ekonomi dunia tersebut mengambil langkah untuk menaikkan suku bunga. The Fed di Amerika Serikat (AS) telah meningkatkan suku bunga sebesar 25 basis poin, membuat tingkat suku bunga di negara tersebut menjadi 5 persen dari sebelumnya 4,75 persen.
Kenaikan dengan jumlah yang sama juga diambil bank sentral Inggris yang menaikkan suku bunga dari 4 persen menjadi 4,25 persen. Adapun Uni Eropa (UE) mengambil langkah yang lebih dramatis dengan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 3,5 persen.
Langkah yang diambil untuk menekan angka inflasi ini cukup dapat dimengerti. Pasalnya, tingkat inflasi di AS, Inggris, dan negara kawasan UE masih relatif tinggi.
Di AS, tingkat inflasi masih berada di angka 6 persen. Secara tren, posisi tingkat inflasi AS saat ini sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan pertengahan tahun lalu yang sempat menyentuh kisaran 9 persen. Meskipun begitu, angka inflasi ini masih terlampau tinggi dibandingkan dengan target inflasi AS 2023 di 3,5 persen.
Hal yang serupa juga terjadi di kawasan UE. Dalam tiga bulan terakhir, tingkat inflasi di kawasan ini sudah berhasil diturunkan dengan perlahan dari 9,2 persen menjadi 8,5 persen di Februari lalu. Namun, tren penurunan ini masih perlu dipercepat mengingat target ambisius Bank Sentral Eropa untuk menekan inflasi tahunan 2023 di angka 2 persen.
Situasi tampak lebih mengkhawatirkan di Inggris. Meskipun telah menaikkan suku bunga hingga di titik paling tinggi selama nyaris satu setengah dekade terakhir, tingkat inflasi di negara ini masih stagnan di angka 10,4 persen.
Padahal, sebelumnya tingkat inflasi di Inggris sempat mengalami penurunan secara berturut-turut dari 10,7 persen di November 2022 sampai 10,1 persen di Januari 2023.
Lantas, apakah kebijakan menaikan suku bunga ini benar-benar dapat menenangkan ombak inflasi yang masih tinggi? Secara teori, kebijakan ini akan berdampak langsung pada penurunan tingkat inflasi.
Secara singkat, suku bunga yang lebih tinggi akan membuat pinjaman lebih mahal sehingga dapat mengurangi permintaan barang dan jasa. Ujungnya, harga-harga barang pun turun karena tekanan pada permintaan.
Namun, pada praktiknya, kenaikan suku bunga ini sulit untuk menekan inflasi secara spesifik. Misalnya, jika inflasi didorong oleh kenaikan harga energi, kenaikan suku bunga mungkin tidak berdampak banyak pada sektor tersebut, tetapi justru dapat merugikan sektor ekonomi lain yang mengandalkan pinjaman, seperti sektor perumahan atau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Hal ini cukup terlihat pada kasus inflasi di AS. Dari berbagai sektor, yang mengalami kenaikan inflasi paling tinggi adalah jasa energi dan jasa transportasi dengan tingkat inflasi sebesar 13,3 persen dan 14,6 persen. Adapun energi sendiri mengalami kenaikan inflasi sebesar 5,2 persen.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Petugas menghitung uang rupiah di tempat penukaran valuta asing di Valuta Inti Prima, di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (3/1/2023). Sepanjang tahun 2022, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS melemah 9,31 persen. Pelemahan ini didorong oleh menurunnya pasokan dollar AS di dalam negeri karena adanya arus modal keluar yang dipicu kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, The Federal Reverse atau The Fed.
Jika dibandingkan, tingkat inflasi energi ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sektor konsumsi lainya. Sebagai contohnya, tingkat inflasi komoditas hanya berada di angka 1 persen. Sama halnya dengan pakaian dan jasa kesehatan yang mengalami inflasi sebesar 3,3 persen dan 2,1 persen.
Selanjutnya, inflasi seringkali didorong oleh faktor-faktor di luar kendali bank sentral, seperti perubahan penawaran dan permintaan barang dan jasa atau tren ekonomi global.
Misalnya, adanya kelangkaan komoditas tertentu dapat menaikkan harga terlepas dari suku bunganya. Demikian pula, jika terjadi ledakan ekonomi global yang meningkatkan permintaan barang dan jasa, hal ini juga dapat menyebabkan inflasi yang lebih tinggi.
Dalam kasus AS, hal ini terlihat dari tingginya tingkat inflasi di sektor pangan. Per Februari 2023, tingkat inflasi sektor ini mencapai 9,5 persen. Hal ini menunjukkan, laju inflasi yang masih tinggi di AS lebih banyak didorong oleh faktor suplai yang tertekan akibat krisis berkelanjutan di Eropa Timur.
Tekanan dari faktor eksternal ini agaknya sulit untuk dilawan apabila hanya mengandalkan kebijakan yang cakupannya hanya di tingkat nasional.
Selain itu, menaikkan suku bunga justru bisa menimbulkan konsekuensi yang justru memperburuk inflasi. Misalnya, suku bunga yang lebih tinggi dapat menyebabkan mata uang yang lebih kuat, sehingga membuat impor lebih murah dan dapat mendorong peningkatan permintaan barang dan jasa yang berujung pada terdorongnya angka inflasi.
Maka dari itu, langkah menaikkan suku bunga ini belum tentu bisa memenuhi ekspektasi awal. Tidak terpenuhinya ekspektasi ini, yang akan tampak dari seberapa rendah tingkat inflasi dapat ditekan, kemungkinan besar akan diikuti oleh kebijakan lanjutan untuk menaikkan suku bunga di angka lebih tinggi.
Pasalnya, walau tak selamanya berhasil, pendekatan ini masih menjadi pilihan buku teks yang paling aman dan populer untuk diambil oleh pemangku kebijakan.
Dalam jangka pendek, kenaikan suku bunga kemungkinan akan memiliki beragam dampak pada ekonomi global. Meskipun, setidaknya secara teori, bisa membantu menjaga tingkat inflasi di AS, naiknya suku bunga ini bisa memberikan tekanan terhadap dunia perbankan. Ditambah lagi, kebijakan tersebut diambil di tengah situasi yang masih belum stabil setelah prahara SVB dan Credit Suisse.
Pada tataran global, dampak kenaikan suku bunga ini dapat dirasakan dari menguatnya nilai tukar dollar AS. Walhasil, negara-negara yang mengandalkan ekspor, seperti China dan Jerman, bisa jadi ikut tertusuk kebijakan AS tersebut.
Tak hanya itu, kebijakan kenaikan suku bunga ini juga bisa menyebabkan perlambatan pertumbuhan di beberapa negara berkembang. Pasalnya, modal asing yang biasanya diharapkan untuk masuk bisa tersedot ke AS mengingat meningkatnya permintaan surat berharga seiring dengan naiknya suku bunga.
AFP/JUSTIN SULLIVAN
Seorang karyawan memberi tahu orang-orang bahwa kantor pusat Silicon Valley Bank (SVB) ditutup pada 10 Maret 2023 di Santa Clara, California, AS.
Hal ini pernah dialami oleh Indonesia pada 2013 meskipun dengan setting yang berbeda. Saat itu, efek Taper Tantrum yang dipicu oleh kebijakan Tapering Off atau perlambatan laju pembelian obligasi memantik kenaikan imbal balik surat berharga. Alhasil, walau akhirnya dapat pulih dalam waktu relatif cepat, Indonesia sempat mengalami situasi defisit transaksi berjalan sebesar 4,4 persen.
Maka dari itu, walaupun mungkin dalam waktu dekat tak akan langsung terasa di Indonesia, dampak lanjutan dari kenaikan suku bunga ini perlu untuk terus dipantau. Terlebih lagi, melihat tingkat inflasi di AS, Inggris, dan UE yang masih relatif tinggi, kemungkinan besar tren kenaikan suku bunga akan terus berlanjut hingga beberapa waktu ke depan. (LITBANG KOMPAS)