Mengurai Akar Kemiskinan Kuli Angkut
Jelang hari raya, jasa kuli angkut banyak dicari masyarakat, mulai dari mengangkut barang belanja di pasar hingga stasiun. Dari sejarahnya, sistem kerja dan struktur masyarakat turut membentuk lingkar kemiskinan mereka.

Aktivitas sejumlah kuli angkut di blok pertokoan di Pasar Induk Beras Cipinang, Rabu (8/3/2023).
Kuli angkut sudah ratusan tahun hidup di tengah masyarakat Indonesia. Meski demikian, hingga kini masih banyak kuli angkut hidup di bawah batas kemiskinan. Sistem kerja dan struktur masyarakat turut membentuk landasan kemiskinan kuli angkut.
Selama ratusan tahun kuli angkut harus hidup dalam jerat kemiskinan. Banyak dari para kuli angkut yang harus mewarisi profesi kuli angkut dari orangtua mereka karena tidak punya pilihan lain. Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi kemiskinan di kalangan kuli angkut.
Landasan kemiskinan mendasar tidak dapat dilepaskan oleh surplus tenaga kerja di perdesaan. John Ingleson, dalam publikasi ”Buruh, Serikat, dan Politik (2014)”, mencatat, pada akhir abad ke-19 banyak penduduk desa yang terpaksa menjadi buruh upahan di perkebunan atau industri di perkotaan.
Sebagian besar pergi dari desa menuju kota untuk mencari pekerjaan apa saja yang bisa didapatkan, baik di sektor formal maupun informal. Fenomena urbanisasi untuk mencari penghidupan tersebut dikarenakan lahan-lahan di perdesaan tidak sanggup lagi menopang pertumbuhan dan kebutuhan hidup penduduk.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang kota-sentris turut mendorong migrasi dari desa ke kota. Arus migrasi semakin kencang terjadi di masa awal abad ke-20, yang sering disebut sebagai masa keemasan ekonomi Hindia Belanda. Pertumbuhan ekonomi yang dipacu sektor perkebunan dan pertambangan akhirnya melahirkan kota-kota besar di sepanjang jalur perdagangan utama.
Hingga kini, kuli angkut masih menjadi opsi profesi bagi para perantau dari desa. Dinamika ini dapat mudah dijumpai di simpul-simpul perdagangan dan transportasi. Melalui pengamatan langsung di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, dan Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, ditemukan sebagian besar porter berasal dari daerah. Kuli angkut di Stasiun Senen sebagian berasal dari daerah Kebumen, Jawa Tengah. Hal serupa juga didapati di Pasar Induk Kramat Jati, yang sebagian kuli angkut di sana berasal dari luar daerah, seperti Serang dan Bogor.

Kuli angkut membantu penumpang mengangkat barang ke atas Kapal Motor Penumpang Kelud yang hendak berangkat ke Batam dan Jakarta dari Pelabuhan Belawan, Medan, Sumatera Utara (7/3/2023).
Ketergantungan
Hanya saja, suplai tenaga kerja dari desa yang membanjiri kota menyebabkan jasa kuli angkut belum dihargai dengan layak. Jumlah pekerja yang banyak membuat daya tawar mereka di depan pengguna jasa menjadi minim. Mereka akhirnya dipandang sebagai sarana produksi semata, alih-alih manusia yang memiliki hak untuk sejahtera.
Kondisi ini semakin diperparah karena para penduduk perdesaan hingga kini masih mengalami ketimpangan pendidikan dan pelatihan keterampilan. BPS mencatat, pada 2022 tingkat partisipasi remaja dan dewasa dalam pendidikan dan pelatihan formal dan nonformal di perdesaan lebih rendah 8,64 poin dibandingkan dengan mereka yang tinggal di perkotaan.
Pelajar SMA/sederajat di desa juga lebih banyak yang putus sekolah daripada mereka yang di kota. Hal ini dapat dilihat dari tingkat penyelesaian pendidikan jenjang SMA/derajat pada 2022 di desa yang hanya mencapai 55,48, terpaut jauh dengan pelajar di perkotaan yang mencapai 73,91.
Rendahnya keterampilan dan tingkat pendidikan pada akhirnya memaksa kuli angkut menggantungkan nasibnya di tangan mandor. Mandor dapat dikatakan sebagai jabatan informal yang berperan mengoordinasi pekerjaan kuli. Relasi antara mandor dan kuli menjadi dasar dari sistem kerja kuli angkut di berbagai tempat.
Sistem kerja semacam ini ternyata telah berjalan ratusan tahun. Jan Bremen, dalam buku Menjinakkan Sang Kuli (1997), menjelaskan bahwa pemilik perkebunan di daerah Sumatera bagian timur pada akhir abad ke-19 telah mengangkat sejumlah pengawas bagi para kuli. Pengawas ini disebut ”tandil” bagi kuli China dan ”mandor” bagi kuli Jawa. Pengawas ini diangkat oleh perusahaan perkebunan untuk memimpin regu kuli yang terdiri dari 20 sampai 40 orang.

Seorang kuli angkut membantu menyusun barang di atas sepeda motor milik salah satu pelanggannya di Pasar Tanah Abang, Jakarta (9/3/2023).
Sistem kerja dari industri perkebunan tersebut lantas diadopsi oleh perusahaan bongkar muat di pelabuhan dan pasar. Dari hasil studinya, Rasyid Asba menyebutkan, buruh angkut musiman di pelabuhan Makassar tidak berhubungan langsung dengan perusahaan perkapalan, tetapi melalui perantaraan mandor pribumi yang ditunjuk perusahaan.
Melalui publikasi risetnya ”Buruh Pelabuhan Makassar: Gerakan Buruh dan Politik Regional dalam Dekolonisasi: Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa (2013)”, Rasyid Asba menjelaskan pula bahwa buruh hanya dapat bekerja di pelabuhan atas restu dan rekomendasi mandor.
Hingga kini, sistem kerja mandor-kuli angkut masih dapat dijumpai di berbagai tempat. Berdasarkan hasil wawancara di Pasar Senen, Jakarta, didapati bahwa para kuli angkut bekerja di bawah naungan sejumlah mandor. Seorang mandor membawahkan sekitar 20 kuli. Disebutkan pula seseorang tidak dapat bekerja sebagai kuli angkut di tempat itu apabila tidak di bawah pimpinan seorang mandor.
Relasi ketergantungan antara kuli angkut dan mandor dikenal sebagai relasi patron-klien. Eric Wolf, dalam bukunya yang berjudul Pathways of Power (2001), menjelaskan relasi ini sebenarnya bersifat resiprokal atau menguntungkan dua belah pihak.
Di sisi kuli angkut, sebagai klien, dengan mengikatkan diri pada mandor, mereka bisa mendapatkan jaminan keamanan dan mendapatkan pekerjaan. Sebaliknya, mandor, sebagai patron, mendapatkan suplai tenaga kerja yang dibutuhkan oleh pihak pengguna jasa. Supaya sistem kerja berdasarkan relasi patron-klien ini dapat berjalan, kedua belah pihak perlu membangun kepercayaan satu sama lain.

Langgeng
Mengenai alasan di balik langgengnya pola kerja berdasarkan relasi patron-klien ini, pendapat dari Wolf dapat memberikan titik terang alternatif mengurai benang kusut kemiskinan kuli angkut. Ia menyebutkan bahwa struktur informal, seperti relasi patron-klien, berfungsi untuk mengisi celah pengelolaan sumber daya yang tidak dapat ditangani oleh institusi formal.
Selain itu, sistem kerja mandor-kuli menawarkan fleksibilitas yang semata-mata didasarkan pada kepercayaan dan loyalitas. Pola seperti ini dirasa dapat menjadi jalan pintas untuk mendapatkan pekerjaan bagi sebagian besar kuli angkut yang bermodalkan kekuatan fisik semata.
Hanya saja, pada praktiknya, relasi ini sarat dengan ketimpangan kuasa. Ini karena mandor memiliki wewenang dan kekuasaan yang lebih tinggi daripada kuli. Dengan demikian, para mandor kerap lebih diuntungkan daripada kuli. Asba mencatat bahwa pada 1930-an, banyak mandor di pelabuhan Makassar bisa menjadi tuan tanah yang kaya raya di desa.
Di masa sekarang, relasi kerja patron-klien seperti ini harus dibayar kuli melalui pemotongan upah sebagai komisi untuk mandor. Di terminal penumpang Pelabuhan Belawan, Medan, para kuli harus membayar Rp 20.000 per hari sebagai komisi kepada mandor. Adapun di Blok B Pasar Tanah Abang, Jakarta, para kuli angkut ”diwajibkan” memberi setoran sebesar Rp 10.000-Rp 15.000 kepada mandor (Kompas, 13/3/2023). Pemotongan upah seperti ini dapat memberatkan kuli angkut, mengingat tidak pastinya jumlah pendapatan yang dapat diperoleh setiap harinya.

Upaya mandiri
Meski tampaknya berada dalam ketergantungan, para kuli angkut sejatinya tidak tinggal diam. Jejak sejarah memperlihatkan bahwa sejatinya para kuli berusaha melepaskan diri dari ikatan ketergantungan dengan mandor.
Salah satu upayanya adalah dengan membentuk serikat atau paguyuban yang lebih egaliter. Tren kuli angkut untuk berserikat sudah mulai tampak sejak masa pascakemerdekaan, terutama pada 1950-an. Setelah surut akibat peristiwa G30S, gerakan kuli angkut untuk memberdayakan diri diwujudkan dalam bentuk paguyuban atau koperasi.
Para kuli angkut di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, telah berhasil membentuk Koperasi Pekerja Bongkar Muat (KPBM) yang beranggotakan sekitar 1.100 kuli angkut. Selain mendapatkan pembagian kerja yang adil, mereka yang tergabung akan mendapatkan sejumlah fasilitas, seperti layanan kesehatan gratis, shelter untuk menginap, dan didaftarkan di BPJS Ketenagakerjaan.
Baca Juga: Menghadirkan Kesejahteraan bagi Kuli Angkut
Potret serupa juga didapatkan di kalangan buruh gendong di Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Melalui pendampingan dari Yayasan Annisa Swanti, para buruh gendong yang mayoritas adalah perempuan membentuk Paguyuban Buruh Gendong Sayuk Rukun. Melalui paguyuban tersebut, para buruh gendong akhirnya mendapatkan tempat khusus untuk beristirahat. Selain itu, mereka juga didaftarkan di BPJS Ketenagakerjaan (Kompas, 13/3/2023).
Meskipun sudah ada upaya mandiri dari para kuli angkut untuk mengangkat kesejahteraan mereka, peran pemerintah masih sangat diperlukan. Hal ini terutama menyangkut perlindungan jaminan sosial dan sistem pengupahan yang lebih layak. Di samping itu, perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan di wilayah perdesaan juga penting untuk dilakukan. Langkah-langkah tersebut diharapkan dapat menjadi awal dari putusnya rantai kemiskinan kuli angkut yang telah membelenggu mereka selama ratusan tahun. (LITBANG KOMPAS)
Baca Juga: Ratusan Tahun Peran Penting Kuli Angkut di Indonesia