Jajak Pendapat Litbang ”Kompas”: Menghargai Sesama, Bahagianya Orang Kota
Hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat perkotaan mempunyai andil penting dalam mewujudkan kebahagiaan. Nilai-nilai seperti peduli, empati, dan toleransi harus terus dipelihara.
Oleh
MB Dewi Pancawati
·4 menit baca
Makna bahagia tentu berbeda-beda pada setiap orang. Bahkan, sering kita mendengar kalimat ”bahagia itu sederhana”. Artinya, kebahagiaan tidak harus didapat dengan meraih sesuatu yang muluk-muluk, tetapi dari hal-hal kecil yang bisa membuat hati damai pun dapat memberikan rasa bahagia.
Banyak faktor yang memicu orang meraih kebahagiaan. Bagi masyarakat perkotaan, keberhasilan pembangunan, seperti infrastruktur yang baik, fasilitas publik yang memadai, atau kehidupan yang layak, tidak serta-merta menjadi faktor utama dalam mencapai kebahagiaan.
Justru hidup berdampingan dengan saling menghargai satu sama lain menjadi hal yang paling dirasakan dapat memberikan nilai kebahagiaan.
Hal itu terpotret dari hasil jajak pendapat Kompas yang diselenggarakan pada 8-10 Maret 2023. Hampir 15 persen dari 502 responden di 34 provinsi yang diwawancarai mengaku perilaku masyarakat yang tidak toleran merupakan kondisi di kota tempat tinggal mereka yang paling membuat tidak bahagia.
Tak dapat dimungkiri, masyarakat perkotaan yang cenderung heterogen akan menghadapi masalah yang lebih kompleks. Toleransi menjadi akar hidup damai dalam bermasyarakat dan tentu akan menumbuhkan kebahagiaan.
Selaras dengan hal itu, hasil jajak pendapat juga menangkap perspektif kebahagiaan yang utama adalah ketika mendapatkan kasih sayang dari keluarga, kerabat, teman, dan orang-orang di sekitarnya. Paling tidak, rasa bahagia berkaitan dengan aura positif.
Martin Seligman, seorang tokoh yang bergelut dalam psikologi positif, mendefinisikan kebahagiaan sebagai keadaan psikologis yang positif, yakni seseorang memiliki emosi positif berupa kepuasan hidup, pikiran, dan perasaan positif akan kehidupan yang dijalaninya.
Dijelaskan pula bahwa dari sudut pandang psikologi positif, indikator kebahagiaan memiliki makna dan cakupan yang tidak terbatas pada evaluasi subyektif terhadap kondisi kehidupan yang menyenangkan dan kondisi kehidupan yang baik, tetapi juga pada kondisi kehidupan yang bermakna (meaningful life).
Oleh karena itu, makna hidup menjadi salah satu dimensi kehidupan untuk mengukur indeks kebahagiaan, selain dimensi kepuasan hidup dan dimensi perasaan.
Dalam tiga kali pengukuran indeks kebahagiaan yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) sejak 2014, perubahan indeks kebahagiaan penduduk Indonesia menunjukkan tren positif, bahkan setelah diterpa pandemi Covid-19 yang berdampak pada semua aspek kehidupan.
Pada 2021 indeks kebahagiaan meningkat 0,80 poin menjadi 71,49 dibandingkan tahun 2017 (70,69). Capaian itu disumbang skor indeks dimensi kepuasan hidup sebesar 75,16, dimensi makna hidup 73,12, dan dimensi perasaan 65,61.
Indikator kepuasan terhadap hubungan sosial di lingkungan dalam dimensi kepuasan hidup, dan indikator hubungan positif dengan orang lain dalam dimensi makna hidup, merupakan indikator yang menggambarkan bahwa hubungan yang baik dan saling menghargai dengan sesama akan menyumbang kebahagiaan dan menjadikan kehidupan lebih bermakna.
Berdasarkan hasil Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) 2021, terjadi peningkatan capaian kepuasan terhadap hubungan sosial di lingkungan, dari 75,45 tahun 2017 menjadi 79,10. Hubungan sosial tersebut dilihat dari tiga poin yang diukur, yaitu kepercayaan, partisipasi sosial, dan toleransi.
Secara umum, peningkatan kepuasan terhadap hubungan sosial di lingkungan disebabkan adanya rasa percaya yang baik, partisipasi sosial yang baik, dan toleransi yang tinggi dimiliki penduduk Indonesia.
Namun, hasil survei memotret, meskipun tinggi, skor kepuasan terhadap hubungan sosial masyarakat di perkotaan masih lebih rendah dibandingkan masyarakat perdesaan, yaitu 78,48 dengan 79,91. Hal ini selaras dengan temuan jajak pendapat Kompas yang memperlihatkan masalah perilaku intoleransi di perkotaan masih dirasakan menjadi kendala dalam menciptakan kebahagiaan.
Sementara itu, hubungan positif dengan orang lain sebagai salah satu dari enam indikator dimensi makna hidup mendapat skor 72,16, meningkat dari 71,93 tahun 2017. Responden yang memiliki hubungan yang positif menimbulkan rasa kepedulian, empati, kasih sayang, dan saling percaya yang membuat hidup responden menjadi bermanfaat terhadap orang lain.
Pada indikator ini, hasil SPTK mendapat gambaran skor di perkotaan (72,18) sedikit lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (72,13). Tumbuhnya praktik baik selama pandemi Covid-19 sejak tahun 2020 turut mendorong naiknya capaian indikator ini.
Menariknya, dari tiga kali SPTK yang dilakukan BPS, indeks kebahagiaan penduduk di perkotaan selalu lebih tinggi dibandingkan penduduk perdesaan dan trennya pun terus meningkat. Selaras dengan jawaban responden pada jajak pendapat Kompas awal bulan ini, yang mendapat gambaran bahwa kebahagiaan masyarakat kota jauh lebih tinggi dibandingkan masyarakat desa (85,4 dibandingkan 63,6).
AGUS SUSANTO
Warga melintasi mural peduli sesama di Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Kamis (7/10/2021). Ajakan peduli sesama terus disuarakan untuk membuat perubahan yang pada akhirnya bisa bekerja, belajar, dan berkarya bersama-sama untuk kemajuan.
Lalu, ketika ditanya kondisi kota seperti apa yang membuat tidak bahagia, jawaban responden paling banyak adalah tidak ada (16,8 persen), lebih tinggi daripada persoalan perilaku intoleransi, problem kemacetan, lingkungan, infrastruktur, ataupun pelayanan fasilitas publik.
Artinya, meskipun ukuran rasa bahagia itu relatif, sebagian masyarakat di perkotaan menilai tidak ada problem yang mengganggu kehidupannya untuk meraih kebahagiaan.
Meskipun demikian, beberapa kondisi yang dirasakan masyarakat kota menjadi kendala untuk mencapai kebahagiaan bisa menjadi masukan bagi pemerintah daerah untuk membuat kebijakan yang lebih tepat sasaran untuk membuat masyarakatnya bahagia. Dengan bahagia, dampaknya pasti positif bagi pembangunan dan kesejahteraan. (LITBANG KOMPAS)