Survei Litbang ”Kompas”: Duet Prabowo-Ganjar atau Ganjar-Prabowo?
Sekalipun kedua sosok mampu menarik dukungan pemilih yang relatif besar, penentuan siapa menjadi presiden dan siapa yang menjadi wakilnya dapat memengaruhi kekuatan dukungan.
Oleh
Bestian Nainggolan
·5 menit baca
BPMI SEKRETARIAT PRESIDEN/ LAILY RACHEV
Presiden Joko Widodo bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat meninjau panen raya padi dan berdialog dengan petani di Desa Lajer, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah, Kamis (9/3/2023).
Wacana duet Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto, dalam arena politik Pemilu Presiden 2024, ramai digunjingkan lantaran pasangan kedua tokoh politik yang selama ini bertengger dalam urutan atas persaingan calon presiden itu dinilai paling berpotensi meraup dukungan suara besar.
Berdasarkan kalkulasi dari hasil survei elektabilitas, dalam rentang perhitungan yang lebih optimistis, diperkirakan pasangan ini mampu meraup 43,4-62,6 persen dukungan pemilih. Namun, jika mempertimbangkan kekuatan pendukung loyal (strong voter) dan dukungan yang masih dapat berubah (swing voter) dari pendukung kedua tokoh, rentang potensi dukungan menjadi semakin lebar, yaitu 23,3-62,6 persen.
Selain potensi besar dalam meraup dukungan pemilih, duet kedua tokoh pun dinilai ideal. Penyatuan keduanya menjadi upaya rekonsiliasi kekuatan politik riil yang melengkapi gambaran keberagaman masyarakat di negeri ini. Gabungan dari pendukung kedua tokoh, baik secara demografi, sosio ekonomi, maupun politik, relatif mendekati gambaran keseluruhan masyarakat di negeri ini.
Hanya saja, sekalipun jika dipasangkan kedua tokoh potensial memenangi persaingan politik, faktanya masih tersisa perdebatan yang cukup pelik, terkait di mana posisi dan peran masing-masing. Apakah Ganjar-Prabowo atau sebaliknya Prabowo-Ganjar?
Bagi partai politik yang melatarbelakangi keduanya, sejauh ini tampak jelas bahwa tampilnya pemimpin ataupun kader partai dalam panggung persaingan politik semata-mata ditempatkan sebagai calon presiden. Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo, misalnya, menyatakan, keputusan resmi pencalonan Prabowo sebagai presiden berdasarkan hasil rapat kerja nasional partai pada 12 Agustus 2022. Artinya, sejauh ini tidak ada ruang bagi Gerindra mendudukkan Prabowo sebagai calon wakil presiden.
Sebelumnya, terkait wacana duet Ganjar dan Prabowo, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto malah menegaskan bahwa partainya mendorong kader internal untuk maju sebagai calon presiden dan bukan calon wakil presiden. Dengan demikian, baik Gerindra maupun PDI-P sama-sama mendudukkan kader partai dalam posisi utama perebutan kursi kepresidenan.
Harapan yang sama bagi para pemilih kedua tokoh. Pilihan Ganjar ataupun Prabowo yang sudah mereka nyatakan tentu saja diposisikan sebagai calon presiden. Bisa jadi, dukungan mereka akan berbeda jika sosok capres pilihan mereka berubah posisi sebagai calon wakil presiden.
Di tengah perdebatan yang belum berujung, kembali persoalannya siapa yang paling layak ditempatkan sebagai presiden dan siapa pula yang layak jadi calon wakil presiden?
Dengan merujuk hasil survei elektabilitas, terdapat beberapa acuan yang secara tidak langsung dapat menginformasikan kombinasi pasangan mana: apakah Ganjar-Prabowo ataukah Prabowo-Ganjar yang paling tepat.
Pertama, berdasarkan besaran dukungan yang diperoleh kedua tokoh. Dengan mengacu pada survei terbaru, sampai saat ini Ganjar relatif masih lebih tinggi jumlah pendukungnya ketimbang Prabowo. Begitu pula jika dipilah dari sisi loyalitas dukungan, masih lebih besar kelompok pemilih loyal Ganjar ketimbang Prabowo.
Bahkan, jika kedua tokoh tersebut dihadapkan satu sama lain, potensi dukungan terhadap Ganjar masih relatif lebih besar. Tidak kurang dari 56,7 persen responden akan memilih Ganjar dan sisanya (43,3 persen) memilih Prabowo. Jika dicermati, sejak setahun terakhir pamor Ganjar relatif lebih menanjak, sementara Prabowo terbilang fluktuatif.
Akan tetapi, lebih besarnya jumlah pendukung tidak serta-merta menjadi jaminan akan memenangi pertarungan. Menjadi lebih penting di sini apakah penggabungan kekuatan dengan konsekuensi perubahan posisi politik tiap-tiap tokoh (sebagai calon presiden dan calon wakil presiden) akan mampu menarik lebih banyak lagi dukungan pemilih dibandingkan jumlah pendukung yang telah mereka kuasai.
Kedua, berdasarkan potensi tambahan dukungan yang diraih jika salah satu dari keduanya ditempatkan sebagai calon wakil presiden. Dari kajian terhadap keseluruhan responden survei, apabila Ganjar dicalonkan sebagai presiden, misalnya, terdapat sekitar 7,8 persen yang menganggap Prabowo layak sebagai wakilnya.
Sebaliknya, jika Prabowo sebagai calon presiden, sebanyak 11,4 persen responden menganggap Ganjar layak jadi wakilnya. Dengan acuan ini, dukungan bagi Prabowo menjadi lebih besar jika Ganjar ditempatkan sebagai wakilnya.
Meski demikian, jika dikaji lebih khusus dari barisan pendukung masing-masing, peluang kedua tokoh relatif sama. Tidak kurang dari 7,5 persen dari pemilih Ganjar menginginkan kehadiran Prabowo sebagai calon wakil presiden. Dalam proporsi yang relatif sama, 7,3 persen dari pemilih Prabowo menginginkan Ganjar sebagai calon wakil presiden.
Dari kacamata pendukung, mereka justru lebih banyak menginginkan tokoh-tokoh lain sebagai calon wakil presiden. Nama-nama seperti Ridwan Kamil dan Sandiaga Uno menjadi pilihan terbesar bagi para pendukung Ganjar dan Prabowo.
Ketiga, pendekatan latar belakang calon presiden pilihan publik. Selain kalkulasi elektabilitas, pertimbangan preferensi publik terhadap model kepemimpinan yang melekat pada tokoh masing-masing juga menarik dicermati. Bersandar pada kontestasi politik pemilu sebelumnya, cenderung bersifat dialektis yang memunculkan tokoh-tokoh dengan karakter kepemimpinan yang punya relevansi dengan model pemimpin yang tengah diharapkan masyarakat.
Kehadiran sosok Joko Widodo sebagai presiden, misalnya, tidak terlepas dari kerinduan masyarakat saat itu terhadap model kepemimpinan yang sebelumnya kurang terpenuhi. Tawaran model pemimpin yang tidak berjarak dengan rakyat, sosok yang dinilai sederhana, dan memiliki kemampuan mengelola daerah terbukti berhasil memikat bagian terbesar pemilih.
Begitu pula kehadiran Susilo Bambang Yudhoyono, sosok berlatar militer yang cerdas, gagah, dan santun dalam bersikap, saat itu dinilai paling tepat menjadi presiden sekaligus menjawab kekurangan model kepemimpinan sebelumnya.
Bersandar pada acuan model kepemimpinan, di antaranya dapat dilakukan dengan melihat latar belakang apa yang kini paling dikehendaki publik sebagai calon presiden saat ini. Pendekatan demikian, sekalipun bersifat proyektif, cukup relevan, khususnya dalam strategi peningkatan potensi dukungan di luar para pemilih kedua tokoh tersebut.
Secara umum, hasil survei menunjukkan latar belakang kedua tokoh, Ganjar berlatar kepala daerah dan Prabowo yang berlatar militer, sama-sama diidamkan publik sebagai calon presiden. Akan tetapi, berdasarkan pemilihan dukungan, kecenderungan pemimpin berlatar belakang militer relatif lebih banyak dijadikan pilihan, baik para pemilih Ganjar maupun Prabowo ataupun para pemilih tokoh selain mereka.
Mengacu pada model kepemimpinan yang kini menjadi dambaan publik, relatif lebih besarnya pilihan pada pemimpin berlatar militer ini setidaknya menggambarkan keinginan pada pemimpin yang merepresentasikan kekuatan sosok yang tegas dengan segenap kewibawaannya. Namun, tingginya harapan terhadap pemimpin berlatar kepala daerah juga mengindikasikan model kepemimpinan yang benar-benar berprestasi dalam pengelolaan wilayah dan dekat dengan publik.
Munculnya kedua latar belakang pemimpin yang didambakan ini seolah mengulang kembali persaingan politik pada Pemilu 2014 yang menghadirkan Prabowo sebagai calon presiden berlatar militer dan Jokowi yang berlatar kepala daerah. Jika saat itu model kepemimpinan yang direpresentasikan oleh sosok Jokowi lebih unggul, kini paduan kedua karakter menjadi sintesis model kepemimpinan yang diharapkan publik. (Bersambung) (LITBANG KOMPAS)