Urgensi Meningkatkan Kecakapan Literasi sejak Dini
Hasil Asesmen Nasional 2021 menunjukkan, satu dari dua peserta didik belum mencapai kompetensi minimum literasi. Menumbuhkan minat baca sejak dini menjadi urgen untuk meningkatkan kecakapan literasi.
Pada dasarnya, kecakapan atau kemampuan literasi sangat penting sebagai fondasi untuk membangun sumber daya manusia yang unggul. Oleh karena itu, kecakapan literasi harus dipupuk sejak anak usia dini, antara lain dengan cara menumbuhkan minat baca pada anak dengan buku-buku yang bermutu.
Apalagi, literasi tidak sekadar cakap membaca, tetapi juga mendengar, menyimak, dan menulis. Lebih luas lagi, mampu mengerti dan menalar. Lebih dalam lagi, literasi adalah kemampuan mengolah informasi dan pengetahuan untuk meningkatkan kecakapan hidup.
Sementara dalam program Merdeka Belajar, kemampuan atau kompetensi literasi dijabarkan sebagai kemampuan peserta didik dalam memahami, menggunakan, mengevaluasi, merefleksikan berbagai jenis teks untuk menyelesaikan masalah dan mengembangkan kapasitas individu sebagai warga Indonesia dan warga dunia agar dapat berkontribusi secara produktif di masyarakat.
Memiliki kompetensi literasi yang baik dapat membantu anak berpikir kreatif, inovatif, dan lebih lanjut membantu menguasai kompetensi lainnya, termasuk mempunyai bekal dalam menghadapi gempuran informasi hoaks dan menyesatkan di era digital saat ini.
Baca Juga: Literasi Rendah, Ketersediaan Buku Sesuai Minat Siswa Minim
Capaian kompetensi literasi
Namun, sayang, sebagai fondasi kekuatan SDM, capaian kompetensi literasi siswa di Indonesia masih memprihatinkan. Bisa dikatakan, Indonesia mengalami krisis literasi.
Hasil Asesmen Nasional (AN) 2021, yang bisa dilihat dari platform Rapor Pendidikan (Merdeka Belajar episode 19), mengonfirmasi hasil Programme for International Student Assessment (PISA) selama ini dalam pengukuran kompetensi literasi.
Skor literasi membaca peserta didik di Indonesia masih rendah dan belum berubah secara signifikan di bawah rata-rata peserta didik di negara-negara Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
Hasil AN 2021 yang melibatkan lebih dari 6,5 juta peserta didik tersebut menunjukkan, satu dari dua peserta didik dari jenjang SD sederajat hingga SMA sederajat belum mencapai kompetensi minimum literasi. Terlebih, di jenjang SD dan SMP, masih banyak yang memerlukan intervensi khusus. Apalagi, siswa-siswa di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal).
Jika dilihat berdasarkan wilayah, terpotret krisis literasi terjadi hampir di semua provinsi. Pada jenjang SD, dari 34 provinsi hanya lima provinsi, yaitu Bali, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Kepulauan Riau, yang tingkat literasinya berhasil mencapai kompetensi minimum (warna hijau). Artinya, sebagian besar siswa telah mencapai batas kompetensi minimum untuk literasi membaca, tetapi masih perlu upaya mendorong lebih banyak siswa menjadi mahir.
Sementara itu, sebanyak 29 provinsi masih berkategori di bawah kompetensi minimum (warna kuning), yakni kurang dari 50 persen siswa telah mencapai batas kompetensi minimum untuk literasi membaca.
Adapun untuk jenjang SMP sedikit lebih baik dengan masuknya Provinsi Bangka Belitung, Kalimantan Timur, dan Sumatera Barat menambah posisi di kategori mencapai kompetensi minimum.
Hanya siswa SMP di Provinsi DI Yogyakarta yang telah mencapai di atas kompetensi minimum (warna biru), yaitu siswa di sekolah menunjukkan tingkat literasi membaca yang cakap dan cukup banyak siswa berada pada level mahir.
Hasil AN pada kompetensi literasi tersebut menunjukkan bahwa problem literasi rendah merata di semua wilayah, bahkan siswa-siswa di Pulau Jawa pun (Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur) yang lebih unggul dalam fasilitas tak luput dari problem fundamental ini. Oleh karena itu, menjadi urgen untuk mengupayakan perubahan literasi ini sedari anak usia dini.
Baca Juga: Memantik Minat Baca di Ruang Publik
Buku bermutu
Berbagai program dalam Merdeka Belajar telah dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebagai upaya yang berfokus pada peningkatan kompetensi literasi siswa.
Antara lain, program Kampus Mengajar sebagai bagian dari Kampus Merdeka (Episode 2) menjadikan literasi sebagai muatan utama program. Hingga saat ini, lebih dari 90.000 mahasiswa membantu 20.000 sekolah dalam menggiatkan program literasi.
Selanjutnya ada program Organisasi Penggerak (Episode 4) yang telah melibatkan 156 lembaga untuk mendampingi sekolah. Salah satu fokus kegiatan lembaga ini adalah penguatan literasi.
Kemudian, Kurikulum Merdeka (Episode 15), yang memberikan ruang lebih leluasa bagi guru untuk memanfaatkan buku-buku bacaan dalam pembelajaran. Sebab, praktik literasi menjadi kunci dalam Kurikulum Merdeka yang sedang dikembangkan.
Untuk menguatkan literasi bagi anak usia dini, terbaru Kemendikbudristek membuat terobosan melengkapi terobosan sebelumnya dengan meluncurkan Merdeka Belajar episode ke-23, yaitu Buku Bacaan Bermutu untuk Literasi Indonesia.
Kemendikbudristek menyediakan 15.356.486 eksemplar (716 judul) buku bacaan bermutu yang didistribusikan ke 5.963 PAUD (pendidikan anak usia dini) di daerah 3T dan 14.595 SD di daerah 3T serta daerah dengan nilai kompetensi literasi/numerasi merah (sebagian besar murid belum mencapai batas kompetensi minimum untuk literasi membaca).
Buku berperan penting dalam peningkatan kompetensi literasi dan penumbuhan minat baca anak. Oleh karena itu, pemilihan buku harus tepat agar upaya penumbuhan minat baca menjadi efektif.
Dalam program ini, Kemendikbudristek mendistribusikan 716 judul buku yang sudah disesuaikan dengan minat dan kemampuan baca anak, juga berkorelasi dengan keseharian anak sehingga memikat dan menyenangkan untuk dibaca.
Hal tersebut penting mengingat dari hasil Susenas Modul Sosial, Budaya, dan Pendidikan (MSBP) 2021 ditemukan hanya sebagian kecil (12,15 persen) siswa/mahasiswa yang mengunjungi perpustakaan dalam tiga bulan terakhir. Baru 7,3 persen siswa SD dan 12,9 persen siswa SMP yang mengunjungi perpustakaan.
Padahal, sebagai fasilitas penunjang pendidikan, perpustakaan diharapkan dapat menjadi media untuk meningkatkan literasi. Secara jumlah, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki 10.794 perpustakaan terakreditasi pada 2021. Sebanyak 8.662 atau 80,24 persen didominasi perpustakaan sekolah. Sayangnya, keberadaan perpustakaan sekolah belum dimanfaatkan secara optimal dan minat membaca buku-buku di perpustakaan masih minim.
Rendahnya minat baca siswa tidak lepas dari budaya membaca di lingkungan keluarga dan sekolah. Kurangnya motivasi diri dan dorongan dari orangtua serta terbatasnya sarana perpustakaan di sekolah dapat menjadi penyebabnya.
Keterbatasan sarana di perpustakaan bisa jadi karena koleksi buku-buku yang ada tidak sesuai minat dan tidak menyenangkan buat anak-anak.
Anak-anak setingkat PAUD dan SD lebih menyukai buku-buku yang berwarna dengan visual yang menarik dan tidak terlalu banyak teks. Buku bacaan yang memenuhi kaidah penjenjangan untuk modul literasi kelas I sampai kelas VI SD bisa dibuat lebih menarik.
Di samping itu, orangtua dan guru juga harus terlibat aktif dalam mendampingi anak menumbuhkan minat baca. Membacakan atau mendongengkan buku bacaan, atau membaca bersama-sama, menjadi pengalaman yang menarik buat anak.
Riset INOVASI Literacy Thematic Study (2020) terhadap 4.784 siswa kelas I-III SD menunjukkan, jika pelatihan disertai dengan buku bacaan, akan menaikkan nilai literasi siswa sebanyak 8 persen pada kemampuan membaca dan 9 persen pada kemampuan mendengar.
Namun, yang terpenting dan menjadi kunci adalah kemampuan kepala sekolah, guru, dan pustakawan dalam mengelola buku bacaan dan memanfaatkan buku bacaan tersebut untuk peningkatan minat baca dan kemampuan literasi siswa. Dengan demikian, buku sebagai pilar terpenting dalam meningkatkan pengetahuan, pertumbuhan kognitif, ataupun intelektual siswa bisa dimanfaatkan dengan optimal. (LITBANG KOMPAS)
Baca Juga: Siswa dan Guru Kurang Memanfaatkan Sumber Literasi