Siasat Industri Kamera di Tengah Meredupnya Permintaan Pasar
Produsen kamera terus berkreasi untuk memenuhi selera pasar. Salah satu produk yang dikembangkan saat ini adalah kamera instan untuk menghadirkan pengalaman fotografi baru di tengah dominasi teknologi digital.

Fujifilm Instax Mini 40.
Dalam rentang satu dasawarsa terakhir, industri kamera di seluruh dunia mengalami penurunan penjualan yang cukup dalam. Meskipun demikian, meredupnya pemasaran ini bukan menjadi penghalang bagi sejumlah produsen peralatan fotografi untuk terus berkreasi dan bertahan. Beberapa merek ternama dari Jepang dan Eropa terus berinovasi mempertahankan pendapatan bisnisnya.
Hingga saat ini, industri kamera digital di pasar global masih dikuasai sejumlah produsen dari Jepang, antara lain Canon, Sony, Nikon, Fujifilm, Panasonic, dan Olympus yang kini berganti nama menjadi OM System. Selain Jepang, masih ada merek ternama lainnya yang bermarkas di Eropa, yakni Leica dari Jerman, Hasselblad dari Swedia, dan Phase One dari Denmark.
Ketiga merek Eropa ini cenderung menyasar pasar kelas menengah-atas. Karakter produknya relatif berbeda dengan kamera pabrikan Jepang yang membidik pasar konsumen lebih umum. Dengan tipikal produk yang lebih merakyat ini membuat merek dari Jepang mampu menguasai pasar global.
Dominasi kamera pabrikan Jepang itu terlihat dari data yang ditampilkan surat kabar ekonomi Nikkei. Berdasar data November 2022, jajaran lima merek kamera teratas made in Japan menguasai 94,4 persen pasar global. Penguasaan pasar tertinggi diduduki Canon (45,8 persen), di urutan kedua ada Sony (27 persen), disusul Nikon (11,3 persen), Fujifilm di posisi keempat (5,9 persen), dan di urutan kelima diduduki Panasonic (4,4 persen).
Apabila melihat runtutan data yang lebih panjang lagi dalam satu dekade ini, sejatinya setiap produk kamera dari Jepang itu sangat kompetitif. Setiap merek memiliki kelompok konsumen masing-masing. Hanya saja, secara umum hampir semua kamera produk Jepang tengah mengalami penurunan penjualan secara global.
Berdasarkan data dari Camera and Imaging Products Association (CIPA), penjualan kamera pada 2019 hanya mencapai seperempat dari total penjualan tahun 2010. Dengan asumsi tahun 2019 adalah tahun terakhir yang situasi perekonomian dunia masih relatif baik tanpa ada pandemi Covid-19. Penjualan pada tahun 2010 mencapai 1.643 miliar yen (Rp 191 miliar), sedangkan pada tahun 2019 hanya membukukan 404 miliar yen (Rp 47 miliar).
Baca juga: ”Tipping Point” dan Peluang Produk Lawas Kembali Trendi

Penurunan permintaan global tersebut menunjukkan industri kamera digital sedang mengalami kelesuan. Uniknya, dalam situasi tersebut, Fujifilm justru mampu secara konsisten mempertahankan pendapatan bisnisnya. Data nilai penjualan Fujifilm terbaru relatif tidak berbeda jauh dengan nilai transaksi tahun 2010.
Bahkan, pada tahun 2021 total penjualan Fujifilm justru sedikit lebih tinggi dari situasi satu dekade silam. Kondisi ini berbeda dengan merek Jepang lainnya yang semuanya menunjukkan penurunan nilai transaksi penjualan yang cukup dalam.
Konsistensi bisnis Fujifilm itu bisa jadi karena institusi tersebut tetap mempertahankan unit bisnis imaging yang memproduksi peralatan fotografi dan layanan cetak foto. Selain itu, tentu saja disertai dengan terobosan-terobosan pemasaran dan juga kreativitas dalam menciptakan produk mutakhir berkualitas yang diminati masyarakat luas.
Jurus Fujifilm
Pada pembukuan tahun 2021, unit bisnis imaging Fujifilm meraup pemasukan 333,4 miliar yen (Rp 38 miliar). Apabila ditinjau dari tren pendapatan sejak tahun 2010, rata-rata penjualannya mencapai 349,8 miliar yen (Rp 40 miliar) per tahun. Nilai pendapatan rata-rata itu masih lebih tinggi dari total penjualan tahun 2010 yang sebesar 325,8 miliar yen (Rp 37 miliar). Artinya, selama satu dekade terakhir performa penjualan Fujifilm dapat dikatakan konstan dan cenderung meningkat.
Dalam rentang waktu yang sama, kompetitor merek Jepang lainnya justru mengalami penurunan nilai penjualan. Canon sebagai merek penguasa pasar yang dominan mengalami susut nilai penjualan kamera hingga 55,5 persen dalam kurun 2010-2021. Hal serupa juga dialami Sony yang pendapatannya menurun 37,6 persen. Terparah dialami Nikon yang menyusut drastis hingga sekitar 70 persen.
Tiga merek raksasa Jepang tersebut sama-sama menghadapi krisis pemasaran meskipun setiap tahun mengeluarkan produk kamera digital terbaru. Harapannya, pemutakhiran teknologi ini dapat terus memenuhi selera konsumen yang terus berubah sehingga dapat terus stabil produknya terserap pasar. Minimal bisa mempertahankan loyalitas fotografer ataupun pencinta fotografi sebagai pengguna setia produk-produk mereka.
Sejak awal booming kamera digital pada awal 2000-an, pendapatan industri kamera ditopang produk konsumer. Kamera kelas konsumer itu adalah jenis kamera saku, ringkas, mudah digunakan, dan harganya relatif terjangkau. Titik puncak kejayaan industri kamera digital tercapai pada tahun 2008. Saat itu, nilai penjualannya mencapai 2.164 miliar yen (Rp 252 miliar) dengan komposisi penjualan produknya terdiri dari 91,9 persen kamera konsumer dan 8,1 persen kamera profesional.
Situasi tersebut bertolak belakang dengan kondisi saat ini. Pada tahun 2022 penjualan kamera ditopang kelas profesional sebesar 74 persen dan kelas konsumer hanya 26 persen. Hal ini mengindikasikan selera kualitas konsumen secara global beranjak semakin membaik. Namun, apakah kondisi tersebut berlaku umum untuk semua merek kamera digital? Jawabnya tentu tidak. Tidak semua konsumen kamera itu adalah golongan menengah-atas sehingga perlu bagi setiap produsen tetap memikirkan pangsa pasar yang lebih umum. Produsen kamera tetap harus menciptakan produk yang cenderung dapat menyasar semua kelas ekonomi masyarakat.
Baca juga: Adu “Rasa” Kamera Digital dan Kamera Manual

Fujifilm Indonesia memiliki showroom dan galeri di Grand Indonesia, Jakarta, sebagai tempat pembelajaran fotografi. Di tempat ini juga dipamerkan hasil karya para fotografer komunitas dan kalangan umum yang dikawal oleh Fujifilm.
Pada titik itulah jurus pendekatan Fujifilm dalam mengarungi industri perangkat fotografi membuahkan hasil. Laporan tahunan Fujifilm 2022 menunjukkan bahwa divisi imaging memperoleh pemasukan dari 65,7 produk konsumer dan 13,2 persen produk profesional.
Strategi Fujifilm dalam merawat pasar konsumer itu terbukti mampu menopang capaian penjualan kamera secara stabil selama sepuluh tahun terakhir. Salah satu produk konsumer yang ditawarkan adalah lini produk kamera instan yang dilabeli dengan merek Instax. Target pasar kamera ini adalah generasi muda yang ditawari pengalaman fotografi lain daripada yang lain di tengah dominasi teknologi digital.
Slogan pemasaran yang dikampanyekan untuk produk konsumer itu adalah ”Don’t Just Take, Give”. Jangan hanya mengambil foto, tetapi juga berbagi foto, begitulah kira-kira maknanya. Ajakan berbagi foto kepada teman sepermainan selaras dengan tujuan pasar kamera konsumer, yaitu mudah dan menyenangkan untuk digunakan. Terlebih dengan aspek kejutan dari proses kemunculan gambar secara perlahan dari kertas film instan.
Terjangkau
Dari kacamata produsen, produk yang menguntungkan adalah yang mudah dibuat, dapat dijual dengan harga terjangkau bagi mayoritas masyarakat, dan yang terpenting adalah banyak terjual. Di sinilah kunci keberhasilan lini produk Instax.
Berdasarkan data laporan Fujifilm Holdings Corporation Integrated Report, penjualan kamera Instax mengalami pertumbuhan pada periode 2013-2018. Pada tahun 2013 hanya 1,3 juta unit kamera terjual, tetapi pada tahun 2018 penjualan produk ini meroket hingga 10 juta unit kamera. Semakin banyak kamera Instax terjual, kertas film instannya juga makin banyak pula dibeli konsumen.
Inovasi terkait produk Instax juga terus bergulir. Walaupun mengusung label ”Instax: Tangible Photography”, adaptasi dengan teknologi digital terus dilakukan. Salah satunya berupa perangkat pencetak foto instan yang dapat mencetak foto digital dari ponsel ataupun kamera digital melalui produk Instax Link.
Ada juga kamera Instax hibrida seperti Instax Mini Evo ataupun Instax SQ 10. Kamera hibrida ini menggunakan sensor digital sebagai penangkap gambar yang kemudian diproyeksikan ke lembar film instan ketika proses mencetak.

Instax Link Wide dengan kertas foto instan Wide Picture Format.
Baca juga: Analog dan Digital Menyatu dalam Instax Link Wide
Keseriusan Fujifilm dalam merawat dan mengembangkan segmen pasar Instax salah satunya tecermin dari pemberitaan The Asahi Shimbun. Dikabarkan bahwa pada tahun 2022 Fujifilm berinvestasi senilai 2 miliar yen (Rp 233 miliar) untuk membangun fasilitas produksi kertas film Instax di daerah Minami-Ashigara, di Prefektur Kanagawa, Jepang. Targetnya ialah untuk meningkatkan kapasitas produksi hingga 20 persen demi memenuhi permintaan pasar global.
Dilihat dari usianya, liniproduk Instax tahun ini berumur 25 tahun terhitung sejak diperkenalkan pada tahun 1998. Meskipun lebih tua, tren Instax tampaknya kian bersinar daripada tren kamera digital yang cenderung meredup dalam rentang 20 tahun terakhir. Teknologi analog Instax terbilang relatif berhasil beradaptasi dengan perkembangan teknologi digital. Sebaliknya, pasar kamera konsumer digital cenderung terlibat habis ponsel pintar yang dilengkapi kamera kian canggih. (LITBANG KOMPAS)