Survei Litbang ”Kompas”: Partisipasi Perempuan dalam Politik, ke Manakah Suaranya?
Posisi perempuan strategis dalam pembangunan politik. Keikutsertaan perempuan mendesain strategi partai politik dalam pemenangan pemilu tak bisa dipandang sebelah mata.
Oleh
MB Dewi Pancawati
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pemilih menunjukan jari yang telah dicelupkan ke dalam tinta saat simulasi Pemilu 2019 di Jakarta, Sabtu (6/4/2019).
Pemilihan Umum 2024 semakin dekat. Partai politik peserta pemilu semakin intens melakukan persiapan dan menyusun strategi demi memenangi pemilu. Selain menyeleksi figur-figur calon anggota legislatif, termasuk memenuhi 30 persen kuota keterwakilan perempuan, parpol juga mulai gencar menjalankan strategi untuk menarik konstituen.
Kelompok perempuan menjadi salah satu target potensial yang diincar parpol untuk mendulang suara. Perempuan melalui berbagai komunitas bisa menjadi pintu bagi partai untuk memudahkan dalam menjalankan program-programnya.
Hal ini dinilai sangat efektif, selain untuk menjalankan fungsinya dalam memberikan pendidikan politik, paling tidak menjadikan partai politik semakin dikenal masyarakat, khususnya perempuan.
Perempuan juga menjadi target potensial mengingat besarnya jumlah pemilihnya. Meski tidak terpaut jauh, jumlah pemilih perempuan lebih banyak dibandingkan dengan pemilih laki-laki.
Mengutip dari laman Kpu.go.id, Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) sebagai bahan penyusunan daftar pemilih untuk pemilu tahun 2024 berjumlah 204.656.053 jiwa. Terdiri dari laki-laki sebanyak 102.181.591 jiwa (49,92 persen) dan perempuan sebanyak 102.474.462 jiwa (50,08 persen) meliputi 38 provinsi.
Jumlah yang potensial tersebut tentu saja diharapkan tidak hanya dijadikan sebagai obyek dalam kontestasi politik lima tahunan ini, tetapi juga diberikan tempat untuk mengisi 30 persen keterwakilan di masing-masing tingkatan parlemen. Dengan demikian, perempuan juga bisa menjadi subyek yang setara dengan laki-laki untuk menyuarakan kebijakan bagi kaumnya.
Hal ini mengingat dari tiga komponen pembentuk Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) 2021, posisi terendah adalah persentase keterlibatan perempuan di parlemen, yakni di kisaran angka 21,89.
Pada tataran global, nilai Global Gender Gap Index (GGGI) tahun 2021, pada subindeks pemberdayaan politik, Indonesia berada pada peringkat ke-92 dari 156 negara. Melihat kondisi ini, kesetaraan jender masih harus terus diperjuangkan di Indonesia.
Sebagai pemilih potensial, arah referensi politik perempuan akan turut memengaruhi elektabilitas partai. Menjadi hal yang menarik untuk diperhatikan, ke manakah suara pemilih perempuan ini diberikan? Dan, apakah pemilih perempuan akan berpartisipasi aktif dalam Pemilu 2024 nanti?
Survei Nasional Kompas pada Januari 2023 memotret orientasi politik 600 responden perempuan di 38 provinsi. Hasil survei menunjukkan sebanyak 85,7 persen mengaku akan menggunakan hak suaranya dalam pemilu yang akan datang.
Angka ini tidak berbeda jauh dengan pemilih laki-laki, yang 88,7 persen akan menggunakan hak pilihnya. Meski demikian, ada sekitar 0,2 persen pemilih perempuan dalam survei ini yang mengaku tidak akan mencoblos atau berniat golput, sementara pengakuan yang sama dinyatakan oleh 1,2 persen pemilih laki-laki.
Antusiasme pemilih perempuan ini tentu saja menjadi modal sosial bagi partai untuk menaikkan elektabilitasnya. Apalagi hasil survei menunjukkan mayoritas responden perempuan (72,3 persen) akan memilih capres, partai, dan caleg sekaligus.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Suasana simulasi pemungutan suara dalam acara Simulasi Pemilu 2019: Perempuan Memiih, di Jakarta, Sabtu (6/4/2019).
Sementara yang memilih partai saja hanya 0,8 persen dan memilih caleg saja 0,5 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa partai politik harus tepat memilih capresnya dan tepat pula menempatkan calon-calon wakil rakyat dengan tokoh-tokoh pilihan yang dapat merebut hati rakyat.
Terkait elektabilitas partai di mata pemilih perempuan, tergambar PDI Perjuangan mendapat suara terbanyak, yaitu seperlima dari responden. Diikuti Partai Gerindra sebesar 12 persen, Partai Golkar 11,6 persen, kemudian Partai Demokrat 10 persen.
Berikutnya diikuti partai papan tengah, yaitu Partai Nasdem (7,3 persen), PKB (6,1 persen), PKS (4,8 persen), dan Partai Perindo (3,5 persen). Partai lainnya mendapat suara dari pemilih perempuan di bawah 3 persen, termasuk PAN dan PPP yang saat ini masih mempunyai kursi di Senayan.
Hasil survei juga menemukan, meski latar belakang partai dan caleg yang diusung menjadi pertimbangan dalam memilih, pemilih perempuan cenderung mempertimbangkan calegnya daripada parpolnya. Hampir sepertiga responden perempuan mempertimbangkan caleg yang diusung, sementara hanya 12 persen yang mempertimbangkan partai sebagai penentu pilihan.
Hal ini tentu menjadi catatan bagi parpol agar memasang caleg di setiap tingkatan dengan figur yang tepat untuk mendongkrak suara. Apalagi, jika parpol tidak memiliki program-program yang bermanfaat bagi konstituen, ketokohan figur lebih dipertimbangkan daripada nama besar partai.
Melihat preferensi politik tersebut, partai politik harus mempunyai strategi yang pas dalam menjaring suara perempuan ini. Mengoptimalkan organisasi sayap perempuan partai menjadi salah satu pintu untuk menembus dan membuka pengetahuan politik kaum perempuan. Kemandirian berpolitik menjadi bagian kehidupan berpolitik kaum perempuan yang masih perlu ditingkatkan.
Tak dapat dimungkiri, keputusan politik perempuan dalam pemilu masih dipengaruhi oleh lingkungan sosial sekitarnya. Orangtua, pasangan, tokoh masyarakat, seperti kepala desa, ketua RT, tokoh organisasi, serta tokoh agama, masih kuat memengaruhi preferensi politik perempuan.
Organisasi sayap perempuan bisa menjadi medium antara partai politik dan masyarakat sebagai lumbung perekrutan kandidat ataupun pendulang suara (vote getter) dalam pemilu. Dengan menembus berbagai komunitas perempuan, seperti PKK, pengajian, UMKM, bahkan komunitas senam dan lainnya, organisasi sayap partai bisa memainkan strateginya.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Peserta aksi mengabadikan rekan mereka yang menggelar unjuk rasa dalam memperingati Hari Perempuan Internasional di depan Kantor DPRD Jawa Tengah, Kota Semarang, Rabu (8/3/2023). Mereka melakukan aksi solidaritas untuk menyuarakan berbagai persoalan tentang isu perempuan dalam berbagai sektor, antara lain sosial, budaya, ekonomi, lingkungan, dan politik.
Apalagi, masih ada sekitar 17 persen pemilih perempuan temuan survei Kompas yang belum menentukan pilihan (undecided voters). Apabila dibedah berdasarkan usia, kelompok ini tampak merata di semua kategori usia dari 17 tahun hingga 65 tahun.
Namun, sebagian besar (32 persen) berada di kelompok usia 50-65 tahun. Undecided voters ini juga sebagian besar (62,1 persen) berlatar belakang pendidikan dasar dan 43,7 persen dari kelompok ekonomi bawah.
Kelompok-kelompok yang belum menentukan pilihan ini bisa menjadi target sasaran bagi parpol untuk menjalankan program-program sekaligus memberikan pendidikan politik dan memberdayakan perempuan agar terwujud kemandirian politik.
Dengan demikian, posisi strategis perempuan dalam pembangunan politik dan partisipasinya dapat digunakan untuk meningkatkan kesetaraan jender di Tanah Air. (LITBANG KOMPAS)