Pertaruhan Rusia-Ukraina dalam Pertempuran Bakhmut
Nama Bakhmut kini menjadi penanda baru perebutan wilayah antara Rusia dan Ukraina. Masing-masing berebut menguasai kota dengan tujuan berbeda. Apakah penguasaan Bakhmut bisa menjadi titik balik dalam perang ini?

Pemandangan Kota Bakhmut di wilayah Donetsk, Ukraina yang menjadi medan pertempuran hebat antara Rusia dan Ukraina (9/12/2022).
Sudah sekitar enam bulan ini penguasaan wilayah oleh Rusia di Ukraina tak bergerak maju. Garis depan pasukan kedua negara sama-sama tertahan di wilayah yang membujur dari utara di Kharkiv ke selatan di Provinsi Donetsk, Luhansk hingga Kherson sepanjang sekitar 1.000 km.
Upaya Rusia yang membombardir sarana infrastruktur sipil di Ukraina sejak Oktober 2022 hingga hari ini sudah tak lagi mempan memukul mundur pasukan Ukraina. Semula, dengan taktik menyerang dukungan logistik dan sarana energi Ukraina di belakang garis depan, Rusia berharap ada pelemahan dukungan bagi pasukan Ukraina yang bertempur dengan gigih di garis depan.
Bahkan ibu kota Kyiv yang sebelumnya tak tersentuh dampak perang secara langsung juga tak luput dari gempuran rudal presisi. Kamis kemarin (9/3/2023), ada 81 rudal jelajah dan 8 drone kamikaze diluncurkan ke seluruh kota-kota Ukraina termasuk ke Kyiv. Itu artinya sudah lebih dari sekitar 1.100 rudal diluncurkan Rusia secara besar-besaran sejak sejak 10 Oktober 2022, dengan sasaran infrastruktur militer, energi dan listrik Ukraina.
Bahkan saat kunjungan Presiden AS Joe Biden, 20 Februari 2023 lalu, sirene terjadinya serangan udara berbunyi sehingga memaksa rombongan Presiden Joe Biden dan Presiden Volodymyr Zelenskyy berlindung.
Enam bulan terakhir juga menjadi ajang pembuktian kekuatan mobilisasi pasukan Rusia yang diduga Barat mencapai 1.000.000 prajurit, meski Kremlin hanya menyatakan 300.000 tentara. Jumlah tersebut disebar di sepanjang garis depan untuk memperkuat posisi pasukan Rusia, tentara bayaran Wagner, hingga milisi-milisi lokal Republik Donbas dan Republik Luhansk.

Tangkapan layar video AFPTV yang menunjukkan pemandangan udara Kota Bakhmut (27/2/2023) yang hancur akibat pertempuran sengit Rusia-Ukraina.
Namun semua upaya Rusia itu faktanya belum mampu membuat garis depan invasi militer bergeming. Kedua pihak, tampaknya telah mencapai kondisi kulminasi dimana tingkat kemampuan militer mereka cenderung kurang efektif untuk maju sembari mengalahkan musuh.
Gambaran kemampuan perang Rusia dan Ukraina di Bakhmut bisa dibilang semakin setara sebagaimana dinyatakan Direktur Intelijen Nasional AS, Avril Haines, pada Sidang Senat AS Rabu (1/3/2023). Di depan Senat AS, Haines menyatakan bahwa saat ini sedang terjadi perang daya tahan (artrition war) di mana tidak ada pihak yang memiliki keunggulan militer yang pasti. “Kendala militer Rusia termasuk kekurangan personel dan amunisi, disfungsi dalam kepemimpinan militer, kelelahan serta tantangan moral, dan tingkat korban yang tinggi,” ujar Haines.
Namun demikian pula sebaliknya, Ukraina juga sulit memperluas wilayahnya sebagaimana saat merebut Kharkiv di utara dan Kherson di selatan. Haines tidak yakin Ukraina kini dapat mengambil kembali wilayah yang diduduki Rusia dalam serangan balasan yang direncanakan pada musim semi ini karena besarnya kehilangan pasukan dan peralatan Ukraina dalam menahan serangan Rusia di Bakhmut.
Sulit dimungkiri, titik konsentrasi terpenting saat ini adalah kota kecil Bakhmut yang sebelumnya merupakan pusat administrasi Provinsi Donetsk. Wilayah seluas 41 km persegi itu menjadi fokus pergerakan kekuatan tempur terbaik Rusia dan Ukraina dan menjadi subyek terpenting saat ini dalam analisis geostrategi dan taktik militer.

Tentara Ukraina menembakkan artileri ke posisi Rusia di dekat Bakhmut, wilayah Donetsk, Ukraina, pada 20 November 2022.
Terkepung
Selama invasi Rusia, Bakhmut merupakan garis suplai logistik pasukan Ukraina untuk menopang pasukan pertahanan teritorial di wilayah tengah. Saat ini, bagian timur Bakhmut telah mampu dikuasai pasukan Rusia yang didominasi Grup Wagner, namun bagian terbesar dari pusat kota masih dikuasai pasukan Ukraina.
Pasukan Ukraina terkepung dari arah utara, timur dan selatan, dan hanya menyisakan sisi koridor barat selebar sekitar 5 km untuk suplai pasukan penguat dan logistik perang. Sejumlah analis dan media barat memperkirakan, hanya sedikit waktu lagi yang dimiliki pasukan Ukraina untuk mampu bertahan dari strategi bumi hangus yang dijalankan tentara Rusia.
Tentara Ukraina menggambarkan kondisi di Bakhmut sebagai “hell on earth” dalam upayanya mempertahankan kota. Hujan tembakan artileri, bom dan rudal terus terjadi berhari-hari tanpa henti. Namun rupanya ada tujuan strategis dibalik upaya keras mempertahankan Bakhmut. Untuk melemahkan Rusia, Bakhmut adalah ladang pembantaian yang ideal bagi militer Ukraina. Diperkirakan Rusia kehilangan hingga 500 tentara setiap hari dalam perang di Bakhmut.
Sekretaris Keamanan Nasional Ukraina, Oleksiy Danilov, mengatakan rasionya tujuh prajurit Rusia banding satu tentara Ukraina yang terbunuh di Bakhmut. Sedangkan NATO memperkirakan lima orang Rusia tewas untuk setiap orang Ukraina di Bakhmut. Secara total, Rusia diperkirakan telah kehilangan 20.000 hingga 30.000 tentara selama upaya merebut kota ini saja sejak tahun lalu.

Seorang tentara Ukraina mempersiapkan senjata untuk menghadapi pertempuran melawan militer Rusia di Bakhmut, wilayah Donetsk, Ukraina (3/3/2023).
Kepala Staf Angkatan Bersenjata AS, Jenderal Mark A. Milley dalam konferensi pers di Ukraina Defences Contact Group di Belgia (14/2/2023), menyatakan pertempuran utama memang sedang berlangsung di Bakhmut, sedangkan garis depan dari Kharkiv sampai ke Kherson cukup stabil.
“Ukraina mampu bertahan melawan tentara Rusia terutama dari Grup Wagner. Tetapi ada pertempuran yang menggerus daya tahan (artrition war) sangat signifikan dengan korban sangat tinggi, terutama di pihak Rusia. Ini adalah jenis serangan frontal, bergelombang, banyak artileri dengan tingkat korban sangat tinggi di area tertentu,” jelas Jenderal Milley.
Sementara itu dari tayangan berbagai media, tampak kota Bakhmut kini sudah nyaris hancur seluruhnya dengan mayoritas bangunan hancur atap atau dindingnya. Baik Rusia maupun Ukraina menjalankan metode menghancurkan bangunan agar tak dipakai berlindung lawan. Meski kota demikian hancur, nyatanya tak semua penduduk Bakhmut bersedia mengungsi.
Wakil Wali Kota Oleksandr Marchenko menyatakan, ada beberapa ribu warga sipil (dari semula 70.000) yang tidak mengungsi dan tinggal di tempat penampungan bawah tanah tanpa air, gas, atau listrik. "Kota ini hampir hancur. Tidak ada satu bangunan pun yang tidak tersentuh dalam perang ini," katanya sebagaimana dilaporkan BBC (9/3/2023).
Mengapa Rusia dan Ukraina tampak sama-sama habis-habisan mempertahankan Bakhmut dan mengorbankan demikian banyak pasukan untuk sebuah wilayah kota yang kecil ini?

Tentara Ukraina mengendarai tank di wilayah Chasiv Yar, Bakhmut (5/3/2023). Militer Ukraina terus bersiaga menghadapi serangan Rusia di Bakhmut.
Perebutan simbol
Lebih daripada sekadar sebuah wilayah kota, Bakhmut telah berkembang menjadi sebuah simbol martabat dan harga diri negara Rusia yang berhasil dipermalukan oleh kegagalannya menguasai Ukraina dengan cepat. Bahkan Rusia berhasil dipukul mundur di garis depan Kharkiv dan Kherson tahun lalu, termasuk keberhasilan Ukraina menyerang jembatan dan bandara di Semenanjung Crimea.
Semua perang psikologis berupa ancaman serangan nuklir sudah dilakukan, termasuk dengan memindahkan maupun uji coba rudal jelajah berhululedak nuklir “Yars”, “Satan II”, “Bulava” dan “torpedo kiamat” Poseidon. Namun berbagai ancaman itu tak menyurutkan perlawanan Ukraina dan negara Barat.
Demikian pula dari simbol kepemimpinan, Presiden Putin kini menjadi sosok yang makin terasing dari pergaulan internasional, dan diwaspadai ambisi imperiumnya. Sementara itu di sisi Ukraina, pamor Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy justru naik menjadi sosok penting dan dianggap sebagai simbol benteng demokrasi bagi Eropa.
Kondisi tersebut membuat Rusia sangat membutuhkan kemenangan di garis depan Bakhmut sebagai obat penawar rasa kecewa publik dan politisi dalam negeri Rusia. Dari sisi politik, hal itu juga merupakan langkah untuk memperkuat narasi ekspansi wilayah Rusia Raya yang diimpikan Putin kepada elite politik di Kremlin. Jika pasukan Rusia terus menerus mengalami pukulan di lapangan pertempuran, tentu kepercayaan politik kepada Putin akan terkikis.

Secara militer, memenangi perang di Bakhmut juga akan mengembalikan semangat prajurit dan dukungan dalam negeri Rusia untuk merebut kota yang lebih besar di bagian tengah Ukraina seperti Kramatorsk dan Sloviansk. Melalui penguasaan kedua kota itu, langkah logistik militer untuk ofensif ke ibu Kota Kyiv makin terbuka.
Ada pula isu tentang kelompok tentara bayaran Wagner yang menjadi pasukan inti Rusia di Bakhmut. Pemimpin Wagner yakni Yevgeny Prigozhin perlu kemenangan di Bakhmut demi reputasinya bahwa tentara Wagner asuhannya bisa melakukan pekerjaan lebih baik daripada tentara reguler Rusia. Dia telah merekrut ribuan narapidana dan menempatkan mereka ke garis depan pertempuran. Jika Prighozhin tidak berhasil, pengaruh politiknya di elite Moskow akan makin berkurang.
Di sisi lain, bagi Ukraina, Bakhmut menjadi titik perang psikologis baru setelah kemenangan strategi dalam merebut Kharkiv di utara dan Kherson di selatan. Meskipun oleh para komandan militer Bakhmut dianggap bukan merupakan wilayah yang penting untuk dipertahankan habis-habisan, namun mereka tetap mengikuti perintah Presiden Zelenskyy yang bertekad mempertahankan Bakhmut habis-habisan. Saat ini diperkirakan ada lebih dari 15.000 pasukan Ukraina di pusat kota Bakhmut.
Sebelumnya, Presiden Zelenskyy telah menjadikan kota itu sebagai lambang perlawanan. Ketika mengunjungi Washington pada Desember 2022, Zelenskyy menyebut Bakhmut sebagai "benteng moral" dan memberikan bendera Bakhmut kepada Kongres AS. "Perjuangan Bakhmut akan mengubah lintasan perang kita untuk kemerdekaan dan kebebasan," kata Zelenskyy.

Seorang prajurit unit artileri Ukraina menembak ke arah posisi Rusia di luar Bakhmut pada 8 November 2022, di tengah invasi Rusia ke Ukraina.
Perang daya tahan
Intinya, Rusia ingin melemahkan Ukraina melalui tekanan penguasaan lapangan dan menghabiskan pasukan serta amunisi Ukraina sebelum sempat melakukan penguatan kembali (reinforcement).
Kekurangan pasokan senjata canggih Rusia juga nampak dari beberapa kali Presiden Putin melakukan kunjungan ke China dan Iran untuk mencari tambahan amunisi dan rudal serta drone. Padahal, melakukan kunjungan keluar negeri dalam masa perang merupakan langkah sangat berisiko.
Baca juga: Strategi Ukraina Serang Jauh ke dalam Wilayah Rusia (I)
Sementara itu bagi Ukraina, pilihan mundur dari Bakhmut dinilai tetap memberikan banyak keuntungan. Mick Ryan, seorang ahli strategi militer dan mantan Jenderal Australia, memperkirakan Ukraina akan mundur ke zona pertahanan di wilayah Kramatorsk yang telah mereka siapkan selama delapan tahun. Kota itu berada di tempat yang lebih tinggi dan lebih dapat dipertahankan daripada Bakhmut.
“Setiap gerak maju di wilayah Kramatorsk kemungkinan besar akan sama berdarahnya bagi Rusia seperti di Bakhmut,” kata Ryan. Berita buruknya, Rusia diperkirakan mampu memperpanjang perang ini untuk mengembalikan kemampuan pasukannya.
“Putin kemungkinan besar akan mencari waktu yang menguntungkannya dan memperpanjang perang, termasuk dengan jeda pertempuran, bahkan jika itu membutuhkan waktu bertahun-tahun,” kata Haines.
Enam bulan terakhir pertempuran Rusia-Ukraina telah bergeser menjadi perang berlarut-larut (artritis war)dengan tujuan memperlemah musuh melalui habisnya pasukan, amunisi, logistik dan perubahan strategi lawan. Perang habis-habisan di Bakhmut tampaknya juga menjadi sarana bagi Rusia dan Ukraina untuk menyamarkan persiapan masing-masing negara untuk ofensif di musim semi yang saat ini sudah dimulai. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Strategi Ukraina Serang Jauh Ke dalam Wilayah Rusia (II-Habis)