Wajah Reformasi Birokrasi yang Tercoreng
Mencuatnya kasus pegawai Ditjen Pajak dengan kekayaan fantastis membuat Kementerian Keuangan kembali disorot. Bagaimana nasib reformasi birokrasi di lembaga ini?
Pasca-pemilihan presiden secara langsung tahun 2004, untuk pertama kalinya sejak reformasi bergulir, upaya mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga pemerintahan, terutama yang mengelola keuangan negara, menjadi tantangan selanjutnya yang tak kalah berat.
Praktik korupsi, kolusi, nepotisme, serta tiadanya transparansi selama Orde Baru telah mendarah daging sehingga menghadirkan pemerintahan yang profesional, akuntabel, dan transparan mendesak untuk dilakukan.
Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melalui artikel yang ditulisnya dalam buku Terobosan Baru atas Perlambatan Ekonomi: Rujukan untuk Sebuah Kebijakan Perekonomian (2020), menyebutkan kebutuhan mendesak untuk melakukan reformasi kelembagaan dilakukan dengan melaksanakan revolusi senyap (silent revolution) melalui dua agenda utama, yakni reformasi anggaran (budget reform) dan reformasi birokrasi (bureaucratic reform).
Reformasi anggaran dilakukan melalui beberapa langkah. Mulai dari mengintegrasikan anggaran rutin dengan anggaran pembangunan dan beralih menggunakan pendekatan fungsi, program, aktivitas, hingga sub-aktivitas.
Tujuannya ialah menghindari kesalahan dalam perencanaan dan tumpang-tindih anggaran. Implementasi anggaran berbasis kinerja juga diterapkan agar setiap penganggaran terukur secara jelas output dan outcome-nya.
Langkah reformasi anggaran ini diikuti pula dengan perbaikan laporan keuangan negara sebagai bentuk upaya transparansi, akuntabilitas, dan menciptakan disiplin pengelolaan fiskal.
Hal ini penting dalam memperbaiki tata kelola pemerintahan. Seluruh proses tersebut pada akhirnya menghasilkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang lengkap sesuai dengan standar akuntansi pemerintah dan best practice di dunia.
Akan tetapi, disadari bahwa reformasi anggaran tidak akan memberikan hasil yang baik jika dikelola oleh tangan-tangan yang tidak terampil dan bahkan kotor. Oleh karena itu, reformasi birokrasi menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Baca juga : Menteri PAN RB: Reformasi Birokrasi Tematik Targetkan Anggaran Kemiskinan Berdampak Optimal
Institusi awal
Kementerian Keuangan merupakan institusi awal yang menjadi percontohan dilakukannya reformasi birokrasi, khususnya di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai. Reformasi Kementerian Keuangan dinahkodai langsung oleh Sri Mulyani, sehingga menghasilkan banyak perubahan.
Upaya didahului dengan mengidentifikasi permasalahan, yang antara lain mencakup sistem penggajian yang tidak masuk akal, tingkah laku birokrasi yang koruptif, penuh konflik kepentingan, tidak memiliki integritas dan pelayanan publik yang buruk, hingga tidak dapat diandalkan dan tidak transparan.
Kemenkeu membentuk tim reformasi yang bertugas merancang, menjalankan, memonitor, dan mengubah birokrasi. Reformasi birokrasi di Kemenkeu meliputi empat aspek, yakni restrukturisasi organisasi, perampingan bisnis proses, meningkatkan kapasitas dan kompetensi sumber daya manusia, serta memperbaiki manajemen kompensasi dan remunerasi.
Dengan restrukturisasi organisasi, Badan Kebijakan Fiskal untuk pertama kalinya dibentuk. Badan ini bertanggung jawab merancang kebijakan fiskal yang koheren, yang menyatukan dan menyinergikan kebijakan penerimaan negara, belanja negara, dan pembiayaan.
Perampingan bisnis proses berorientasi pada akuntabillitas dan pelayanan publik yang lebih baik. Peningkatan kapasitas dan kompetensi pegawai Kemenkeu salah satunya dengan mengirim jajarannya bersekolah ke luar negeri untuk memperbaiki ilmu pengetahuan dan pengalaman.
Untuk meningkatkan kinerja pegawai di lingkungan Kemenkeu, pemerintah kemudian mengatur kompensasi dan remunerasi. Tahun 2007 terbit Keputusan Menteri Keuangan Nomor 289/KMK.01/2007 yang menjadi acuan pemberian Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara (TKPKN).
Dalam aturan tersebut termuat besaran TKPKN pegawai di lingkungan Kemenkeu dalam rentang Rp 1,33 juta per bulan (kelas jabatan terendah) hingga Rp 46,95 juta per bulan (kelas jabatan tertinggi).
Baca juga: Undang Tokoh Antikorupsi, Kementerian Keuangan Evaluasi Sistem Pengawasan
Tunjangan kinerja
Aturan tersebut diperbarui kembali dengan perubahan nama dari TKPKN menjadi Tunjangan Kinerja melalui Peraturan Presiden Nomor 156 Tahun 2014.
Dalam perpres baru itu terdapat kenaikan besaran tunjangan kinerja pada kelas jabatan 1 hingga 19 sebesar 10,5 persen hingga 93,6 persen. Sementara pada kelas jabatan 20 hingga 27 besarannya tetap. Rentang tunjangan kinerja menjadi berkisar Rp 2,575 juta hingga Rp 46,95 juta per bulan.
Akan tetapi, tunjangan kinerja bagi pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak besarannya diatur tersendiri dan lebih tinggi dibandingkan dengan pegawai di lingkungan Kemenkeu lainnya.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2015 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, tunjangan kinerja bagi pegawai Ditjen Pajak berada pada rentang Rp 5.361.800 di jabatan terendah hingga Rp 117.375.000 di jabatan tertinggi.
Pejabat struktural eselon I (kelas jabatan 24-27) mendapat tunjangan kinerja berkisar Rp 84,6 juta hingga Rp 117,375 juta per bulan. Pejabat struktural eselon II (kelas jabatan 20-23) mendapat tunjangan kinerja berkisar Rp 56,78 juta hingga Rp 81,94 juta.
Adapun pejabat struktural eselon III (kelas jabatan 17-19) mendapat tunjangan kinerja berkisar Rp 37,22 juta hingga Rp 46,47 juta. Tunjangan kinerja ini diberikan setiap bulan dan pajak penghasilan atas tunjangan kinerja dibebankan pada APBN.
Dalam hal realisasi penerimaan pajak melampaui target yang ditetapkan, pegawai Ditjen Pajak diberikan tunjangan kinerja lainnya dengan memperhitungkan kelebihan target penerimaan pajak yang dilampaui.
Dengan sistem kompensasi dan remunerasi yang diistimewakan ini, reformasi anggaran dan birokrasi di Kemenkeu sejatinya membuahkan hasil. Kepercayaan publik terhadap kinerja yang berurusan dengan uang negara dan integritas pejabat publik seharusnya terjaga.
Dilihat dari capaian penerimaan perpajakan sejak tahun 2004, realisasi penerimaan perpajakan bervariasi. Periode 2004-2012, realisasi penerimaan pajak di atas 95 persen, bahkan mencapai 100 persen atau lebih pada tahun 2004 dan 2008.
Pada periode 2013-2020, realisasi penerimaan pajak turun menjadi di bawah 95 persen, bahkan terendah di tahun 2015 dan 2016 dengan realisasi 83 persen.
Di tahun pertama pandemi (2020), realisasi penerimaan perpajakan hanya mencapai 91,5 persen. Baru pada tahun 2021 dan 2022, realisasi mencapai lebih dari 100 persen, yaitu masing-masing 107,2 persen dan 114 persen.
Meski penerimaan perpajakan cenderung meningkat, kecuali di tahun 2020 akibat pandemi Covid-19, rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) cenderung menurun. Dalam satu dekade terakhir, rasio pajak terhadap PDB di bawah 15 persen, bahkan pada periode 2019-2021 angkanya di bawah 10 persen. Hal ini menggambarkan di tengah membesarnya skala perekonomian nasional, porsi pajak yang berhasil dihimpun justru mengecil.
Hal ini masih menjadi pekerjaan berat Kemenkeu untuk meningkatkan penerimaan negara. Tugas itu menjadi semakin berat dengan rusaknya kepercayaan publik terhadap lembaga ini sejak kasus pamer kekayaan oleh pejabat di lingkungan tersebut menyeruak. Kondisi ini harus menjadi momentum untuk melakukan reformasi birokrasi jilid kedua dengan lebih tegas, menyeluruh, dan berkeadilan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Kepercayaan Masyarakat pada Institusi Pajak Bisa Tergerus