Survei "Kompas" : Publik Lebih Ingin Memilih Caleg Langsung
Survei ”Kompas” menunjukkan, rata-rata 78 persen responden pemilih partai politik cenderung lebih ingin memilih calon anggota legislatif secara langsung seperti yang dipraktikkan pada sistem pemilu proporsional terbuka.
Oleh
YOHAN WAHYU
·5 menit baca
Kesempatan untuk menentukan calon legislatif yang didukung saat pemilu cenderung menjadi pilihan publik. Kedaulatan pemilih lebih dirasakan ketika bisa menentukan sendiri wakil rakyat yang dipercayanya dibandingkan menyerahkan sepenuhnya hal itu ke partai politik. Meski demikian, publik juga menempatkan relasi partai politik dan calon legislatif sebagai sesuatu yang tidak bisa dipisahkan.
Catatan ini terekam dari hasil survei tatap muka Litbang Kompas periode Januari 2023. Di tengah wacana yang mengemuka terkait perubahan sistem pemilu legislatif, dari proporsional daftar terbuka menjadi kembali ke sistem proporsional tertutup, yang kini tengah diuji materi di Mahkamah Konstitusi, hasil survei ini menegaskan publik tetap lebih nyaman dengan sistem proporsional terbuka.
Separuh lebih responden (67,1 persen) dalam survei ini menyatakan lebih cocok untuk memilih sendiri secara langsung calon anggota legislatif dari daftar pilihan saat pemilu nanti dibandingkan menyerahkan pada partai untuk menentukan calon anggota legislatif terpilih. Hanya 17 persen responden yang lebih ingin menyerahkan sepenuhnya urusan terpilihnya calon anggota legislatif ini ke partai politik.
Menentukan calon anggota legislatif secara langsung oleh pemilih memang menjadi kekhasan dari sistem pemilu proporsional terbuka. Merujuk Pasal 353 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, secara teknis, di sistem ini pemilih bisa memilih dengan mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik, dan/atau nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota.
Sistem proporsional dengan daftar terbuka ini sebenarnya pertama kali diterapkan di Pemilu 2004. Saat itu penerapannya masih setengah terbuka karena pemilih tetap mengutamakan mencoblos partai politik, tetapi diberi kesempatan memilih calon legislatif. Pilihan terhadap calon legislatif tak otomatis jadi suara bagi calon legislatif untuk meraih kursi. Kursi tetap ditentukan berdasar nomor urut calon legislatif di masing-masing partai politik.
Praktik sistem pemilu proporsional terbuka secara penuh dijalankan mulai Pemilu 2009. Hal ini berpijak dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008, yang memutuskan penerapan sistem pemilu proporsional terbuka. MK memutuskan penentuan siapa yang berhak menduduki kursi yang diraih partai politik, yakni merujuk pada siapa calon legislatif di partai tersebut yang meraih suara terbanyak.
Saat ini, Mahkamah Konstitusi tengah menangani permohonan uji materi terkait sistem pemilu proporsional terbuka yang diatur dalam UU 7/2017 tentang Pemilu. Pemohon meminta MK memutus kembali ke sistem proporsional tertutup.
Sejumlah pihak menolak wacana perubahan sistem pemilu ini, bahkan delapan fraksi di DPR RI sudah menyatakan secara bersama menolak penerapan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024.
Delapan fraksi itu adalah Fraksi Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan. Hanya Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang setuju dengan penerapan kembali sistem proporsional tertutup atau pemilih hanya mencoblos gambar partai di pemilu (Kompas, 4/1/2023).
Sikap mayoritas fraksi ini sebenarnya juga cerminan dari suara konstituen mereka. Dari delapan fraksi yang menolak perubahan sistem pemilu dari terbuka menjadi tertutup, sebagian besar pemilihnya juga lebih ingin memilih caleg secara langsung saat pemilu nanti. Rata-rata 78 persen responden pemilih partai politik cenderung lebih memilih caleg secara langsung seperti yang dipraktikkan dalam sistem pemilu proporsional terbuka.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Para perwakilan pimpinan partai politik dan pimpinan KPU dalam acara Pengundian dan Penetapan Nomor Partai Politik Peserta Pemilihan Umum 2024 di halaman Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Rabu (14/12/2022)
Responden pemilih PKB tercatat paling besar yang mendukung pilihan caleg secara langsung ini, yakni sebagai 83,1 persen. Kemudian diikuti responden pemilih Nasdem (75 persen) dan Partai Demokrat (72,1 persen). Menariknya, PDI-P yang sejauh ini menjadi satu-satunya fraksi yang setuju perubahan sistem pemilu, dari proporsional terbuka menjadi kembali tertutup, sebagian besar pemilihnya (68,8 persen) justru lebih memilih tetap proporsional terbuka dengan cara memilih secara langsung calon legislatif di pemilu.
Sikap responden pemilih dari sembilan partai politik yang ada di parlemen ini memberikan sinyal adanya keinginan yang kuat untuk mempertahankan peluang pemilih turut menentukan keterpilihan caleg dalam meraih kursi parlemen. Rata-rata sikap pemilih dari sembilan partai ini, hanya 19,7 persen yang lebih menyerahkan sepenuhnya urusan perolehan kursi ke partai politik, seperti praktik yang selama ini diterapkan di sistem pemilu proporsional tertutup.
Tentu semua akan tetap berpulang pada putusan Mahkamah konstitusi yang saat ini tengah melakukan uji materi terhadap Pasal 168 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Meskipun publik cenderung lebih memilih untuk bisa menentukan caleg secara langsung, keberadaan partai politik tetap tak dilupakan. Hasil survei merekam, dalam memberikan suaranya di pemilu, sebanyak 41,8 persen responden menjawab, partai politik dan caleg menjadi pertimbangan. Keduanya sama-sama penting bagi pemilih ketika memutuskan ke mana suaranya akan diberikan.
Hal ini menegaskan kuatnya relasi politik antara partai dan calegnya. Bagaimanapun, di UU Pemilu disebutkan, peserta pemilihan umum itu adalah partai politik. Meskipun di penerapan sistem pemilu proporsional terbuka, pamor calon legislatif memang sedang menjadi perhatian.
KOMPAS/HENDRA AGUS SETYAWAN
Monitor hitung mundur pelaksanaan Pemilu terpasang di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Jumat (27/1/2023).
Setidaknya hasil survei juga merekam, setelah pertimbangan partai dan caleg sebagai alasan memilih, pemilih yang hanya menjadikan salah satunya sebagai pertimbangan tetap ada. Pertimbangan caleg saja lebih banyak disebutkan, yakni 33,9 persen responden. Sementara responden yang hanya mempertimbangkan partai tercatat 12,6 persen responden.
Masih kuatnya partai dan caleg sekaligus menjadi pertimbangan pemilih juga tertangkap dari jawaban responden terkait teknis memilih. Sebanyak 37,9 persen responden cenderung mencoblos gambar partai dan nama caleg yang diinginkan sekaligus. Sementara responden yang mencoblos caleg saja maupun partai saja relatif berimbang, yakni sama-sama disebutkan oleh sekitar 26 persen responden.
Pada akhirnya kuatnya relasi partai politik dan caleg sebagai sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Meskipun di sistem pemilu proporsional terbuka pamor caleg lebih memiliki daya tarik, partai politik tetap menjadi acuan. Setidaknya mengutip hasil jajak pendapat Kompas sebelumnya, sistem pemilu proporsional terbuka dinilai lebih mendekatkan pemilih dengan wakil rakyat yang dipilihnya.
Bagaimanapun, sistem pemilu proporsional terbuka yang sudah diterapkan secara penuh sejak Pemilu 2009 menjadi bukti pengalaman pemilih kita yang sudah terbiasa dan nyaman untuk bisa turut serta menentukan siapa wakil rakyat yang dipercayainya secara langsung. (LITBANG KOMPAS)