Bersama-sama Menjaga Keamanan Pangan Jajanan Anak
Tingginya intensitas jajan berpotensi besar menimbulkan kerawanan di bidang kesehatan karena aktivitas ini secara konsisten menjadi salah satu penyumbang terbesar KLB keracunan pangan di Indonesia.
Berulangnya kasus kejadian luar biasa keracunan pangan yang disebabkan oleh jajanan menjadi alarm betapa rentannya anak-anak mengonsumsi makanan yang kurang aman. Untuk menanggulanginya, tak hanya mengandalkan peranan pemerintah, tetapi juga harus bersama-sama dilakukan oleh semua elemen masyarakat.
Laporan tahunan Badan Pengawas Obat dan Makanan menunjukkan jajanan selalu masuk tiga besar penyebab kejadian luar biasa keracunan pangan tahun 2017-2021. Tingkat intensitas kasus tertinggi terjadi pada 2018 dengan jumlah laporan 19 kasus, sedangkan tingkat terendah terjadi tahun 2020 dengan jumlah laporan empat kasus.
Data terlapor pada 2021 memperlihatkan jajanan merupakan penyebab kasus kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan sebesar 18 persen dari total 50 kasus yang terdata. Apabila dihitung secara rata-rata, jajanan mengambil porsi sekitar 20 persen sebagai penyumbang kasus keracunan akibat pangan.
Data tersebut bisa jadi lebih kecil dari kenyataan di lapangan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, setiap satu kasus KLB keracunan pangan yang dilaporkan hanya menggambarkan sekitar 1 persen dari situasi sesungguhnya. Artinya, masih ada sekitar 99 persen kasus lain yang tidak terlaporkan sehingga data KLB keracunan pangan bagaikan puncak gunung es.
Banyaknya warga membeli jajanan di luar rumah tergambar dari jajak pendapat Litbang Kompas pada 22-24 Februari 2023. Hasilnya, 12,3 persen responden paling sering membeli makanan di pedagang keliling. Selanjutnya, 17,4 persen responden lainnya membeli makanan di pedagang kaki lima (PKL). Tempat terbanyak yang paling sering menjadi pilihan membeli makanan di luar rumah ialah warung dengan bangunan permanen, yakni 56,2 persen.
Merunut pernyataan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), dua kelompok pedagang yang disebutkan, yaitu pedagang keliling dan PKL, dapat dimasukkan sebagai penjaja jalanan (street food). Penjaja jalanan semacam itu paling sering ditemui di lingkungan sekolah.
Sebanyak 17,3 persen responden berusia kurang dari 24 tahun membeli makanan di pedagang keliling dan 22,1 persen membeli di PKL. Apabila dijumlahkan, berarti 39,4 persen responden berusia kurang dari 24 tahun paling kerap membeli makanan di penjaja jalanan.
Persentase tersebut merupakan yang terbesar dibandingkan kelompok usia lain. Hal ini mengindikasikan kalangan muda, termasuk anak-anak, memiliki kecenderungan lebih besar untuk membeli makanan di penjaja jalanan.
Baca juga: Menjaga Keamanan Pangan dari Lingkup Rumah Tangga
Penyumbang terbesar
Tingginya intensitas jajan tersebut berpotensi besar menimbulkan kerawanan di bidang pangan. Penyebabnya, kegiatan jajan secara konsisten itu menjadi salah satu penyumbang terbesar penyebab KLB keracunan pangan di Indonesia.
Secara rata-rata, kegiatan jajan menyumbang 23,36 persen dari total KLB keracunan pangan yang terjadi pada 2019-2022. Jumlah kasus terbanyak terjadi pada 2019, dengan 23 kasus, dan menurun drastis hingga menjadi 10 kasus pada 2020. Setahun berikutnya, menurun lagi hingga menjadi 9 kasus.
Meski menunjukkan tren menurun, fenomena itu bisa jadi berkaitan dengan pandemi yang sedang menghebat. Bisa diasumsikan bahwa penurunan ini linear dengan berkurangnya kegiatan di luar rumah, termasuk belajar-mengajar di sekolah.
Asumsi itu berdasarkan data sebelum pandemi yang konsisten memperlihatkan lingkungan sekolah dan jajanan memiliki bagian cukup tinggi dalam kasus KLB keracunan pangan. Berdasarkan laporan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2017-2019, lembaga pendidikan dan asrama sekolah selalu menjadi tempat terbanyak kedua terjadinya kasus KLB keracunan pangan.
Rata-rata setiap tahun terjadi laporan kasus di lembaga edukasi ini hingga sekitar 34 persen dari 186 kasus yang ada. Komoditas jajanannya rata-rata menyumbang kasus KLB keracunan pangan hingga 23,7 persen.
Penyebab keracunan akibat pangan selalu merujuk pada tingkat cemaran. Ada tiga jenis cemaran yang mengontaminasi makanan, yakni mikrobiologi, kimia, dan fisik. Dari ketiganya, cemaran mikrobiologis paling kerap menjadi biang keladi KLB keracunan pangan.
Laporan BPOM tahun 2021 menunjukkan 48 persen kasus KLB keracunan pangan diduga akibat cemaran mikrobiologi. Sebesar 10 persen lainnya telah dikonfirmasi akibat cemaran bakteri, seperti Bacillus cereus, Salmonella, Vibrio parahaemolyticus, Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli. Salmonella, diketahui penyebab utama penyakit tifus yang menyerang usus, sedangkan E coli menyebabkan diare parah hingga infeksi saluran kemih.
Cemaran mikrobiologi paling sering disebabkan proses pengolahan yang kurang higienis, seperti pembuatan sejumlah produk jajanan yang dilakukan tanpa sarung tangan. Padahal, kontaminasi E coli dapat terjadi saat pekerja tak mencuci tangan dengan baik setelah dari toilet. Selain itu, kebersihan peralatan, higienitas, dan kualitas bahan pangan juga menjadi faktor penentu tinggi-rendahnya cemaran mikrobiologis pada produk pangan yang diolah.
Baca juga: Kesadaran Publik Memilih Pangan Aman
Hanya saja, upaya kontrol terhadap higienitas dan keamanan produk pangan olahan itu tidak mudah. Banyaknya pedagang dan relatif mudahnya prosedur menjajakan makanan di area publik membuat upaya pemerintah mengontrol dan menertibkannya sangat terbatas.
Meskipun demikian, pemerintah tetap berupaya seoptimal mungkin menjaga keamanan pangan yang beredar di masyarakat. Salah satunya melalui Gerakan Aksi Nasional Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) yang diintegrasikan dengan program Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) sejak 2011.
Anak sekolah
Sejumlah program telah diinisiasi BPOM melalui agenda kegiatan tersebut, antara lain, Program Pembinaan Implementasi Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah. PJAS merupakan makanan dan minuman yang ditemukan di lingkungan pendidikan serta dikonsumsi harian anak sekolah. Karena berada di lingkungan sekolah, sebagian besar anak boleh jadi membeli dan mengonsumsi PJAS setiap hari.
Konsumsi jajanan di kalangan anak sekolah tersebut sudah selayaknya menjadi prioritas perhatian. Hal ini penting karena anak sekolah pada umumnya belum mengerti dan memahami cara memilih jajanan sehat dan aman.
Program-program perlindungan keamanan pangan anak tersebut berusaha melibatkan sektor-sektor terkait, terutama lembaga pendidikan. Pada 2021, BPOM melakukan intervensi keamanan PJAS terhadap 854 sekolah di 107 kabupaten/kota di Indonesia. Upaya diseminasi pemahaman keamanan pangan lebih lanjut diwujudkan melalui penerbitan Buku Pedoman PJAS untuk Pencapaian Gizi Seimbang oleh BPOM pada 2021.
Selain mengimplementasi sejumlah kebijakan dan program, BPOM juga mendorong orangtua untuk menyediakan sarapan dan bekal kepada anak. Edukasi kepada anak terkait pemilihan tempat membeli jajan juga penting dilakukan oleh orangtua.
Beberapa hal sederhana dapat menjadi penanda apakah jajanan yang dibeli aman atau tidak. Penanda itu, antara lain, jauh dari tempat sampah, parit/got, tempat berdebu, ataupun asap kendaraan bermotor. Sejumlah langkah ini diharapkan menambah kewaspadaan anak-anak dan mengurangi kebiasaan jajan sembarangan.
Baca juga: Menakar Kerugian Ekonomi akibat KLB Keracunan Pangan di Indonesia
Langkah menjaga keamanan PJAS lebih lanjut mencontoh apa yang dilakukan Jepang. Pemerintah negara itu telah lama mewajibkan sekolah-sekolah untuk menyediakan makan siang bagi murid. Kebijakan tersebut didukung oleh subsidi yang diberikan pemerintah kepada institusi pendidikan.
Dengan demikian, anak sekolah terbiasa hanya menyantap makanan yang diberikan sekolah atau orangtua. Selain itu, pengawasan serta kontrol terhadap keamanan pangan anak sekolah menjadi lebih mudah dilakukan.
Pada akhirnya, upaya menjaga keamanan pangan anak sekolah menjadi tanggung jawab semua pihak. Pemerintah tak mungkin sendirian menangani keamanan PJAS di 218.600 sekolah di seluruh Indonesia. Diperlukan sinergi dan upaya bersama lembaga pendidikan serta orangtua untuk mewujudkan keamanan pangan bagi anak sekolah. (LITBANG KOMPAS)