Menjaga Keamanan Pangan dari Lingkup Rumah Tangga
Data BPOM menyebutkan bahwa kegiatan mengonsumsi makanan secara rutin sehari-hari merupakan penyebab keracunan pangan terbesar sehingga KLB keracunan pangan umumnya terjadi di lingkup rumah tangga.
Pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam mengolah makanan yang bersih dan sehat harus terus ditingkatkan. Selain menyediakan bahan pangan yang higienis, masyarakat juga dituntut menjaga sanitasi di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini sangat penting dilakukan karena kasus kejadian luar biasa keracunan pangan banyak terjadi di lingkup rumah tangga.
Penyakit bawaan makanan atau foodborne disease menjadi salah satu penyakit yang muncul seiring dengan kebiasaan menyantap makanan atau minuman yang mengandung cemaran tanpa disadari. Kontaminan itu bisa berupa zat kimia atau agen biologis yang kerap kali tidak tampak pada makanan atau minuman yang dikonsumsi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam laporannya berjudul ”Estimates of the Global Burden of Foodborne Diseases” menyebutkan, pada 2010, sebanyak 600 juta penyakit disebabkan 31 ancaman penyakit bawaan makanan. Mayoritas 550 juta penyakit merupakan infeksi agen penyebab diare.
Di Indonesia, persoalan keamanan makanan juga menjadi beban kesehatan masyarakat meskipun sering kali tidak disadari. Makanan atau minuman mengandung cemaran, misalnya bakteri, sering kali menyebabkan sakit seperti diare yang dianggap sepele. Padahal, dalam setahun terakhir, jika ditelusuri dari pemberitaan media, setidaknya ada 23 kasus keracunan makanan yang sudah tergolong sebagai kejadian luar biasa (KLB).
Kejadian luar biasa keracunan pangan (KP) adalah peristiwa di mana ada dua orang atau lebih yang mengalami gejala sakit keracunan yang sama setelah mengonsumsi makanan atau minuman sejenis. Dengan penetapan sebagai KLB, peristiwa keracunan makanan sama berbahayanya dengan wabah penyakit lain, seperti demam berdarah, campak, dan malaria.
Berdasarkan data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), selama 2017-2021 terjadi 281 kasus KLB. Sebanyak 21.279 orang terpapar, 10.294 orang sakit, dan 24 orang meninggal akibat keracunan makanan.
Dari kasus KLB yang dilaporkan tersebut, hampir 44 persen akibat masakan rumah tangga. Sekitar 21 persen lainnya akibat konsumsi jasa boga dan 20,3 persen karena jajanan.
Dalam laporan BPOM, khusus kasus KLB akibat makanan rumah tangga kerap kali terjadi ketika ada acara besar yang melibatkan banyak orang dalam pengolahan dan penyajian makanan. Acara hajatan, pesta keluarga, atau perkumpulan masyarakat yang biasanya menyediakan masakan hasil olahan warga sendiri sangat rentan memicu kasus KLB KP. Terutama acara hajatan yang relatif sangat besar sehingga kontrol terhadap kebersihan dan keamanan pangan menjadi sangat terbatas karena banyaknya orang yang terlibat.
Baca Juga: Kesadaran Publik Memilih Pangan Aman
Lingkup rumah tangga
Data tersebut menunjukkan bahwa permasalahan keamanan makanan tidak jauh-jauh dari persoalan dapur masyarakat atau kebiasaan mengolah makanan di lingkup rumah tangga. Hal ini dipertegas dengan data BPOM yang menyebutkan bahwa kegiatan mengonsumsi makanan secara rutin sehari-hari merupakan penyebab keracunan pangan terbesar.
Jika ditelisik lebih dalam lagi, pangan rumah tangga yang menjadi penyebab keracunan biasanya tercemar oleh unsur mikrobiologi. Kontaminan mikrobiologi menjadi agen penyebab keracunan pangan paling dominan. Berdasarkan data BPOM, pada 2017 hingga 2021, mikrobiologis menjadi penyebab lebih dari 40 persen kasus KLB keracunan pangan. Cemaran mikrobiologis ini salah satunya berupa bakteri ataupun virus, seperti Bacillus cereus yang menyebabkan diare, Salmonella penyebab demam tifoid, dan Escherichia coli penyebab diare.
Bahaya keracunan pangan dari masakan rumah tangga tersebut tidak terlepas dari lemahnya kesadaran terhadap keamanan pangan di masyarakat. Pengolahan dan penyajian makanan sering kali mengabaikan kebersihan makanan, alat masak, dan lingkungan dapur. Belum lagi adanya faktor risiko lain, seperti penyimpanan makanan yang keliru, bahan makanan yang tak aman, dan pengabaian waktu kedaluwarsa.
Sejumlah penelitian menyebutkan, kebiasaan mengolah makanan oleh masyarakat yang sesuai dengan standar kebersihan dan kelayakan pangan dinilai masih kurang. Studi kasus ”Edukasi Keamanan Pangan di Dapur Rumah Tangga (2020)” terhadap masyarakat di Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar, menjadi contoh kecil dari fakta itu. Penelitian ini membandingkan pengetahuan keamanan pangan masyarakat di lingkup dapur rumah tangga sebelum dan sesudah diberi edukasi.
Sebelum diberikan edukasi, tingkat pengetahuan masyarakat terkait dengan keamanan pangan tergolong rendah. Hal ini tampak dari rendahnya kebiasaan mencuci tangan dengan benar saat memasak. Hanya 10 persen responden yang mencuci tangan dengan benar sebelum mendapat edukasi.
Lingkungan dan sanitasi
Selain pengetahuan yang terbatas, ada faktor lain yang juga turut memperparah risiko keracunan pangan di lingkup rumah tangga. Salah satunya berupa keterbatasan sarana yang memadai sehingga pengolahan makanan menjadi tidak optimal, baik dari segi kualitas masakan maupun kebersihannya. Hal ini kerap menjadi batu sandungan dalam penerapan keamanan pangan di negara-negara berkembang.
Baca Juga: Menakar Kerugian Ekonomi akibat KLB Keracunan Pangan di Indonesia
WHO menyebutkan, kemiskinan menyebabkan kurang tersedianya sarana dan prasarana yang layak untuk memastikan higienitas dan sanitasi yang terjamin. Kemiskinan juga membuat masyarakat terpaksa tinggal di lingkungan kumuh yang lebih rentan akan cemaran mikrobiologis. Problem ini juga dialami sebagian masyarakat Indonesia. Indikasinya terlihat dari sejumlah fenomena yang lekat dengan kemiskinan, seperti lingkungan tempat tinggal kumuh, kondisi dapur yang tidak layak, dan sanitasi buruk. Sejumlah keterbatasan sarana dan prasarana ini rentan memicu munculnya kasus keracunan makanan.
Di level global, sanitasi dan akses air bersih Indonesia masih jauh tertinggal. Menurut Environmental Performance Index dalam kategori sanitasi dan air minum, Indonesia menempati peringkat ke-125. Kategori ini menunjukkan sejauh mana suatu negara berhasil menjaga kesehatan masyarakat dari risiko lingkungan, seperti kualitas sanitasi dan air minum yang buruk. Posisi Indonesia masih berada di bawah negara-negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia (peringkat ke-59), Thailand (peringkat ke-63), dan Filipina (peringkat ke-110).
Meskipun secara regional posisi Indonesia masih relatif rendah, kondisi di Indonesia diupayakan terus membaik. Setidaknya penyediaan sanitasi dan air minum yang layak di Indonesia menunjukkan tren perbaikan. Berdasarkan Statistik Lingkungan Hidup, rumah tangga yang memiliki akses sanitasi layak meningkat dari 73,1 persen pada 2017 menjadi 80,29 persen pada 2021. Demikian pula dengan akses air minum layak, pada 2017 ada 87,5 persen rumah tangga yang sudah mampu mengaksesnya. Angka tersebut terus meningkat hingga pada 2021 mencapai 90,8 persen.
Tren perbaikan tersebut menjadi asa Indonesia dalam menjaga manajemen keamanan pangan (food safety). Dalam konteks keamanan pangan, maka sanitasi layak, ketersediaan air bersih, dan higienitas lingkungan perlu disatupadukan. Sanitasi layak dalam keamanan pangan tidak hanya menyangkut sarana dan prasarana pembuangan limbah rumah tangga, tetapi juga upaya untuk mencegah tercemarnya bahan pangan dari cemaran berbahaya. Hal tersebut tentu menyangkut dengan kebersihan alat dan lingkungan dapur beserta fasilitas lainnya.
Menjaga sanitasi dan higienitas akan lebih sulit ketika ada kegiatan bersama dalam pengolahan dan penyajian makanan, misalnya pada acara memasak untuk hajatan besar. Dengan banyaknya masyarakat yang terlibat dalam pengolahan makanan, tingkat kerentanan makanan terhadap cemaran menjadi sangat tinggi.
Oleh karena itu, seluruh masyarakat diharapkan kian sadar terhadap kebersihan dan keamanan pangan. Masyarakat juga dituntut peduli terhadap kebersihan di sekitar rumah dan lingkungannya agar berbagai potensi penyebab kerawanan pangan dapat terus diminimalkan.
Pemerintah pun diharapkan terus intensif dalam menyosialisasikan kesehatan dan keselamatan masyarakat terkait asupan pangan. Selain edukasi, pemerintah juga harus berupaya meningkatkan penyediaan akses sanitasi dan air bersih yang layak ke seluruh lapisan masyarakat. Dengan terbangunnya kesadaran yang tinggi dari masyarakat dan pelayanan yang optimal dari pemerintah, upaya untuk menjaga kebersihan dan keamanan pangan dapat terus diwujudkan. (LITBANG KOMPAS)