Kebiasaan Mengonsumsi Makanan Jadi, Berisiko Tinggi bagi Kesehatan
Kajian Bank Dunia menunjukkan bahwa seluruh negara dari beragam tingkatan ekonomi, mulai dari negara miskin hingga negara maju, tidak luput dari bayang-bayang ancaman kesehatan akibat asupan pangan.
Setiap pedagang ataupun produsen makanan jadi wajib memperhatikan tata laksana kesehatan pangan yang diproduksinya. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan masyarakat Indonesia yang dominan mengonsumsi makanan dan minuman dalam bentuk olahan jadi. Pemerintah pun wajib mengawasi hal ini demi menjaga keselamatan konsumen.
Kebiasaan konsumsi makanan dan minuman dalam bentuk jadi itu terlihat dari data pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS Maret 2022, setiap bulan masyarakat Indonesia membelanjakan uangnya sekitar Rp 1,32 juta untuk kebutuhan makanan dan nonmakanan.
Khusus untuk kelompok makanan, ada tiga besar pengeluaran yang mendominasi belanja masyarakat secara nasional. Terbanyak adalah belanja makanan dan minuman jadi yang tiap bulan menguasai sekitar 31 persen pengeluaran rutin kelompok makanan. Setiap bulan, rata-rata sekitar Rp 207.000 dibelanjakan setiap penduduk Indonesia untuk membeli makanan dalam bentuk siap saji. Wujudnya bisa berupa produk olahan pabrik yang dijual di warung, toko, ritel-ritel modern, ataupun produk makanan olahan yang dijajakan di rumah makan, warung kaki lima, ataupun restoran.
Pengeluaran belanja makanan selanjutnya disusul belanja rokok dan tembakau yang menyumbang sekitar 12 persen, serta belanja pangan padi-padian yang dialokasikan hampir 11 persen. Urutan belanja berikutnya disusul ikan, sayuran, telur, daging, buah-buahan, minyak, dan lain-lain dengan besaran nilai belanja masing-masing berkisar hingga 8 persen.
Alokasi proporsi belanja kelompok makanan tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia cenderung lebih menyukai konsumsi makanan dan minuman yang bersifat praktis dan cepat. Makanan yang bersifat perlu diolah lebih lanjut secara mandiri tidak mendapatkan alokasi anggaran yang relatif besar. Hal ini mengindikasikan ada kemungkinan sebagian masyarakat Indonesia tidak mau repot mengolah makanannya sendiri. Keengganan ini bisa jadi karena keterbatasan keterampilan mengolah makanan, kesibukan pekerjaan, ataupun masalah selera konsumsi sehingga membeli makanan jadi dianggap lebih tepat.
Kebiasaan membelanjakan uang untuk produk makanan dan minuman jadi tersebut tentu saja memberikan sejumlah dampak, baik secara makro maupun mikro. Secara makro perekonomian, pengeluaran masyarakat tersebut turut berkontribusi terhadap kemajuan ekonomi karena meningkatkan sisi konsumsi masyarakat. Berdasarkan data BPS pada tahun 2018-2021, produk domestik bruto (PDB) dari sisi pengeluaran sebagian besar disumbang konsumsi rumah tangga. Dari PDB rata-rata senilai Rp 15.600 triliun per tahun, sekitar Rp 8.800 triliun atau 56 persen di antaranya berasal dari konsumsi rumah tangga. Artinya, belanja masyarakat menjadi faktor yang sangat penting dalam mendorong kemajuan perekonomian nasional. Belanja produk makanan menjadi salah satu kontributor penting dalam menopang kemajuan nasional itu.
Baca juga: Rendahnya Asupan Nutrisi Masyarakat Indonesia
Secara mikro, kebiasaan belanja pangan masyarakat Indonesia tersebut memiliki sejumlah dampak secara langsung bagi individu bersangkutan, antara lain, dampak positif berupa kepraktisan saat mengonsumsi pangan sehingga tidak perlu repot dan kesulitan dalam memilih sajian makanan ataupun minuman. Selain praktis, dengan banyaknya produk yang dijual di pasaran membuat harga pangan yang dijual kompetitif sehingga cenderung murah dan terjangkau oleh semua kalangan masyarakat.
Hanya saja, kondisi tersebut secara tidak langsung menimbulkan dampak lanjutan, yakni ketergantungan. Hal ini membuat masyarakat cenderung malas mengolah makanannya secara mandiri sehingga ada kemungkinan terjadinya kekurangan nutrisi makanan dan juga potensi bahaya kesehatan akibat makanan tidak higienis.
Kurangnya nutrisi atau gizi makanan tersebut bisa jadi karena makanan pilihan konsumen cenderung berharga murah, tetapi memiliki rasa enak. Hal ini pun mendorong produsen menghasilkan produk jualan yang lebih mementingkan rasa dan tampilan menarik. Terkait kandungan nutrisi ataupun gizinya tidak menjadi priortas utama.
Ironisnya lagi, untuk menghasilkan makanan dan minuman yang berharga relatif murah ini, sebagian penjual atau pedagang kurang memperhatikan fakor kesehatan dan kebersihan dalam mengolah produk makanannya. Setali tiga uang, pemerintah pun tampaknya juga kurang memberikan pengawasan yang ketat terkait usaha-usaha atau pedagang makanan yang menjual produknya secara langsung kepada masyarakat. Akibatnya, konsumen dihadapkan pada peluang risiko kesehatan karena terpapar penyakit akibat tingkat keamanan dan kesehatan makanan yang relatif sangat rendah.
Ancaman kesehatan
Berdasarkan kajian Bank Dunia pada tahun 2019 yang bertajuk ”The Safe Food Imperative Accelerating Progress In Low- And Middle Income Countries” menunjukkan bahwa masyarakat di seluruh dunia rawan terpapar sejumlah kandungan bahaya dari makanan. Seluruh negara dari beragam tingkatan ekonomi, mulai dari negara miskin hingga negara sangat maju, tidak luput dari bayang-bayang ancaman kesehatan akibat asupan pangan.
Negara yang perekonomiannya cenderung masih tradisional dan mengandalkan basis kemajuannya pada sektor agraris memiliki potensi bahaya pada makanan berada pada rentang skala minimal hingga menengah. Pada kelompok negara kelas ekonomi rendah ini ancaman keamanan pangannya sebagian besar terkandung dalam produk budidaya peternakan dan juga racun alami yang terkontaminasi pada makanan.
Pada masyarakat kelompok negara miskin tersebut beragam ancaman bahaya makanan berhubungan dengan lingkungannya yang cenderung masih alami. Jadi, sebagian besar ancaman muncul secara alamiah. Masih tingginya ketergantungan manusia terhadap faktor lingkungannya ini membuat berbagai potensi bahaya pencemar asupan makanan cenderung relatif kecil.
Baca juga: Makanan Minim Gizi Justru Cenderung Disukai
Skala rentang bahaya yang relatif minimal tersebut selajutnya juga terjadi pada negara-negara yang sudah berada pada fase post modern. Negara yang sudah masif kemajuan ekonominya itu memiliki kesadaran yang tinggi terhadap asupan makanan yang sehat serta sumber-sumber pangan yang bersih minim pencemar.
Pada masyarakat yang sudah mapan ini, harga komoditas sudah tidak menjadi pertimbangan lagi karena sebagian besar memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi. Mekanisasi teknologi dan penerapan ilmu pengetahuan diimplementasikan untuk menghasilkan berbagai produk termasuk komoditas makanan berkualitas tinggi. Selain itu, optimalisasi industri tersebut sejalan dengan upaya kesadaran untuk menekan efek resiko dari komoditas pangan yang dihasilkan. Pada level ini, masyarakat di negara-negara sangat maju sudah mampu menekan semua siklus bahaya makanan pada level minimal terendah.
Sebaliknya, minimnya ancaman bahaya makanan tersebut relatif sulit dikondisikan pada kelompok negara-negara yang berada pada fase trasisi ekonomi menuju negera yang modern. Umumnya hal ini terjadi pada negara-negara kelas emerging market yang berada pada level lower middle income dan upper middle income.
Pada negara-negara kelas transisi ekonomi menuju negara maju tersebut berbagai hal diupayakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi secara masif. Akibatnya, sejumlah komoditas dikreasi dan dikembangkan untuk membanjiri pasaran sehingga konsumsinya terus meningkat. Tidak terkecuali produk-produk yang berhubungan dengan pangan.
Negara-negara emerging market itu didorong untuk menghasilkan komoditas pertanian yang terus meningkat. Selain itu, juga menciptakan berbagai komoditas pangan olahan untuk memenuhi permintaan domestik dan juga untuk pangsa ekspor. Masifnya industri dan perekonomian tersebut berpeluang memicu peningkatan kerawanan di bidang pangan. Berdasarkan analisa Bank Dunia, negara level transisi menuju modern ini rata-rata skala kerawanan kemanan pangannya berada pada rentang moderat, signifikan, hingga sangat rawan.
Ada sejumlah indikator kerawanan yang patut menjadi perhatian serius negara-negara emerging market itu. Di antaranya terkait zoonosis, pakan ternak yang tercemar, mikroba patogen, ternak yang terpapar penyakit, serta racun makanan yang berasal dari pestida dan zat kimia. Hal ini harus diwaspadai bersama karena sangat potensial berdampak buruk bagi konsumen di negara bersangkutan.
Indonesia sebagai negara yang berada dalam fase transisi tersebut patut untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap berbagai ancaman kerawanan pangan itu. Apalagi, hampir setiap saat di Indonesia ada temuan sejumlah kasus yang terkait kerawanan pangan yang berpotensi mengganggu kesehatan masyarakat. Satu indikasinya terlihat dari temuan kasus keracunan makanan yang terjadi setiap tahunnya.
Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan pada kurun 2018-2022, setidaknya terjadi kasus kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan di seluruh Indonesia mencapai 70 kasus setiap tahun. Fenomena ini harus menjadi perhatian serius semua pihak karena mengindikasikan bahwa ancaman bahaya makanan itu sangat nyata dan selalu mengintai keselamatan dan kesehatan masyarakat setiap saat.
Oleh karena itu, pemerintah beserta masyarakat harus membangun kesadaran bersama untuk menciptakan produk dan juga mengonsumsi produk yang aman bagi kesehatan. Pemerintah dan segenap stakeholder terkait harus memiliki konsep penyediaan pangan yang ramah bagi lingkungan agar pangan yang dihasilkan tidak mengandung bahan berbahaya yang merugikan konsumen di masa depan. Selain itu, juga harus memiliki visi yang turut merawat alam agar tidak terpapar kontaminan yang membahayakan lingkungan yang merugikan generasi mendatang. (LITBANG KOMPAS)