Survei “Kompas”: Narasi Politik Pengaruhi Elektabilitas Parpol
Parpol-parpol berlomba menguatkan narasi politik untuk menguatkan elektabilitas menjelang pemilu. Parpol mana yang lebih unggul memainkan narasi politiknya saat ini?
Oleh
M. Toto Suryaningtyas
·3 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (kanan) bertemu dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar di kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta (10/2/2023). Pertemuan itu membahas rencana kemungkinan koalisi menjelang Pemilu 2024.
Sejumlah partai politik menikmati peningkatan elektabilitas seiring kemampuan organisasi partai mengarusutamakan narasi politik mereka. Sebaliknya, parpol yang submisif dalam penguasaan narasi politik cenderung terantuk penurunan daya tarik pemilih.
Survei periodik Kompas pada 25 Januari-4 Februari 2023 memperlihatkan dampak penguasaan narasi politik masih dinikmati partai pengusung pemerintah, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Nasdem.
Elektabilitas parpol-parpol itu cenderung meningkat dalam batas tertentu seiring citra positif kinerja pemerintah. Seperti diberitakan harian ini kemarin, kepuasan terhadap kinerja pemerintah meningkat di seluruh indikator bidang pembangunan politik, hukum, ekonomi, dan kesejahteraan sosial.
Elektabilitas PDI-P sebagai pengusung utama pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin meningkat tipis 1,8 persen dari survei Oktober 2022 menjadi 22,9 persen dan masih berada di peringkat teratas. Golkar juga naik 1,1 persen dan kini menduduki peringkat ketiga dengan 9,0 persen suara pemilih. Citra Golkar kerap terwakili dari penampilan ketua umumnya, Airlangga Hartarto, yang juga banyak disebut sebagai bakal capres dari Golkar.
Sementara itu, elektabilitas Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) sedikit menurun 1,9 persen dari survei sebelumnya dan kini menjadi 14,3 persen. Pencapresan Prabowo Subianto oleh Gerindra tampaknya lebih bersifat menahan penurunan elektabilitas. Hal ini dapat dilacak dari dampak elektabilitas/perolehan suara Gerindra dari pencapresan Prabowo (efek ekor jas/coattail effect) yang relatif tetap.
Hal itu dikuatkan fakta proporsi pemilih Prabowo di Gerindra yang juga sedikit menurun dari 46,0 persen triwulan lalu menjadi 42,9 persen di Januari 2023. Publik tampaknya masih menunggu pasangan calon paling ideal untuk Prabowo, yang pada gilirannya akan turut menaikkan elektabilitas Gerindra.
Selain penurunan tipis Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo) juga sedikit menurun dari survei sebelumnya karena relatif belum ada narasi politik yang cukup kuat disuarakan selama triwulan terakhir di tengah ketatnya pergerakan tokoh elite politik saat ini. Apalagi, sebagian kecil pemilih PAN tampaknya juga terpapar pergeseran parpol akibat pilihan capres Anies Baswedan.
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Habib Aboe Bakar Alhabsyi (kiri) didampingi Wakil Ketua Majelis Syura PKS Mohamad Sohibul Iman (tengah) dan Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya (kanan) saat menutup konferensi pers di Nasdem Tower, Jakarta (3/2/2023). Partai Nasdem menerima kunjungan PKS untuk membahas Koalisi Perubahan.
Pergeseran pemilih
Kekuatan lain narasi politik parpol yang paling menonjol selama beberapa bulan terakhir adalah soal calon presiden yang diusung pada pemilu. Langkah Nasdem yang bergeming dalam pencalonan Anies Baswedan sebagai bakal capres Pemilu 2024 tampaknya cukup berhasil mengonsolidasi simpatisan Anies yang selama ini tersebar di sejumlah parpol.
Nasdem mendapat efek ekor jas Anies sehingga mengalami lompatan elektabilitas menjadi 7,3 persen dari 4,3 persen pada survei periodik Kompas Oktober 2022. Pertambahan elektabilitas sebesar 3 persen ini belum pernah dialami Nasdem sejak survei dilakukan. Elektabilitas Nasdem sebelumnya berfluktuasi landai di kisaran 2-4 persen.
Indikasi keberhasilan Nasdem mengonsolidasi suara simpatisan Anies terlihat dari kemampuan menghimpun pemilih Anies yang sebelumnya relatif tersebar di sejumlah partai kini mengelompok di Nasdem. Pada Oktober 2022, proporsi responden pemilih Anies di Nasdem hanya 4,6 persen kini melonjak jadi 22,6 persen.
Namun, keberhasilan Nasdem menghimpun simpatisan Anies itu juga membawa dampak menurunnya raihan partai lain yang selama ini menjadi basis pemilih Anies. Hal ini terutama pada parpol dengan profil komposisi pilihan pemilihnya kepada Anies cukup besar, seperti Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
DOKUMENTASI PARTAI DEMOKRAT
Anies Baswedan dan Tim Kecil Koalisi Perubahan mengunjungi Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di kantor DPP Partai Demokrat, di Jakarta, (2/2/2023).
Parpol yang paling terdampak adalah Demokrat yang dalam survei ini merosot 5,3 poin dari perolehan elektabilitas Oktober 2022. Elektabilitas Demokrat kini turun menjadi 8,7 persen dari sebelumnya 14 persen. Proporsi responden pemilih Anies di Demokrat menurun dari 18,9 persen pada Oktober 2022 menjadi 11,3 persen pada Januari 2023.
Artinya, ada selisih 7,6 persen pemilih Demokrat yang juga memilih Anies Baswedan kini hengkang dari memilih Demokrat. Di luar faktor sosok capres, Demokrat tampaknya juga terpapar dampak penangkapan Gubernur Papua Lukas Enembe, yang juga Ketua DPD Demokrat Papua, oleh KPK pada 10 Januari 2023 karena kasus dugaan korupsi.
Selain Demokrat, fenomena tergerusnya elektabilitas partai karena pergeseran pemilih capres juga dialami PKS. Dilihat dari proporsi responden PKS pemilih Anies, terlihat ada penurunan dari 19,9 persen pada Oktober 2022 jadi 17,6 persen pada Januari 2023. Seiring dengan itu, PKS juga mengalami penurunan elektabilitas dari 6,3 persen menjadi 4,8 persen.
Narasi parpol
Nasdem, Demokrat, dan PKS merupakan tiga parpol yang beberapa waktu terakhir sering berkonsolidasi untuk membentuk koalisi politik pada Pemilu 2024 nanti. Namun, hingga saat ini, deklarasi capres baru dinyatakan oleh Nasdem, sedangkan Demokrat dan PKS terlihat cenderung ragu-ragu sehingga memberi citra langkah politik yang tertahan, bahkan terkunci.
Selain aspek dampak ketokohan dan apresiasi publik, patut pula ditengok konsolidasi parpol yang gencar dilakukan akhir-akhir ini. Meski belum waktunya kampanye, sejumlah deklarasi dan pengenalan tokoh parpol mulai banyak dilakukan ke daerah-daerah. Di tingkat bawah, pawai kendaraan bermotor dalam rangka perayaan HUT parpol tampak masif dilakukan kader PDI-P dan PPP di sejumlah daerah di Jawa Tengah dan DIY.
Pawai iring-iringan bermotor, meski merupakan gaya lama, terbukti cukup efektif dalam meraih perhatian publik, minimal membangkitkan lagi romantika perjuangan PDI dan PPP di era Orde Baru. Baik narasi capres, kinerja pemerintah, maupun arak-arakan, semua berujung pada penguatan narasi politik untuk menguatkan elektabilitas menjelang pemilu. (LITBANG KOMPAS)