Survei Litbang ”Kompas”: Ruang Media Sosial Terbuka Luas, Siapa Partai Paling Diuntungkan?
Dunia maya menjadi lahan pertarungan bagi partai politik untuk menggalang dukungan. Siapa partai politik yang paling diuntungkan di media sosial?
Oleh
Rangga Eka Sakti
·5 menit baca
Tak hanya di dunia nyata, dunia maya juga menjadi lahan pertarungan bagi partai politik untuk menggalang dukungan. Hal ini diperkuat dengan tingginya intensitas penggunaan media sosial di tengah masyarakat Indonesia. Tak ayal, pertarungan politik menjelang Pemilu 2024 pun tak lepas dari pergulatan partai menguasai ruang tersebut.
Tingginya konsumsi media sosial di Indonesia ini tecermin dari hasil survei nasional yang diselenggarakan Litbang Kompas pada 25 Januari-4 Februari 2023. Hasil survei ini menunjukkan, media sosial jadi salah satu media yang paling banyak dikonsumsi masyarakat. Tingkat konsumsi media sosial ini berada di kisaran 38 persen.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Tak heran, frekuensi penggunaan media sosial di tengah masyarakat pun relatif tinggi. Lebih dari 58 persen dari responden survei menyatakan, mereka sering menggunakan media sosial dalam sehari. Bahkan, sekitar seperempat dari seluruh responden menyatakan hampir setiap saat mengakses media sosial sehari-harinya. Namun, masih ada sekitar 14 persen dari warga yang mengaku belum tentu mengakses media sosial dalam sehari.
Tingginya konsumsi media sosial oleh masyarakat ini juga tecermin dari publikasi Digital 2022 dari We Are Social dan Hootsuite. Hingga Januari 2022, media sosial digunakan oleh 191,4 juta pengguna di Indonesia.
Rata-rata setiap hari, para pengguna media sosial ini menghabiskan 3 jam 17 menit di platform jejaring sosial. Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2021, yaitu 170 juta pengguna aktif dengan rata-rata mereka menghabiskan 3 jam 14 menit di setiap hari.
Kuatnya pengaruh dari media sosial ini menunjukkan ruang di dunia digital makin terbuka sebagai medium untuk menggalang massa. Hal ini juga diperkuat dengan hasil survei Kompas kali ini yang menunjukkan ada sekitar 9,3 persen menjadikan berita daring sebagai sumber rujukan utama.
Tak ayal, tingkat penggunaan, baik media sosial maupun berita daring, jauh meninggalkan penggunaan media yang lebih konvensional, seperti radio (0,6 persen) dan media cetak (0,7 persen).
Sama halnya dengan aspek kehidupan lain, aspek politik juga turut dipengaruhi dengan perubahan lanskap media ini. Dengan makin ramai dan menguatnya peran dunia digital di kehidupan sehari-hari masyarakat, mau tak mau partai politik pun harus memanfaatkan ruang ini untuk menyampaikan pesan kepada konstituennya.
Urgensi bagi partai politik untuk hadir di ruang maya ini tampak dari hasil survei kali ini. Dari beberapa partai yang dianalisis, sebagian besar dari konstituennya menyatakan, media sosial jadi salah satu media yang paling sering dikonsumsi. Bahkan, tak sedikit partai yang konstituennya menjadikan media tersebut sebagai pilihan utama.
Di antara partai-partai yang dianalisis, PKS jadi partai dengan konstituen yang cukup aktif di dunia maya. Sebanyak 57,1 persen dari responden yang ingin memilih PKS sebagian besar pun cukup intens dalam mengakses media sosial dalam sehari.
Pasalnya, lebih dari 63 persen dari konstituen partai ini mengaku selalu atau sering menggunakan media sosial tiap harinya. Pentingnya manajemen citra dan pesan politik di ruang digital makin menguat bagi PKS ketika membandingkan dengan konsumsi media lainnya.
Sekitar 10 persen dari mereka yang ingin memilih partai ini menjadikan berita daring sebagai pilihan utama. Maka, jika dijumlahkan, para pemilih PKS yang lebih memilih mengakses media digital (berita daring dan media sosial) jauh lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang lebih memilih menonton TV (31,4 persen).
Hal serupa dialami beberapa partai, termasuk Demokrat, Gerindra, dan Perindo. Pada Partai Demokrat, jumlah konstituen yang menjadikan media sosial sebagai pilihan utama (46,3 persen) lebih banyak dibandingkan mereka yang lebih memilih menonton TV (42,6 persen).
Sama halnya dengan PKS, apabila pemilih Demokrat digabungkan dengan mereka yang memilih berita daring (10,5 persen), pengaruh propaganda di dunia maya untuk keuntungan elektoral dari partai ini tentu makin kuat.
Meskipun masih kalah dengan konstituen yang cenderung memilih menonton TV (45,5 persen), jumlah konstituen Partai Gerindra yang lebih memilih media sosial masih cukup tinggi di atas angka 40 persen. Sama halnya dengan Perindo, yang 42,9 persen dari konstituennya menjadikan media sosial sebagai pilihan utama.
Namun, nyatanya tak semua partai politik merasakan perubahan lanskap bermedia di Indonesia dalam derajat yang sama. Beberapa partai, terutama partai yang relatif mapan, tampak belum terlalu mampu memanfaatkan adanya perubahan ruang media ini. Beberapa partai yang konstituennya relatif kurang hadir dalam ranah maya ini adalah Partai Golkar, PPP, PKB, dan PDI-P.
Bagi Golkar, mungkin membangun strategi kampanye yang kuat di dunia maya belum menjadi urgensi. Pasalnya, tak sampai seperempat dari konstituennya yang menjadikan media sosial sebagai pilihan utama. Sama halnya dengan mereka yang cenderung memilih berita daring sebagai pilihan utama, yakni sebesar 4 persen.
Jika dibandingkan, angka tersebut jauh di bawah jumlah para pemilih Golkar yang lebih suka media tradisional, seperti koran dan TV, di kisaran 64 persen.
Selaras, fenomena serupa dialami PDI-P. Berdasarkan hasil survei, tak sampai sepertiga dari pemilih partai ini yang menjadikan media sosial sebagai pilihan utama. Angka tersebut terpaut banyak dengan pemilih PDI-P yang relatif lebih suka menonton TV, yakni 55,8 persen.
Kondisi yang kurang lebih sama ditemukan pada kasus PKB dan PPP, dengan hanya sekitar sepertiga dari konstituennya yang menjadikan media sosial sebagai pilihan media utamanya.
Menarik untuk diperhatikan, sebagian besar dari partai yang konstituennya tidak terlalu aktif menggunakan media sosial adalah partai-partai yang cenderung mapan atau tradisional. Tren perilaku bermedia dari calon pemilih partai-partai ini bisa menjadi indikasi ceruk pasar yang bisa disasar oleh mereka.
Pasalnya, perilaku bermedia ini erat hubungannya dengan usia. Hasil survei kali ini menunjukkan sebuah pola, yakni semakin tua usia responden, semakin jarang ia menggunakan media sosial.
Tak ayal, makin sedikitnya calon pemilih yang menjadikan media sosial sebagai pilihan utama bisa menjadi indikator bahwa pemilih dari partai politik tersebut berada di demografi yang cukup matang. Hal ini menjadi tantangan bagi partai-partai tersebut mengingat sebagian besar dari pemilih pada Pemilu 2024 masuk ke dalam demografi yang relatif muda. (LITBANG KOMPAS)