Survei Litbang "Kompas": Publik Inginkan Kedalaman Berita
Di tengah banjir informasi akibat perkembangan teknologi digital, publik masih menaruh kepercayaan terhadap perusahaan media. Kedalaman informasi di sebuah pemberitaan menjadi kebutuhan pembaca untuk dipenuhi.
Disrupsi digital membawa perubahan besar terhadap perilaku masyarakat dalam mengakses informasi. Publik memiliki akses hampir tak terbatas terhadap sumber-sumber informasi yang cepat. Tak hanya cepat, informasi saat ini juga bisa didapat secara cuma-cuma dan mudah.
Menariknya, perilaku masyarakat sebagai pembaca yang memiliki akses berlimpah ini ternyata tidak melunturkan kredibilitas masyarakat kepada perusahaan media. Publik masih menaruh kepercayaan terhadap pemberitaan media.
Hal ini tecermin dari hasil survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada 25 Januari - 4 Februari 2023. Sebanyak 70,2 persen responden masih menyatakan kepercayaan mereka terhadap perusahaan media. Adapun 19,9 persen responden mengaku tidak percaya dengan pemberitaan media.
Semakin menarik juga jika mencermati kepercayaan publik terhadap informasi yang didapat dari media formal, seperti koran, portal berita digital, radio, dan televisi dibandingkan dengan media sosial. Tak kurang dari 71,8 persen publik memercayai pemberitaan dari media formal.
Hanya 20,9 persen yang menaruh kepercayaan terhadap media sosial. Secara implisit, kepercayaan terhadap media formal didasari asumsi bahwa kaidah-kaidah jurnalistik masih tetap dipegang dalam proses produksi berita yang dilakukan oleh perusahaan media.
Tingginya kepercayaan publik ini sejalan dengan bisnis perusahaan media yang masih terus menggeliat. Jika melihat data yang dirilis oleh Dewan Pers, setidaknya ada 1.716 perusahaan media yang terverifikasi sejak 2018 hingga 2022. Jika dirata-rata, artinya ada 343 perusahaan pers yang diverifikasi setiap tahunnya.
Dari total angka di atas, sebanyak 426 merupakan media cetak, 17 media radio, 367 televisi, dan 906 media siber atau digital. Tampak bahwa media siber dalam kurun waktu lima tahun tersebut menjadi yang paling banyak jumlahnya. Sekurang-kurangnya ada 181 perusahaan pers siber yang diverifikasi oleh Dewan Pers per tahunnya.
Jumlah ini hanya sebagian kecil pertumbuhan media digital. Pasalnya, angka ini hanya media yang sudah diverifikasi dan masuk dalam data Dewan Pers. Menurut perkiraan Dewan Pers, ada sekitar 43.000 media daring di Indonesia pada tahun 2018. Tanpa melalui proses verifikasi, besar kemungkinan masih banyak lembaga pers digital yang belum memenuhi standar dan ketentuan perusahaan pers.
Proses verifikasi yang dilakukan oleh Dewan Pers berlandaskan pada aturan tentang Standar Perusahaan Pers. Sebagaimana tertulis dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 4/Peraturan-DP/III/2008, tujuan dari verifikasi ini untuk menjaga profesionalisme perusahaan pers yang berlandaskan fungsi media sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, serta lembaga ekonomi.
Kedalaman
Terus tumbuhnya jumlah media digital ini menyimpan catatan penting. Salah satu karakter media digital yang membedakannya dengan platform media lain adalah kecepatan. Sebuah peristiwa yang baru saja terjadi dapat diproduksi secara cepat menjadi konten berita yang kemudian dengan mudah disebarluaskan ke publik. Akibatnya, menjadi hal yang umum bahwa mediamedia digital berlomba untuk menjadi yang tercepat dalam memberitakan sebuah peristiwa.
Akan tetapi, pembaca terlihat tetap memiliki preferensi media yang dipilih di tengah menjamurnya portal-portal berita digital yang secara cepat dapat menghasilkan konten berita langsung atau hardnews. Di luar kecepatan, preferensi pembaca dalam memilih media didasari pula oleh bentuk konten dan kedalamannya. Artinya, pembaca tetap menuntut kelengkapan serta kedalaman informasi dan data sebuah pemberitaan.
Mariana Setyorini (39), pekerja lepas dari Yogyakarta, mengatakan, ”Kalau hardnews, dapat ditemukan di setiap media digital dengan mudah. Namun, liputan-liputan khusus yang dilengkapi data dan disajikan dalam bentuk feature lebih menarik untuk saya. Sebuah peristiwa diulas secara mendalam dari berbagai sudut pandang.”
Ia juga menilai bahwa media-media digital yang cenderung cepat biasanya belum membahas peristiwa secara mendalam. ”Saya sendiri merasa kurang karena banyak portal berita hanya akan menjawab apa dan kapan. Sering juga beritanya setengah-setengah dan tidak mengedukasi. Lebih mengena jika seluruh unsur 5W dan 1H lengkap dalam sebuah pemberitaan,” tambahnya.
Terkait dengan ragam konten yang disajikan oleh perusahaan media, hal senada juga diungkapkan oleh Patrick Ardina (31), seorang guru di Bali. ”Selain hardnews, saya juga tertarik dengan konten-konten, seperti opini, cerpen, dan editorial yang ada di media. Opini membuat saya bisa memahami pendapat dan pemikiran ahli. Editorial bisa menambah referensi isu apa yang menarik untuk diperhatikan. Kalau cerpen, karena saya senang sastra,” ujarnya
Variasi konten yang dapat menambah wawasan dan referensi ini pulalah yang membuat Patrick rela berlangganan media digital secara berbayar. Tak hanya untuk kepentingan pribadinya, referensi yang diperoleh dari media juga mendukung pekerjaannya sebagai pengajar. ”Jika ada konten dari media yang lengkap dan mendalam dan bisa dijadikan bahan ajar, saya akan membawanya ke kelas dan mendiskusikan dengan murid-murid,” tuturnya.
Dukungan
Banyaknya informasi yang terus berseliweran dalam kehidupan sehari-hari nyatanya tak membuat khalayak larut terbawa arus. Kedalaman, akurasi, dan gaya penyajian informasi yang dikemas oleh media tetap menjadi nilai penting yang diperhatikan oleh pembaca. Tampak juga unsur apa, siapa, di mana, kapan, mengapa dan bagaimana yang terbungkus dalam konsep 5W dan 1H tidak dapat ditinggalkan begitu saja hanya demi cepat dan banyaknya berita dapat diproduksi.
Bagi perusahaan pers, kepercayaan publik tersebut memberikan tantangan besar di tengah dilema pers menghadapi disrupsi digital yang berdampak pada penurunan pendapatan dan kesejahteraan pekerja media.
Pers tetap dituntut untuk terus menghadirkan nilai-nilai jurnalistik secara lengkap dan konsisten di era digital saat ini. Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu dalam wawancara tertulis, Sabtu (4/2/2023), menyatakan, pers yang profesional adalah pers yang mampu memenuhi akurasi, keberimbangan informasi, independen, dan nilai-nilai lainnya yang tercantum di Kode Etik Jurnalistik.
Baca juga: Gejala Penghindaran Berita akibat Informasi Tak Terkurasi
Lebih lanjut ditegaskan, seluruh ketentuan yang termaktub dalam Kode Etik Jurnalistik tersebut adalah prioritas yang berada dalam posisi yang setara. Tidak bisa dikatakan bahwa suatu media hendaklah akurat namun di saat yang sama boleh tidak berimbang. Prinsip-prinsip tersebut menjadi nilai dasar menjaga pers yang profesional agar tetap dapat memperoleh kepercayaan masyarakat di era digital yang lekat dengan berlimpahnya informasi.
Dengan demikian, media yang dewasa ini bergeser lebih berorientasi kepada pembaca tetap memegang tanggung jawab untuk menyajikan informasi yang lengkap dan tuntas. Pembaca tidak dapat hanya dipandang secara komoditif yang akan mendatangkan klik dan keuntungan ekonomi semata. Pasalnya, sisi ekonomi hanyalah salah satu fungsi media. Selain itu, ada peran dalam sisi pendidikan dan kontrol sosial yang tetap harus dijalankan oleh pers. (LITBANG KOMPAS)