Tantangan dan Kompleksitas Politik di Balik Evakuasi
Gempa di Turki dan Suriah menjadi salah satu yang paling parah di sepanjang sejarah kawasan tersebut. Tak hanya faktor kebencanaan, proses penanggulangan kali ini kian kompleks karena faktor lain, termasuk politik.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·4 menit baca
KH
Sebuah bangunan hancur karena gempa berkekuatan magnitudo 7,8 di Antakya, Turki, Rabu (8/2/2023). Harapan menemukan banyak penyintas memudar setelah regu penyelamat di Turki dan Suriah mencari tanda-tanda kehidupan di puing-puing ribuan bangunan yang roboh akibat bencana gempa bumi.
Guncangan gempa yang menghantam sebagian wilayah Turki dan Suriah pada 6 Februari 2023 menjadi duka bagi dunia. Korban yang jatuh dari peristiwa ini tidak main-main. Hingga 14 Februari 2023, telah ditemukan lebih dari 40.000 korban jiwa dari kedua negara yang terdampak. Jumlah tersebut menjadikan gempa ini menjadi salah satu bencana mematikan di abad ini.
Dilihat secara geografis, dampak dari gempa ini paling terasa di sepuluh provinsi di Turki bagian selatan. Beberapa provinsi ini adalah Gaziantep, Hatay, Adana, Osmaniye, Kahramanmaras, Adiyaman, Malatya, Elazig, Kilis, dan Sanliurfa. Sementara di Suriah, beberapa kota yang hancur akibat bencana tersebut adalah Aleppo, Jarabulus, Al-Bab, Arifin, Samada, Idlib, Al-Safirah, dan Dayr-Hafir.
Secara geologis, gempa ini terjadi akibat pergerakan Sesar Anatolia Timur. Dengan magnitudo gempa sebesar 7,8, ditambah gempa susulan sebesar M 7,6, akibat dari gempa ini luar biasa destruktif. Dampak dari gempa ini makin terasa dengan tingkat kedalaman yang cukup dangkal di kisaran 18 kilometer.
Sampai saat ini, proses evakuasi dan penyaluran bantuan masih terus dilakukan. Selain banyaknya reruntuhan bangunan, proses penanggulangan bencana ini juga terkendala cuaca. Sebab, bencana gempa ini terjadi di kala kawasan tersebut tengah berada di musim dingin.
Meskipun sulit, upaya penyelamatan nyatanya tidak sia-sia. Di Turki, tim evakuasi masih bisa menemukan korban-korban selamat yang telah seminggu bertahan di bawah reruntuhan bangunan.
Data terakhir menunjukkan, terdapat sekitar 8.000 korban yang berhasil diselamatkan. Meskipun begitu, harapan akan menemukan para penyintas makin tipis dengan situasi cuaca musim dingin yang kurang bersahabat.
Walau secara geografis luasan wilayah yang terdampak lebih kecil, proses penanggulangan bencana di Suriah justru lebih kompleks. Selain faktor kebencanaan dan cuaca, situasi politik jadi salah satu faktor yang justru paling menghambat proses tersebut. Bahkan, sampai saat ini berbagai pihak internasional masih sulit untuk mengirimkan bantuan ke wilayah terdampak di Suriah.
Berbeda dengan Turki yang secara politik relatif stabil, Suriah telah digempur dengan perang saudara selama lebih dari satu dekade. Pecah pada dekade 2010-an, hingga kini belum ada kata damai dari kedua belah pihak yang berseteru.
Beberapa kubu dalam pertempuran ini adalah pemerintahan Bashar al-Assad dan lima organisasi militer, yakni Syrian National Army (SNA), Ahrar al-Sham, Hay’at Tahrir al-Sham, Syrian Democratic Forces (SDF), dan ISIS.
Keruhnya perang saudara ini tidak lepas dari berbagai intervensi dari komunitas internasional. Beberapa negara, seperti China, Rusia, dan Turki, selama ini berada di sisi pemerintahan Al-Assad.
AFP/MAXAR TECHNOLOGIES
Foto satelit kombo kawasan Antakya, Turki, sebelum gempa pada 22 Desember 2022 (kiri) dan setelah gempa pada 8 Februari 2023.
D sisi lain, negara Barat, seperti Amerika Serikat, justru berada di seberang dan menganggap Al-Assad adalah seorang diktator yang telah melakukan serangkaian kekejian perang. Walhasil, dalam konteks penanggulangan bencana kali ini, kompleksitas politik terjadi dalam dua tingkatan, yakni di tingkatan internasional dan nasional.
Di tingkat internasional, terdapat perdebatan yang kini belum terurai. Di satu sisi, semua setuju warga Suriah sangat membutuhkan bantuan. Di tengah musim dingin ini, tanpa adanya pertolongan, sulit bisa membayangkan para korban bisa bertahan meskipun awalnya telah selamat dari guncangan gempa.
Di sisi lain, banyak pihak, terutama negara-negara Barat, khawatir jika nantinya bantuan justru dijadikan alat politik oleh pemerintahan Al-Assad. Bagaimanapu, pemerintahan Al-Assad masih mendapat cap buruk di komunitas internasional. Bahkan, AS dan Uni Eropa secara tegas menolak memberikan bantuan secara langsung kepada Pemerintah Suriah.
Sikap dingin ini tentu bukan tanpa alasan. Sebab, gelagat politisasi bantuan ini tercium dari seberapa kukuhnya pemerintahan Damaskus untuk mengontrol semua bantuan yang masuk ke Suriah. Tak ayal, besar kemungkinan bantuan hanya tersalurkan pada populasi yang mendukung pemerintahan saja.
Ruwetnya persoalan di tingkat internasional ini juga terjadi di tingkat nasional. Berbeda dengan Suriah bagian tengah dan selatan yang sebagian besar dikuasai oleh pemerintahan Al-Assad, wilayah utara dan barat laut menjadi daerah perebutan kekuasaan. Bahkan, kota terbesar kedua Suriah, Aleppo, kini dikuasai oleh beberapa pihak, yakni pemerintahan Damaskus, SDF, SNA, dan Hay’at Tahrir al-Sham.
Namun, konflik berkepanjangan ini telah menunjukkan, tak semua pihak terbuka dengan bantuan internasional yang datang ke wilayah mereka.
Selama ini berbagai organisasi, termasuk juga PBB, sulit untuk bisa memberikan bantuan kemanusiaan bagi korban perang. Kecurigaan bantuan sebagai intervensi atau alat untuk merebut penguasaan wilayah ini nampaknya masih bertahan hingga kini.
Selain itu, walau berseberangan dengan pemerintahan Damaskus, bukan berarti negara-negara Barat mau bekerja sama dengan organisasi yang menduduki Suriah barat laut. Bahkan, beberapa organisasi, termasuk Hay’at Tahrir al-Sham, dicap sebagai organisasi teroris.
Situasi semakin sulit akibat tertutupnya jalur yang biasanya digunakan untuk menyalurkan bantuan. Selama ini, Turki dipercaya oleh beberapa golongan yang menduduki wilayah barat laut Suriah untuk menyalurkan bantuan.
Kini, Turki yang tengah memaksimalkan upaya penanggulangan di dalam negeri dan hancurnya Bandara Hatay yang secara tradisional jadi titik penyaluran bantuan, akses bantuan menuju beberapa wilayah, seperti Idlib, makin sulit.
Tak ayal, dalam situasi darurat ini, komunitas internasional harus bisa mencari jalan keluar untuk bisa memberikan uluran tangan ke warga Suriah. Bagi korban yang terlunta, kedinginan, dan kelaparan, kematian bisa datang dalam hitungan jam saja.
Di tengah kegentingan ini, tentunya dimensi politik tetap perlu untuk dipertimbangkan agar bantuan bisa terdistribusi dengan merata dan tidak dimonopoli oleh satu pihak saja. (LITBANG KOMPAS)