Menjelang Pemilu 2024, independensi media massa kian rentan dari tarikan kepentingan politik praktis. Publik pun ragu-ragu untuk percaya, media massa bisa lepas dari situasi yang tak sejalan dengan etika jurnalistik itu.
Oleh
Toto Suryaningtyas
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Contoh surat suara dengan desain yang disederhanakan saat simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2024 di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (22/3/2022).
Keraguan publik itu tampak dari jawaban responden jajak pendapat oleh Litbang Kompas, pada 7-9 Februari lalu, yang cenderung di tengah dalam menilai kebebasan media massa nasional (koran, televisi, radio) dari pengaruh politik menjelang pemilu. Jawaban tegas bahwa media massa bebas dari kepentingan politik hanya dinyatakan sepertiga responden (35,6 persen) saat ditanya tentang sudah bebas atau belumkah media massa dari tarikan kepentingan politik, sedangkan 36 persen lainnya menjawab ”cukup bebas”.
Meski tak ada perbedaan jawaban yang signifikan, mereka yang berada di rentang usia mapan (40-55 tahun) menjawab lebih positif, cenderung meyakini adanya kondisi independensi media massa saat ini ketimbang kelompok usia lainnya. Sementara itu, kelompok usia muda (24-39 tahun) dan usia matang (di atas 55 tahun) bersikap lebih kritis, cenderung tidak yakin bahwa media massa sudah independen dari politik.
Demikian juga dilihat dari latar belakang pendidikan, kelompok responden berpendidikan tinggi menilai lebih kritis (menyatakan tidak bebas) terhadap independensi media ketimbang publik dengan latar belakang pendidikan lebih rendah. Meski demikian, di dalam proporsi responden yang berpendidikan tinggi sendiri cukup banyak pula yang menilai kondisi media massa saat ini cukup bebas dari tarikan politik.
Isu tentang independensi media massa (pers) sudah berlangsung lama sejak awal Reformasi. Harian ini pada 22 Desember 2003 memberitakan persiapan pers saat itu dalam menghadapi Pemilu 2004. Seperti diketahui, pemilu kedua era Reformasi itu memiliki lebih banyak waktu mempersiapkan berbagai hal terkait demokratisasi dan kebebasan pers ketimbang Pemilu 1999 yang lebih disesaki pemberitaan tentang reformasi.
Saat itu sudah muncul harapan agar komunitas pers ikut menjadi pengawas pemilihan umum. Dengan demikian, media massa dapat menjaga independensi dan tidak bersikap partisan dalam pemberitaan pemilu, terutama yang berkaitan dengan kegiatan kampanye. Muncul usulan agar masyarakat media, Dewan Pers, dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) lebih proaktif mengatur ihwal kampanye pemilu di media. Hal ini disebabkan ada kekhawatiran ruang publik yang jadi arena media selama pemilu dapat dikacaukan oleh para ”petualang politik yang hidup di masyarakat media”.
Kekhawatiran itu terbukti pada periode pemilu berikutnya. Jajak pendapat pada 9 Februari 2009 atau menjelang Pemilu 2009 mengungkap pandangan mayoritas publik (85,3 persen) yang menilai media cetak dan elektronik telah menjadi ruang iklan bagi partai politik. Derasnya muatan politik dalam berbagai ruang publik media telah sampai pada tahap yang mengancam independensi media sebagai sarana informasi, edukasi, dan hiburan. Maka, jadilah media massa saat itu dinilai menjadi ”bulan-bulanan” ajang kampanye para kandidat.
Penguasaan media
Kode etik jurnalistik menjelaskan bahwa independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi pihak lain, termasuk pemilik perusahaan pers. Oleh karena itu, ketika sebuah surat kabar menyatakan dukungan terhadap salah satu parpol atau calon presiden, isi pemberitaan surat kabar tersebut tetap dituntut untuk independen.
Problem media massa yang menjadi ”etalase” politik itu tak semata berpangkal pada soal akuisisi ruang media oleh kampanye politik sehingga merugikan publik secara umum, tetapi yang lebih mendasar adalah bias kepentingan yang muncul dari penguasaan media oleh politisi itu sendiri. Sebagaimana diketahui, sejumlah politisi kakap saat ini juga merupakan pemimpin partai politik yang bertarung di Pemilu 2024.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Para juru kamera televisi saat bekerja, di Jakarta, Senin (22/8/2022).
Menyitir Jurnal Dewan Pers edisi 9 Juni 2014, saat pemilu, independensi dan netralitas jurnalisme dan media di Indonesia banyak dipertanyakan publik karena keterlibatan pemilik media dalam aktivitas politik atau partai politik.
Jurnal yang mencakup rangkuman tiga penelitian ini menangkap dan memotret media konvensional ataupun daring pada kurun 1-7 November 2013 dalam rangka menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana independensi dan netralitas jurnalisme dan media di Indonesia? Temuan menunjukkan bahwa kepemilikan media massa oleh satu pengurus parpol yang ikut bertarung menunjukkan kecenderungan untuk mendukung kegiatan parpol yang diusung pemiliknya.
Ketidakindependenan dan ketidaknetralan berita politik dapat diamati dari sejumlah indikator, yaitu adanya bias pemberitaan yang cenderung membela kepentingan pemilik, adanya opini mengenai pemilik dan kelompok afiliasinya, mengandung unsur personalisasi, sensasionalisme, stereotype, juxtaposition/linkage, keberimbangan, dan persoalan akurasi. Pemberitaan cenderung membela atau menonjolkan kepentingan pemilik dan pemilik dicitrakan positif, sedangkan kecenderungan pemberitaan yang mengarah negatif pada aktor politik lainnya yang menjadi rival sang pemilik.
Kamera wartawan televisi yang disiapkan di depan lobi Gedung KPK, Jakarta, Rabu (25/11/2020).
Faktanya, sejumlah media yang disorot dalam jurnal itu masih relevan hingga menjelang pemilu saat ini, seperti Metro TV dan Media Indonesia dimiliki Surya Paloh yang adalah Ketua Umum Partai Nasdem. Adapun Hary Tanoesoedibjo yang adalah Ketua Umum Partai Perindo menguasai jaringan MNC TV, RCTI, dan Global TV.
Dalam situasi semacam ini, menjadi tidak mengherankan jika publik mempertanyakan sejauh mana media-media yang menggunakan ruang publik itu independen, tidak digunakan para pemiliknya untuk memperjuangkan kepentingan politik mereka.
Pilar demokrasi
Jajak pendapat 4 Februari 2019 pun senada temuan itu. Selain harus menghadapi beragam tantangan memilih kepentingan masyarakat atau kepentingan komersial, media massa pun harus menghadapi tekanan yang mengancam kerja profesionalnya. Tekanan dari kelompok-kelompok kepentingan dinilai hampir sepertiga bagian publik (29 persen) dan seperlima bagian responden lainnya menilai partai atau elite politik sering memobilisasi media sebagai alat propaganda.
Di sisi lain, pemerintah dinilai publik sering berupaya menekan media massa sehingga fungsi media mendorong keterlibatan masyarakat untuk mengontrol kinerja lembaga negara cenderung kurang memadai. Meski demikian, publik mengapresiasi kesungguhan pemerintah yang memperhatikan kesulitan masa depan media massa yang terdisrupsi oleh media sosial dan platform digital lainnya.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Presiden Joko Widodo menghadiri peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Gedung Serbaguna Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Deli Serdang, Sumut, Kamis (9/2/2023). Presiden menyampaikan, media arus utama sangat dibutuhkan untuk menjadi rumah penjernih informasi di era banjir informasi saat ini.
Memasuki masa penuh dinamika menjelang Pemilu 2024, publik dalam jajak pendapat terbaru menyuarakan pentingnya memberikan sanksi kepada media massa yang terindikasi terlibat dalam kepentingan politik praktis dan mengabaikan etika jurnalistik pada masa pemilu. Apalagi media massa yang justru dipakai untuk menyerang peserta pemilu lain.
Bagaimanapun, publik tetap berharap kepada media massa yang obyektif-faktual, kredibel-profesional, bebas-independen, dan adil-proporsional dalam memberitakan partai politik ataupun calon presiden. Harapannya, pers akan tetap menjadi pilar demokrasi yang kokoh memperjuangkan suara hati publik menyambut pesta demokrasi tahun depan.