Analisis Litbang ”Kompas”: Rektor Perempuan dan Kesetaraan di Perguruan Tinggi
Dunia pendidikan tinggi Indonesia semakin berwarna dengan bermunculannya rektor-rektor perempuan. Angin segar perubahan di tengah masih mengemukanya isu ketidaksetaraan jender di institusi perguruan tinggi.
Oleh
Gianie
·4 menit baca
Selang tujuh bulan dilantiknya Profesor Ova Emilia menjadi Rektor Universitas Gadjah Mada, kembali dilantik seorang akademisi perempuan menjadi rektor di Universitas Riau, Profesor Sri Indarti, pada 21 Desember 2022. Pelantikan ini menambah panjang deretan tokoh-tokoh perempuan yang mencapai pucuk kepemimpinan di kampus.
Ova Emilia akan mengemban amanah tersebut hingga 2027, sedangkan Sri Indarti hingga 2026. Di tahun sebelumnya, muncul nama Retno Agustina Ekaputri yang menjadi Rektor Universitas Bengkulu untuk periode 2021-2025.
Sebelumnya lagi juga dilantik Reini Wirahadikusumah menjadi Rektor Institut Teknologi Bandung periode 2020-2025. Ada pula Dyah Sawitri yang menjadi Rektor Universitas Gajayana, Malang, untuk periode kedua (2020-2024) serta Sri Mulyani yang menjadi Rektor Universitas Singaperbangsa, Karawang (2020-2024). Masih terdapat beberapa rektor perempuan lain yang saat ini masih menjabat, baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta.
Munculnya srikandi-srikandi kampus ini menjadi angin segar di tengah problem masih tidak setaranya akses antara perempuan dan laki-laki untuk mengenyam pendidikan tinggi. Sejatinya, perguruan tinggi yang menjadi inkubator untuk melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan memberi kesempatan yang sama bagi semua orang.
Dunia pendidikan tinggi Indonesia semakin berwarna dengan bermunculannya rektor-rektor perempuan.
Problem ketidaksetaraan jender tidak hanya terjadi di tingkat pendidikan tinggi, tetapi juga di dunia pendidikan secara umum. UNESCO menyebutkan, dua pertiga orang dewasa di seluruh dunia yang tidak bisa membaca adalah perempuan.
Meski demikian, isu ketidaksetaraan jender di perguruan tinggi yang masih berkembang di sejumlah negara juga menjadi fokus perhatian. Hal itu dapat dilihat, antara lain, dari terbatasnya kesempatan bagi perempuan untuk masuk perguruan tinggi serta masih terjadinya kekerasan terhadap mahasiswi dan staf perempuan di kampus-kampus.
Bentuk lain adalah masih rendahnya keterwakilan perempuan di posisi kepemimpinan institusi perguruan tinggi. Setelah perempuan menyelesaikan pendidikan tingginya atau sukses secara akademis, tantangan juga sangat besar bagi mereka untuk berkarier baik di dunia pendidikan maupun di luar pendidikan.
Laporan British Coucil pada Maret 2022 mengenai Gender Equality in Higher Education: Maximising Impacts menyebutkan, karier laki-laki di dunia akademis lancar di setiap jenjang. Sementara pada perempuan, karier hanya lancar atau lebih baik di tahap awal. Seiring dengan naiknya tingkatan ke posisi yang lebih tinggi, jumlahnya tidak sebanding dengan laki-laki.
Laki-laki dikatakan menerima lebih banyak kesempatan dan reward atau pengupahan yang lebih tinggi. Selain itu, dalam hal pengajaran, pengajar laki-laki secara konsisten dinilai oleh mahasiswa lebih baik dibandingkan pengajar perempuan. Masih ada anggapan pengajar perempuan tidak sekompeten pengajar laki-laki.
Bukti masih adanya kesenjangan jender di pendidikan tinggi juga terlihat dari hasil penelitian UNESCO bersama Times Higher Education (THE) yang dipublikasikan pada Maret 2022. Laporan tersebut menyebutkan, banyaknya jumlah perempuan yang mengenyam pendidikan tidak serta-merta menjadi indikator keterwakilan yang cukup di pendidikan tinggi, apalagi untuk posisi kepemimpinan.
Jumlah perempuan yang berhasil menjadi akademisi senior (profesor, dekan, dan posisi struktural lainnya) kurang dari dua perlima. Sementara jumlah perempuan yang menjadi penulis laporan riset juga masih sangat sedikit.
Kajian kepemimpinan di pendidikan tinggi menemukan tidak hanya soal praktik diskriminasi dan pengecualian dalam proses rekrutmen, seleksi, dan promosi yang dialami perempuan. Namun, juga masih ada pandangan kuat bahwa ide kepemimpinan perempuan di perguruan tinggi, bahkan di bidang lain, tidak menarik dan sulit diterima secara kultural.
Dengan kondisi demikian, salah satu rekomendasi yang disampaikan dalam laporan British Council adalah program kepemimpinan. Program kepemimpinan sangat diperlukan dan penting bagi perempuan di lingkup pendidikan tinggi untuk mendobrak dan mengonstruksi ulang norma sosial.
Perempuan semakin didorong menjadi pimpinan di perguruan tinggi. Analisis oleh THE menunjukkan, jumlah perempuan yang menduduki puncak kepemimpinan di universitas semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama di universitas-universitas terkemuka dunia.
Pada tahun 2020, terdapat 39 universitas dari 200 universitas top dunia (19 persen) yang dipimpin oleh rektor perempuan. Jumlah ini meningkat dibandingkan dua tahun sebelumnya yang hanya 34 universitas (17 persen).
Amerika Serikat menjadi negara yang paling banyak memiliki rektor perempuan pada 2020 tersebut, yakni di 13 universitas. Beberapa di antaranya adalah University of California-Berkeley, University of Pennsylvania, University of Washington, Cornell University, McGill University, University of Wisconsin-Madison, dan Brown University.
Sementara universitas yang dipimpin oleh rektor perempuan di Inggris antara lain University of Oxford, Imperial College London, dan London School of Economics and Politics Science.
Jumlah rektor perempuan jika dilihat per kawasan atau benua bervariasi. Eropa merupakan kawasan dengan peningkatan jumlah rektor perempuan yang dimilikinya cukup signifikan dalam satu dekade terakhir.
Berdasarkan laporan Asosiasi Universitas Eropa (EUA) yang memiliki anggota universitas dari 48 negara, proporsi rektor perempuan meningkat 73 persen dalam delapan tahun terakhir. Jika pada tahun 2014 baru ada 10,5 persen dari anggota EUA yang memiliki rektor perempuan, jumlahnya meningkat menjadi 18,28 persen pada tahun 2022.
Meski demikian, tetap saja jumlah rektor perempuan tidak sebanding dengan jumlah rektor laki-laki. Kondisi seperti ini pun terjadi di Indonesia. EUA memetakan setidaknya ada dua hal yang menyebabkan kondisi seperti ini.
Pertama, sulitnya perempuan mencapai jabatan guru besar (profesor), yang mana jabatan tersebut di banyak negara merupakan prasyarat untuk menjadi rektor. Kedua, masih adanya pola pikir institusi yang menolak perubahan.
Banyak hal harus dilakukan agar perempuan benar-benar bisa setara dalam kepemimpinan di institusi perguruan tinggi. Hal itu membutuhkan gerak bersama dari lingkup institusi, nasional, dan internasional. (LITBANG KOMPAS)