Di tengah tantangan, seperti menghadapi disrupsi digital, nilai dasar jurnalistik harus tetap jadi perhatian pers. Publik masih membutuhkan pers yang memegang teguh nilai-nilai profesional.
Oleh
ANDREAS YOGA PRASETYO
·3 menit baca
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyatakan, pers yang profesional adalah pers yang mampu memenuhi akurasi, keberimbangan informasi, independen, dan nilai luhur lainnya yang tercantum di Kode Etik Jurnalistik.
Harapan agar pers terus berpegang pada kode etik ini juga tecermin dari survei Kompas menyambut Hari Pers Nasional 2023. Hasil survei yang dilakukan 25 Januari-4 Februari 2023 dengan 1.202 responden yang tersebar di seluruh Indonesia ini menunjukkan, bagian terbesar responden berharap pers lebih akurat menampilkan berita (31,3 persen), lebih berimbang (15,7 persen), dan harus independen (15,5 persen).
Harapan perbaikan kinerja pers ini disampaikan responden dari berbagai latar belakang usia. Namun, jika dicermati lebih dalam, aspek akurasi informasi banyak dikeluhkan oleh kalangan dari usia muda (generasi Z dan milenial) yang lebih banyak mengakses berita daring atau dari media sosial.
Di saat bersaman, lembaga pers sedang bergulat menemukan keseimbangan baru dengan perkembangan teknologi digital. Saat ini perusahaan-perusahaan pers sedang berlomba-lomba melakukan investasi di bidang teknologi media dan lebih banyak merekrut karyawan-karyawan yang melek teknologi.
Namun, ternyata publik memiliki harapan yang lebih sederhana tentang produk pers. Seluruh konten jurnalistik, termasuk yang dikemas secara cepat, menarik, dan interaktif, tetap harus berpegang kepada nilai-nilai dasarnya seperti akurasi, keberimbangan, dan independen.
Terebih memasuki tahun politik, publik makin menuntut profesionalitas pers. Saat ini masyarakat sudah banyak dipapar informasi dan berita seputar Pemilu 2024. Karenanya, muncul harapan publik akan independensi berita, terutama terhadap politik praktis.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Pinckey Triputra, juga mengingatkan pentingnya media kembali ke jati dirinya. “Menurut standarnya jurnalistik harus netral. Karena keberpihakan yang paling ideal adalah keberpihakan pada nilai. Itu yang dicari. Jadi bukan media kemudian berpihak pada kubu tertentu, tapi berpijak pada nilai seperti kemanusiaan dan demokrasi”, ucapnya.
Memenuhi harapan
Harapan publik tersebut sejalan dengan keluhan masyarakat terhadap penerapan kode etik jurnalistik. Dalam catatan Dewan Pers pengaduan terkait kinerja pers masih terus terjadi dan menunjukkan peningkatan. Pada 2022 terdapat 691 kasus pengaduan, meningkat dari yang diadukan pada 2021 yaitu sebanyak 621 kasus.
Bentuk pelanggaran yang diadukan di 2022 cukup beragam seperti tidak memverifikasi fakta hingga terindikasi hoaks atau fitnah. Mayoritas pelanggarannya (97 persen) berasal dari konten media digital. Temuan ini boleh jadi menjawab keresahan kaum muda di survei Kompas akan kualitas berita yang mereka konsumsi dari media digital.
Baik temuan survei maupun pengaduan yang dilaporkan ke Dewan Pers dapat dipandang sebagai cerminan perbaikan kinerja pers saat ini di tengah hingar-bingarnya asupan konten dan visual ke masyarakat. Karena sudah menimbulkan kejenuhan bahkan gejala penghindaran berita, media harus segera berbenah menjaga kualitas jurnalistiknya.
Untuk memenuhi harapan publik tersebut setidaknya ada dua cara yang dapat dilakukan media. Pertama, profesionalisme pers hanya akan terjaga jika segenap insan pers bekerja profesional. Pers dapat memainkan peran strategis itu dengan selalu mengecek kebenaran fakta, selektif memilih narasumber yang kompeten, memilih judul dan sudut pandang pemberitaan yang konstruktif, dan tidak terjebak pada penggunaan clickbait.
Kedua, mendistribusikan sebanyak mungkin konten berita dari media tepercaya. “Distribusi konten dan berita berkualitas harus dilakukan juga hingga di platform media sosial,” tutur dosen Universitas Multimedia Nusantara Ignatius Haryanto. Jangan sampai masyarakat dibiarkan semakin banyak terpapar berita yang tidak akurat.
Namun, untuk mewujudkan ini perlu dukungan dari pemerintah, Dewan Pers, dan perusahaan pers. Untuk dapat mewujudkan kualitas jurnalistik, pekerja media juga membutuhkan dukungan iklim kerja, dari fasilitas kerja yang memadai, jaminan bekerja tanpa tanpa rasa takut, serta peningkatan kompetensi.
Perusahaan media juga harus tetap memperhatikan unsur pengembangan kualitas jurnalis. Hal ini tidak hanya sekadar soal keterampilan jurnalis dalam memproduksi berita, tetapi juga peningkatan kapasitas intelektual serta kesejahteraan pekerja media dan keluarganya.
Akhirnya, tuntutan publik akan pers yang profesional, juga menjadi harapan akan perbaikan kualitas pekerja media agar pers tetap dapat mengemban amanat hati nurani rakyat sesuai misi sejarah pendirian yang diembannya sebagai bagian dari perjuangan bangsa Indonesia. (LITBANG KOMPAS)