Sejumlah negara di dunia mulai menyatakan krisis pandemi Covid-19 di wilayah mereka telah berangsur usai. Optimisme yang terbangun dengan meredanya pandemi sepatutnya tetap dibarengi dengan kewaspadaan.
Oleh
Yulius Brahmantya Priambada
·4 menit baca
SAUL LOEB
Presiden Amerika Serikat Joe Biden menerima vaksin Covid-19 dosis penguat di South Court Auditorium Kantor Eksekutif Eisenhower, Washington DC, Amerika Serikat (25/10/2022). Biden mengumumkan akan mengakhiri status tanggap darurat Covid-19 di AS.
Pada Januari 2023, Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengumumkan akan mencabut status darurat kesehatan pada 11 Mei 2023. Secara simbolis, keputusan ini hendak menandai bahwa Amerika Serikat sudah menang bertarung dengan Covid-19. Serupa dengan itu, Indonesia telah mengakhiri kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM pada akhir tahun 2022.
Keputusan untuk mengakhiri masa kedaruratan pandemi Covid-19 akan mengobati kelelahan masyarakat. Bagaimana tidak, selama lebih kurang tiga tahun, seluruh dunia dipaksa membatasi ruang gerak hidup secara sangat ketat.
Tingkat keketatan suatu negara dalam mengendalikan pandemi dapat dilihat melalui Indeks Keketatan(Stringency Index). Indeks itu merupakan produk dari The Oxford Coronavirus Government Response Tracker (OxCGRT) yang diprakarsai para ilmuwan Our World in Data Project.
Ada sembilan parameter yang digunakan sebagai landasan Stringency Index, yaitu penutupan sekolah, penutupan tempat kerja, pembatalan acara publik, pembatasan pertemuan publik, penutupan angkutan umum, persyaratan stay-at-home, penyediaan informasi publik, pembatasan pergerakan internal, dan pengendalian perjalanan internasional. Indeks tersebut menggunakan skala 1 sampai 100. Semakin tinggi nilainya berarti semakin ketat respons suatu negara terhadap pandemi.
MAWAR KUSUMA WULAN/KOMPAS
Presiden Joko Widodo membuka rapat koordinasi nasional Transisi Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Tahun 2023, di Jakarta (26/1/2023). Setelah mencabut PPKM pada akhir 2022, Presiden Jokowi mengingatkan agar jajaraannya tetap waspada.
Indeks Keketatan
Berdasarkan data Stringency Index dari bulan Januari 2020 hingga Desember 2022 terhadap 10 negara, termasuk Indonesia, dapat dilihat dinamika negara-negara itu mengencangkan atau melonggarkan keketatan respons mereka terhadap pandemi.
China menjadi negara pertama yang menerapkan respons super-ketat. Pada Januari 2020, saat negara-negara lain baru menerapkan respons minimal atau bahkan belum sama sekali, China sudah mendapatkan skor indeks 69,91.
Kesadaran negara-negara lain bahwa virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 ini bukanlah virus biasa baru muncul pada Maret-April 2020. Respons negara-negara dunia mengetat secara drastis. Filipina dan India menjadi negara yang menerapkan respons paling ketat, dengan skor indeks masing-masing 100 poin. Pada masa ini pula Indonesia mengalami penerapan pembatasan paling ketat sepanjang pandemi, dengan skor indeks sebesar 80,09.
Skor indeks yang tinggi masih terus bertahan sepanjang tahun 2020 di sepuluh negara ini, dengan rata-rata skor 60,89 poin. Skor ini makin meninggi lagi pada paruh pertama 2021. Rata-rata skor indeks negara-negara itu meningkat menjadi 66,75. Skor tersebut menjadi yang paling tinggi sepanjang pandemi.
Fenomena ini tak lepas dari lonjakan angka kasus dan kematian akibat Covid-19. Pada semester I-2021, jumlah rata-rata kematian per hari adalah 11.400 jiwa, meningkat 56,2 persen dari periode sebelumnya. Periode ini sekaligus menandai puncak angka kematian akibat Covid-19.
AFP/HECTOR RETAMAL
Warga berbelanja di salah satu pasar di Wuhan, Provinsi Hubei, China (23/1/2023). Kota metropolitan itu mencuat namanya saat Covid-19 untuk pertama kalinya mulai mewabah pada akhir 2019 lalu.
Mereda
Memasuki 2022, dunia mulai melonggarkan berbagai aturan pengetatan sosial secara nyata. Inggris, sebagai pionir, menghapus aturan pembatasan bagi kedatangan luar negeri sejak 18 Maret 2022. Gejala pelonggaran itu tampak dari rata-rata skor indeks pada semester I-2022 yang turun 23,71 poin dari periode yang sama pada tahun sebelumnya, menjadi 43,04.
Keputusan untuk mengambil langkah berani ini salah satunya dilandasi oleh vaksinasi yang semakin tinggi. Tercatat 60,13 persen populasi dunia telah menerima dua dosis vaksin pada periode waktu ini.
Vaksinasi terbukti manjur menurunkan tingkat kematian akibat Covid-19. Pada semester I-2022, rata-rata penambahan kasus baru adalah 1,4 juta kasus, tetapi tingkat kematiannya 0,34 persen. Temuan ini jauh berbeda dengan kondisi pada semester I-2021, di mana tingkat rata-rata kematian adalah 2,15 persen dengan jumlah rata-rata kasus baru sebanyak 548.900 kasus per hari.
AFP/JACK GUEZ
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus berbicara pada pertemuan Komite WHO Regional Eropa di Tel Aviv, Israel (12/9/2022). Dalam laporan mingguannya, WHO menilai jumlah kasus dan kematian akibat Covid-19 terus menurun dan menyebut bahwa akhir pandemi sudah terlihat.
Menjelang akhir tahun 2022, negara-negara dunia mulai berani mengambil langkah mencabut peraturan pembatasan terkait pengendalian virus. Malaysia pada 1 Agustus 2022 mencabut pembatasan kedatangan internasional tanpa melihat status vaksinasi pendatang dari luar negeri.
Berikutnya, Jepang menghentikan pembatasan kedatangan internasional pada 11 Oktober 2022, dengan pengecualian terhadap sejumlah negara yang masih memiliki jumlah kasus positif tinggi. Setelah itu, Australia pada 18 Oktober 2022 secara resmi mencabut kewajiban isolasi mandiri bagi orang yang terinfeksi Covid-19.
China, yang sebelumnya terkenal sangat ketat menerapkan pengendalian pandemi, sejak Desember 2022 mulai melonggarkan kebijakan ”zero covid” secara bertahap. Indonesia sendiri pada 31 Desember 2022 memutuskan menghentikan penerapan PPKM dan memperbolehkan berlangsungnya kegiatan masyarakat secara normal.
Kebijakan-kebijakan itu menyumbang penurunan skor Indeks Keketatan. Rata-rata skor indeks pada semester II-2022 adalah 26,17 poin, turun 16,87 poin daripada semester sebelumnya.
Kewaspadaan
Namun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan bahwa meski masa terberat krisis akibat pandemi telah berlalu, badai ini belum benar-benar berakhir. Pada akhir Januari 2023, WHO kembali memperpanjang status darurat kesehatan publik internasional (PHEIC). Keputusan ini salah satunya disebabkan virus Covid-19 masih menyebabkan kematian dalam jumlah tinggi.
Mereka mencatat ada 170.000 kematian selama delapan minggu terakhir. WHO meminta negara-negara anggotanya tetap mengejar tingkat vaksinasi, mencatat dan melaporkan data pemantauan Covid-19, serta menjaga dan meningkatkan layanan kesehatan.
Penghentian masa kedaruratan ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, optimisme terbangun sebab negara dapat kembali memacu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang terhambat selama dua tahun. Masyarakat juga kembali dapat melakukan aktivitasnya seperti sedia kala.
Namun, di sisi lain, pengendalian virus yang belum tuntas dapat menimbulkan ancaman kembalinya pandemi di masa mendatang. Selain itu, ada kekhawatiran berakhirnya status kedaruratan akan mendorong privatisasi layanan kesehatan yang berkaitan dengan Covid-19, terutama vaksinasi dan perawatan intensif. Hal ini akan berdampak signifikan terhadap kelompok masyarakat menengah ke bawah yang selama ini dibantu oleh layanan kesehatan gratis dari pemerintah.
Optimisme yang dibangun dengan dicabutnya kebijakan PPKM di Indonesia bukan berarti perhatian terhadap Covid-19 diabaikan. Pada bulan Januari 2023, sebanyak 10.201 orang terinfeksi virus Covid-19 dan 202 orang di antaranya meninggal. Angka ini cukup untuk mengingatkan bahwa kewaspadaan harus tetap menjadi perhatian semua pihak.
Bagi masyarakat, kewaspadaan terhadap Covid-19 dan kebiasaan hidup sehat sudah sepantasnya tetap dijaga. Kebiasaan hidup sehat akan mengantisipasi penularan Covid-19 di masa mendatang sekaligus menjadi perwujudan optimisme menatap kehidupan yang makin membaik setelah pandemi. (LITBANG KOMPAS)