Survei Kompas: Antara Industri Media dan Kepercayaan Publik
Lembaga pers menghadapi dilema terkait profesialisme dan kepercayaan publik. Satu sisi, tuntutan inovasi dalam pembuatan berita memakan biaya tidak sedikit. Sisi lain, publik mulai berpaling pada berita cepat di medsos.
Oleh
Yohanes Mega Hendarto
·3 menit baca
Sejak satu dekade terakhir, industri pers arus utama menghadapi tantangan yang dipicu oleh hadirnya disrupsi digital. Tantangan ini terutama melanda surat kabar cetak, majalah, dan tabloid yang sebagian lalu beralih ke versi laman daring. Tuntutan untuk terus berinovasi tentu membutuhkan biaya produksi yang tidak sedikit.
Media cetak juga tidak dapat lagi sepenuhnya bergantung pada pemasukan yang didapatkan dari iklan. Dalam laporan UNESCO (2022), distribusi iklan di media cetak secara global turun dari 22,9 persen pada 2010 menjadi 5,7 persen tahun 2021. Berhadapan dengan itu, konten berita versi digital berbayar (paywall) dan berlangganan (subscribe) menjadi strategi bisnis yang ditempuh sejumlah media arus utama.
Pada saat yang sama, menjaga kepercayaan publik juga perlu menjadi perhatian serius bagi perusahaan pers. Obyektivitas dalam pemberitaan menjadi hal yang mesti terus diperjuangkan.
”Tantangan ini juga bukan hanya soal visual (tampilan berita) dan kecepatan, melainkan juga unsur kelengkapannya,” kata pengajar Jurnalistik di Universitas Media Nusantara, Ignatius Haryanto. ”Misalnya saja media sosial seperti Tiktok yang cepat menyebarkan informasi atau berita, tetapi isinya tidak lengkap,” ujarnya.
Media arus utama perlu menjaga unsur kelengkapan informasi dan menjadikan hal itu sebagai keunggulan dibandingkan dengan media sosial.
Selain unsur kelengkapan berita, Haryanto juga menyorot perhatian audiens terhadap independensi media dari kepentingan politik mana pun. Publik sebenarnya sadar dengan hadirnya media partisan atau yang berafiliasi dengan partai politik tertentu. Hal ini dapat menyebabkan munculnya ketidakpercayaan publik terhadap media.
Pandangan Haryanto ini senada dengan temuan survei Kompas (25 Januari-4 Februari 2023) dengan 1.202 responden di 38 provinsi. Sebanyak 70,2 persen responden mengaku masih memercayai pemberitaan di media arus utama, seperti televisi, surat kabar cetak, radio, dan berita daring. Sementara itu, 19,9 persen responden menjawab dirinya tidak percaya terhadap pemberitaan di media arus utama.
Meskipun persentase responden yang tidak memercayai media arus utama masih tergolong sedikit, hal itu tetap menjadi peringatan bagi lembaga pers. Informasi berimbang, akurat, serta tervalidasi menjadi syarat mendasar dari suatu berita sebelum disampaikan kepada masyarakat. Jika hal ini tidak dapat dipenuhi, ketidakpercayaan publik terhadap pemberitaan media massa dapat terus meningkat.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Pinckey Triputra, mengatakan, aspek netralitas media massa perlu ditafsirkan ulang sebagai keberpihakan pada nilai-nilai yang ideal. ”Jadi, bukan media yang berpihak pada kubu atau pihak tertentu, melainkan berpijak pada nilai seperti kemanusiaan dan demokrasi,” ujarnya.
Dengan beragamnya sudut pandang media massa dalam suatu isu, masyarakat justru diperkaya dan pers menjalankan tugas edukasinya.
Sumber tepercaya
Tak dapat dimungkiri, munculnya hoaks dan disinformasi turut berperan dalam memunculkan ketidakpercayaan publik terhadap media massa. Berbagai informasi yang tersebar di media sosial juga membawa tsunami informasi bagi publik. Tak heran saat ini masyarakat global pun mengalami fenomena menghindari pemberitaan (news avoidance) dan kelelahan terhadap berita (news fatigue).
Fenomena ini juga dapat dilihat dalam Reuters Digital News Report 2022 yang melaporkan, 48 persen publik global sudah tidak percaya dengan pemberitaan yang tersebar di media mana pun.
Sementara itu, untuk konteks Indonesia, dapat merujuk pada hasil survei Kompas. Sebanyak 53,2 persen responden mengaku bahwa televisi menjadi kanal berita yang paling dipercaya informasinya, diikuti media sosial. ”Televisi dapat dinikmati publik secara gratis sehingga tinggi diakses dan dipercaya publik,” kata Haryanto.
Munculnya media sosial di urutan kedua sebagai kanal berita yang dipercaya publik tentu menjadi tantangan bagi Kementerian Komunikasi dan Informatika serta polisi siber. Di media sosial, banyak akun yang menyajikan beragam informasi yang tidak melalui proses kurasi. Hoaks dan disinformasi juga paling mudah tersebar di media sosial.
Selain itu, aspek merek (brand) suatu perusahaan media pers bukan lagi hal yang menentukan kepercayaan publik dalam mengakses informasi. Ketika para responden ditanya tentang alasan utama dalam memercayai pemberitaan di media massa, berita yang memuat sumber informasi dari pihak berwenang (misalnya berisi data resmi, rilis lembaga, dan pernyataan tokoh) menjadi pertimbangan kuat bagi 34,7 persen responden. Sementara itu, merek media massa hanya dipilih oleh 6,2 persen responden.
”Fenomena konsumsi publik kini menunjukkan konsumen tidak setia lagi pada sebuah brand, tetapi memilih berdasarkan kebutuhan,” ucap Haryanto. Menurut dia, kebutuhan konsumen sangat variatif dan perusahaan media perlu melihat kebutuhan atau kepentingan setiap generasi konsumen. Misalnya, generasi Z lebih membutuhkan berita terkait dengan kemandirian finansial atau isu-isu lingkungan hidup.
Terkait dengan sumber berita yang tepercaya, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Nyarwi Ahmad, mengatakan, lembaga pers perlu mendekatkan diri dengan pembaca selaku konsumen informasi. ”Masyarakat perlu diedukasi soal konten jurnalistik yang baik, perlu dikenalkan layaknya menawarkan makanan yang sehat,” ujarnya. (LITBANG KOMPAS)