Kemajuan teknologi mengubah cara masyarakat mengonsumsi informasi. Inovasi teknologi dan mengenali perilaku baru audiens memberi tantangan besar bagi media.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·4 menit baca
Perkembangan teknologi dan perubahan situasi ekonomi membawa tantangan bagi organisasi media. Untuk bisa bertahan, organisasi media massa harus bisa berinovasi dan beradaptasi dengan teknologi baru yang mengubah cara masyarakat mengonsumsi informasi. Pada saat yang bersamaan, media juga perlu dekat dengan publik agar bisa membentuk ceruk audiens.
Tantangan yang dihadapi organisasi media di Indonesia ini tertangkap dari hasil telaah European Journalism Centre (ECJ). Laporan ECJ menunjukkan, iklim industri media di Indonesia sesungguhnya belum sehat. Salah satu indikatornya dapat dilihat dari paradoks organisasi media, yakni membeludaknya jumlah perusahaan pers, tetapi tak diimbangi dengan tingkat profesionalisme yang mumpuni.
Sebagai gambaran, pada 2020, Dewan Pers memperkirakan ada lebih dari 43.000 perusahaan media di Indonesia. Namun, hingga per Januari 2023, hanya ada sekitar 1.700 media yang berhasil diverifikasi lembaga tersebut.
Hal ini menunjukkan jumlah media yang sudah terverifikasi oleh Dewan Pers tak sampai 10 persen. Selaras dengan hal itu, dari sekitar 100.000 jurnalis di Indonesia, diperkirakan hanya 11 persen di antara mereka yang bisa dikategorikan sebagai jurnalis profesional.
Selain persoalan profesionalisme, terdapat tekanan dari sisi bisnis yang harus dihadapi perusahaan media. Hasil analisis ECJ terhadap perkembangan ekosistem media di Indonesia menunjukkan perusahaan pers, terutama media cetak, mengalami tekanan luar biasa akibat kenaikan ongkos produksi saat turunnya jumlah pembaca. Belasan media harus gulung tikar dalam waktu lima tahun terakhir.
Gejala ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga menjadi fenomena global. Merujuk hasil analisis Digital News Reuters Institute pada Januari 2023, tak sampai separuh (44 persen) dari petinggi perusahaan pers di dunia yang merasa yakin dengan situasi bisnis media setahun kedepan.
Di samping itu, nyaris seperlima responden survei mengaku tak yakin dengan masa depan industri tersebut. Tak mengherankan, dari sekitar 44 persen yang masih yakin dengan industri media, mereka mengaku akan tetap melakukan efisiensi, termasuk pengurangan karyawan dalam beberapa waktu ke depan.
Strategi
Untuk bisa bertahan, organisasi media mau tak mau harus memutar otak. Strategi pertama ialah melakukan konvergensi. Secara singkat, strategi ini merujuk pada langkah untuk mengintegrasikan teknologi, platform, hingga bisnis media yang berbeda menjadi satu.
Kesimpulan ini terlihat juga dari hasil survei, yakni para petinggi media terus konsisten menggarap distribusi konten pemberitaan di media sosial. Selama setahun ke depan, hasil riset Reuters Institute (2023) menunjukkan, 67 persen dari petinggi media menyatakan ingin berinvestasi lebih banyak pada format video digital. Hal ini dilakukan untuk menangkap pasar anak muda seiring meledaknya jumlah pengguna Tiktok.
Selain mendorong konvergensi, tampaknya para pengusaha media juga melihat bisnis berlangganan sebagai model yang tepat untuk bertahan di tengah tekanan. Hasil survei dari Reuters menunjukkan sebagian besar dari perusahaan media di dunia melihat pendapatan dari langganan akan meningkat setahun kedepan. Bahkan, seperlima dari mereka menyatakan yakin bahwa sumber pendapatan itu meningkat tajam dalam waktu dekat.
Pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi UGM, Nyarwi Ahmad, menyatakan, disrupsi teknologi turut mengubah lanskap media hingga menggerus segmen konsumen. ”Bagaimanapun harus diciptakan sumber-sumber pendapatan dari masyarakat. Maka, media perlu meningkatkan kesadaran di tengah masyarakat untuk mau membeli konten pemberitaan sebagai kebutuhan,” ujar Ahmad. Sebab, meskipun kini semua orang bisa membuat konten ”berita”, produk yang dihasilkan masih sulit memenuhi standar dan etika jurnalistik yang dianut institusi media.
Akan tetapi, tidak ada strategi tunggal bagi institusi media untuk menghadapi disrupsi. Selain inovasi dan perbaikan model bisnis, pemerintah juga perlu hadir dalam bentuk regulasi. Diperlukan regulasi yang bisa memberikan posisi tawar lebih bagi institusi media sehingga mendorong perusahaan raksasa digital untuk bekerja sama dengan media arus utama secara adil.
Sejumlah negara seperti Australia, melalui Act 2021 (The Treasury Laws Amandement), sebetulnya sudah mencoba untuk menerapkan regulasi terkait hal ini. Akan tetapi, mereka masih menemui kegagalan. Salah satu penyebabnya, platform digital memiliki model bisnis sendiri dan merasa tak tergantung dengan industri media arus utama.
Tantangan
Kendati menawarkan potensi finansial yang besar, model bisnis langganan mengandung tantangan. Pasalnya, kunci dari keberhasilan model ini ialah kepercayaan publik terhadap pemberitaan dan media sehingga mereka mau mengonsumsi dan membeli produk media. Masalahnya, walau kepercayaan pada media masih relatif tinggi, muncul fenomena news avoidance di tengah masyarakat secara global.
Lantas, bagaimana media bisa meyakinkan para audiensnya? Salah satunya ialah media membuka diri kepada masyarakat. Ibarat tempat makan, media bisa menunjukkan ”dapur redaksi” sebagai tempat pemberitaan ”dimasak”, siapa saja ”koki” yang meramu, dan bagaimana kualitas ”makanan” dikontrol.
Akhirnya, masyarakat bisa yakin bahwa makanan yang dikonsumsi itu tak hanya enak tetapi juga bernutrisi. ”Jadi,tidak hanya menghadirkan produk, tetapi media juga perlu menunjukkan kepada audiens bagaimana produk dihadirkan dengan cara serius, dengan mengontrol kualitasnya, dilakukan orang-orang kredibel, terdidik, dan tersertifikasi,” tutur Ahmad.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Pinckey Triputra, menyatakan, menciptakan ceruk audiens ini bisa menjadi strategi yang membuat media bertahan di tengah perebutan atensi khalayak. ”Salah satunya dengan menghadirkan konten yang memuat konteks isu atau kelokalan tertentu,” ujarnya. (LITBANG KOMPAS)